Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Empat hal ini mungkin akan terjadi seandainya hari ini, Pram menjadi guru Sastra Indonesia.
***
Sastra Indonesia, dipandang sebagai mata pelajaran yang sepele. Ia dianggap tidak penting. Salah seorang kawan, sebut saja Reski, lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UNY yang kini berprofesi menjadi guru SMA, pernah mengeluh soal ini.
Baik teman-temannya, siswa yang ia ajar, bahkan orang tuanya sendiri, sering berkelakar: “buat apa kuliah dan menjadi guru Bahasa Indonesia, toh, kita sudah bisa bicara bahasa Indonesia?”
Memang, kalimat itu terlihat seperti candaan. Namun, bagi Reski yang mengagumi sastra sejak masih SMA, kata-kata tadi seolah adalah hinaan. Apalagi, kalau dia ingat Pramoedya Ananta Toer, tokoh yang membuatnya jatuh cinta dengan sastra.
Pram, memang dikenal “gila sastra”. Baginya, sastra tak sekadar cerita, tapi juga ada lapisan lain soal pesan, ideologi, dan fenomena zaman yang disampaikan melalui cerita tersebut. Maka, Pram pun menegaskan, bahwa kerja-kerja sastra bukanlah hal yang sepele–kebalikan dari sesuatu yang dicirikan hari ini.
Lantas, bagaimana jadinya kalau Pram yang sangat concern dalam sastra hari ini menjadi guru Sastra Indonesia? Kira-kira, apa yang bakal dia lakukan?
#1 Pram bakal membereskan persoalan politik sastra
Hal pertama yang mungkin akan Pramoedya Ananta Toer lakukan adalah membereskan persoalan seputar kesusastraan Indonesia. Sejak lama, mata pelajaran menjadi momok sekaligus dikucilkan di sekolah-sekolah. Ia dianggap tak penting karena cara pandang masyarakat itu sendiri. Persis seperti yang dialami Reski.
Padahal, bagi Pram, sastra adalah ilmu pengetahuan. Ia merupakan seperangkat metode yang dapat dipakai untuk membongkar realitas. Bahkan kalau diturunkan lagi, dipertemukan dengan politik, sastra adalah ideologi.
“Maka, kata Pram kala itu, ‘tugas menulis sastra adalah tugas nasional saya’. Karena tendensinya adalah ideologis, maka bagi Pram menulis adalah politik,” kata sejarawan Muhidin M. Dahlan, saat merekonstruksi pemikiran Pram dalam Jasmerah episode “Jika Pramoedya Ananta Toer Jadi Guru Sastra Indonesia” yang tayang di Youtube Mojokdotco.
Bagi Pram, lanjut Muhidin, politik itu adalah soal menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan melalui jalan bercerita yang “dikawal” oleh tindakan. Antara tindakan dan komitmen politik haruslah berjalan beriringan. Hal ini yang Pram sebut sebagai politik sastra.
“Sastra adalah produk politik kreatif, sehingga sastra tak boleh menghindar dari politik,” tukasnya.
#2 Sejarah dan sastra dua hal tak terpisahkan
Hal kedua yang mungkin Pramoedya Ananta Toer lakukan adalah menyatukan sastra dengan sejarah. Bagi Pram, sastra dan sejarah adalah satu kesatuan, tak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Oleh karenanya pada 1960-an, Pram mendirikan Lembaga Sastra Indonesia yang saat itu dipimpin Bakri Siregar sebagai ketua, dan Pram sendiri sebagai wakilnya.
Lembaga ini pada masa itu membuat seminar pengajaran sastra bagi para guru. Untuk materinya sendiri, Bakri membuat modul mengenai sejarah sastra. Sedangkan Pram punya bagian bikin materi soal sejarah indonesia.
“Kedua bahan materi ini kemudian ‘diblender’ untuk dijadikan bahan ajar yang mereka sebut “Guru Manipolis”,” jelas Muhidin.
Secara sederhana, Guru Manipolis merupakan guru yang mendukung pendidikan manipolis. Sementara pendidikan manipolis adalah kebijakan yang diterapkan pada masa Orde Lama.
Saat itu, Sukarno mengharuskan seorang guru memenuhi beberapa syarat. Antara lain revolusioner, ahli di bidangnya, manipolis, dan patriot paripurna.
