Saya berani bertaruh, kalian pasti punya setidaknya satu teman asal Sumatera yang fasih berbicara bahasa Jawa. Hal ini wajar, karena di luar Jawa sana, ada orang-orang Jawa yang sejak dulu sudah membuat permukiman. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan rezim Orde Baru-lah yang bikin mereka ada di mana-mana.
Kok bisa?
Jawabannya adalah transmigrasi. Benar, transmigrasi yang dimaksud sama seperti transmigrasi yang kalian pelajari di bangku sekolah; yakni perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain.
Namun, pada masa kolonial Hindia-Belanda, wacana transmigrasi tak sesederhana orang pindah dari pulau yang padat, seperti Jawa, ke pulau yang lebih sepi penduduknya. Ada nuansa politis dan motif ekonomi-eksploitatif di dalamnya.
Motif ini kemudian ditiru oleh Suharto sepanjang rezim Orde Baru.
Buruh murah untuk perkebunan di luar Pulau Jawa
Ada dua esai penting yang menjadi pengantar soal sejarah transmigrasi di Indonesia. Esai pertama berjudul “Internal Migration in Indonesia: Descriptive Notes” (1968) karya Geoffrey McNicoll yang dimuat laman Cornell University. Sementara esai kedua adalah tulisan Craig A. Lockard berjudul “The Javanese as Emigrants: Observations of the Development of Javanese Settlements Overseas” (1971).
Dua esai ini menjelaskan, bahwa pada mulanya proyek perpindahan manusia dari Jawa ke pulau-pulau lain, atau yang disebut transmigrasi, punya motif ekonomi. Program ini dimaksudkan untuk mengirim buruh-buruh upah murah ke Sumatera dan Kalimantan.
Sejak 1937-1940, misalnya, pemerintah kolonial bahkan sudah memindahkan sedikitnya 50 ribu penduduk dari Jawa dua pulau tersebut. Mereka umumnya bekerja di sektor perkebunan dan pertambangan.
Banyak catatan menyebut, secara produktivitas orang-orang Jawa ini lebih unggul ketimbang buruh dari Cina. Namun, upah mereka jauh lebih murah. Itu pun, mereka masih bisa dibodoh-bodohi dan dieksploitasi.
Operasi politik pengucilan
Selain untuk memenuhi kebutuhan buruh upah murah dari Jawa, pemerintah kolonial Hindia-Belanda juga menggunakan program transmigrasi sebagai operasi politik-pengucilan. Maksudnya, orang-orang yang dianggap berseberangan dari pemerintah, bakal dibuang jauh-jauh dari Jawa.
Pasca Perang Jawa, misalnya, mantan pejuangnya satu per satu diasingkan ke luar pulau sampai akhir hayat mereka.
Sentot Prawirodirjo, panglima perang yang menemani Pangeran Diponegoro, dibuang ke Bengkulu. Sementara Kyai Mojo diasingkan ke Tondano, Minahasa. Mereka berada di pengasingan sampai mati.
Pangeran Diponegoro sendiri dibuang ke Manado, kemudian dipindah ke Makassar. Sekali lagi, ia juga berada di pengasingan sampai akhir hayatnya.
Pada masa pergerakan pun, banyak tokoh yang menentang pemerintah kolonial juga dibuang ke luar Jawa. Sebut saja Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Ilyas Yacub, Mas Marco Kartodikromo, sampai Sayuti Melik.
Bedanya, ada tempat tersendiri buat mereka, yakni Boven Digoel di Papua. Sampai-sampai Digoel pun disebut sebagai “kampung orang Jawa di Timur”.
Pemerintah Sukarno pakai transmigrasi sebagai “hadiah”
Setelah Indonesia merdeka, wacana transmigrasi kembali digaungkan oleh pemerintahan Sukarno pada awal 1950-an. Bahkan, saat itu sang proklamator membuat kementerian khusus bernama Djawatan Transmigrasi untuk mengurus program ini.
Bedanya, transmigrasi kali ini tak dipakai buat memindahkan buruh-buruh dari Jawa maupun membuang musuh politik. Ada motif lain, yang oleh sejarawan Muhidin M. Dahlan sebut sebagai “hadiah revolusi”.
Muhidin menjelaskan, saat itu Wakil Presiden Mohammad Hatta resah oleh timpangnya penduduk Jawa dengan luar pulau. Lebih dari itu, Hatta juga melihat adanya bekas pejuang (para laskar) yang setelah Indonesia merdeka tidak mendapatkan tempat di pemerintahan.
Hatta pun khawatir, jika mereka dibiarkan saja, bakal muncul perasaan iri. Kalau sudah begini, potensi-potensi pemberontakkan sangat mungkin terjadi. Oleh karenanya, program transmigrasi pada awal 1950-an dijalankan untuk mengakomodasi para bekas pejuang ini.
“Ketimbang para laskar ini dibiarkan nganggur di Jawa, lebih baik mereka dikirim ke pulau lain untuk memperbaiki nasib,” kata Muhidin dalam acara Jasmerah yang tayang di Youtube Mojokdotco.
Kala itu, Lampung menjadi daerah jujugan. Oleh karena itu, tak heran jika kini ada banyak perkampungan orang Jawa yang dijumpai di Lampung. Terjawab ‘kan mengapa banyak kawan kita yang berasal dari Lampung fasih berbahasa Jawa?
Suharto meniru motif Belanda saat mengirim orang-orang Jawa ke luar pulau
Setelah pemerintahan Sukarno tumbang akibat Gestapu 1965, rezim baru Suharto kembali menghidupkan program transmigrasi. Pada masa ini, program perpindahan penduduk ini mendapat sebutan “transmigrasi gaya baru”. Meskipun ada kata “baru” di dalamnya, nyatanya ia cuma meniru motif pemerintah kolonial: mengirim orang Jawa ke luar pulau sebagai tenaga kerja perkebunan.
Muhidin menjelaskan, pada masa Orde Baru, ada program bernama Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Ia diklaim sebagai program pemberantasan kemiskinan dengan memberikan fasilitas kredit selama 20 tahun, serta lahan perkebunan kelapa sawit seluas dua hektar.
Peserta transmigrasi, yang sebagian besar berasal dari Jawa, diberikan hak buat mengolah lahan sawit. Namun, hasil panennya wajib dijual ke PT Perkebunan setempat.
Adanya PIR bikin pemerintah akhirnya berbondong mengirim tenaga kerja Jawa ke pulau lain, seperti Sumatera. Lebih dari 400 ribu orang Jawa terdaftar sebagai peserta transmigrasi.
Selain pemenuhan tenaga kerja perkebunan, ada satu lagi motif kolonial Hindia-Belanda yang ditiru Orde Baru. Yakni, transmigrasi dipakai Suharto untuk membuang lawan-lawan politiknya sejauh mungkin dari Jawa.
Orang-orang yang disebut sebagai tahanan politik (tapol) ini dibuang ke Pulau Buru. Mereka juga dipaksa kerja paksa di tempat pembuangan ini. Salah satu tokoh nasional–dan musuh Orba–yang dibuang ke Pulau Buru adalah Pramoedya Ananta Toer.
“Pada masa Orde Baru, kalau ada berita beras diangkut dari Maluku menuju Pulau Jawa, itu adalah hasil kerja paksa dari para tahanan politik,” pungkas Muhidin.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.