#3 Ruang kelas yang sepi, siswa sibuk mengkliping
Ini yang menarik. Muhidin menduga, seandainya Pramoedya Ananta Toer menjadi guru sastra, maka kondisi kelas bakal sangat sepi. Alasannya jelas: bagi Pram sangat aneh kalau belajar sastra tapi lebih banyak dihabiskan di ruangan kelas.
“Bagi Pram, kelas itu hanya pertemuan awal. Sisanya adalah keluar ke lapangan. Makanya, seandainya Pram menjadi guru sastra, perpustakaan-perpustakaan provinsi yang kaya akan informasi sejarah, maka akan ramai,” ungkapnya, menjelaskan.
Bagi Pram, seperti dijelaskan Muhidin, belajar sastra yang baik adalah dengan mengkliping. Yang perlu digaris bawahi, bukan sekadar mengkliping alias cuma memotong lembaran informasi masa lalu dan menjahitnya menjadi satu.
Namun, pengkliping harus totalitas “masuk” ke zaman yang ia kliping. Termasuk peristiwa sosial-budaya, ekonomi, politik, sampai detail-detail fesyen apa yang sedang tren, musik apa yang tengah digemari, makan apa yang lagi viral, dan sebagainya–karena fenomena itu merupakan gambaran kehidupan zaman itu berjalan.
“Karena bagi Pram, sastra itu adalah semesta hidup manusia pada zamannya. Dan mengkliping adalah cara mendapatkan semesta itu,” lanjut Muhidin.
Menekuni sastra, sebagaimana ditegaskan Pram, sekali lagi bukanlah “kerja yang iseng”. Ia harus bisa dipertanggungjawabkan. Maka dari itu, seorang penulis sastra diwajibkan melakukan kerja-kerja mengkliping, karena itu sama dengan kerja-kerja riset.
#4 Pram menuntut agar sastrawan menguasai bahasa sampai tuntas
Lantas apa yang keempat? Karena menulis adalah keterampilan berbahasa, maka bagi Pram, wajib hukumnya untuk menguasai betul bahasa yang dipakai untuk bercerita. Ini tak bisa ditawar lagi.
“Jika bercerita dalam bahasa Indonesia, maka penulis dituntut untuk menguasai bahasa Indonesia secara tuntas,” kata Muhidin.
Muhidin mencontohkan, untuk mendalami bahasa Indonesia, Pram bahkan pernah mempelajari ulang genealogi terbentuknya bahasa Indonesia; penggunaannya, hingga operasi politik bahasa pada masa kolonial.
Makanya, ketika membaca karya terbesar Pram, yakni Tetralogi Arok Dedes (Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, Mangir) dan Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa) tak heran kalau ada nuansa bahasa yang berbeda di dalamnya.
Tetralogi Arok Dedes memiliki berlatar waktu kebangkitan hingga keruntuhan Kerajaan Majapahit. Sementara Tetralogi Pulau Buru punya setting waktu masa kolonial Hindia-Belanda, tepatnya pada masa pergerakan nasional.
Misalnya, Muhidin mencontohkan, kalau diperhatikan, dalam Tetralogi Pulau Buru penulisan ‘kereta api’ Pram singkat ‘kretapi’. Begitu juga dengan ‘matahari’ menjadi ‘matari’.
Hal ini dilakukan Pram, karena menurutnya, harus ada rasa yang berbeda di tiap zaman. Pendeknya, setiap zaman ada bahasanya, dan setiap bahasa ada zamannya.
Pemilihan kata itu pun tak asal tulis. Sebab, ia melakukan riset dengan mengoleksi cerita bersambung pada masa itu. Misalnya, tulisan-tulisan Tirto Adhi Soerjo di media, ia koleksi semua supaya mendapatkan nuansa zamannya.
“Apa yang dilakukan Pram, kira-kira ingin menegaskan bahwa menjadi sastrawan harus punya kamus diksi sendiri yang didapat dari hasil riset yang serius.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Jalan Pramoedya Ananta Toer di Blora, Nama Jalan yang Dianggap Ribetkan Warga meski Pram Berjasa atau liputan Mojok lainny di rubrik Liputan.