Beban kerja berlebihan (overworked) tapi diupah rendah (underpaid) menjadi persoalan pelik yang kini dialami banyak Gen Z. Sialnya, mereka terpaksa bertahan di situasi tersebut karena minimnya pilihan.
***
Janis (25) baru saja menghabiskan batang rokok terakhirnya. Setelah ponselnya mulai berisik dengan notifikasi grup WA kantor, dia langsung beranjak meninggalkan meja Indomaret. Sebotol kopi instan yang dia beli buru-buru dicucup habis sebelum botolnya dibuang ke tong sampah.
“Sorry, ya, nggak bisa lama. Jam istirahat cuma setengah jam,” ujar perempuan asal Jogja ini ketika saya temui di sela-sela jam makan siangnya, Sabtu (11/1/2025) siang.
Pertemuan kami, yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, berakhir singkat siang itu. Tak ada obrolan mendalam soal musik punk rock–genre yang dia sukai, atau pembahasan mengenai buku yang sedang dibaca. Siang itu, dia malah lebih banyak mengeluh soal atasannya di kantor yang toksik.
“Kantor mah kelihatannya aja fresh, pegawainya Gen Z semua. Tapi mentalitas atasan masih boomers banget. Toxic abis,” ungkapnya, beberapa saat sebelum mengakhiri pertemuan kami.
“Gen Z mental tua”
Sejak awal 2024 lalu, Janis diterima kerja di sebuah startup di Solo. Awalnya, pada tiga bulan pertama, dia bekerja secara WFH. Fleksibilitas kerja ini yang membuatnya betah meski gaji yang ditawarkan tak terlalu besar.
“Pas masih di Jogja, gaji segitu (kisaran Rp2,5 juta) masih oke. So-so, lah ya. Soalnya aku tidur dan makan di rumah, jadi pengeluaran bisa ke-cover,” jelasnya.
Namun, perusahaan meminta seluruh pegawainya untuk bekerja di kantor. Tercatat, sejak Agustus 2024 lalu, Janis mulai ngekos di Solo. Pada fase inilah kehidupannya lambat laun berubah.
Perubahan pertama yang Janis benar-benar rasakan adalah soal budaya kerja. Dulu, dia masih mewajarkan permintaan rapat dadakan di malam hari, karena kerjanya pun WFH.
Tapi ternyata, setelah kerja kantoran, budaya itu pun masih dibawa. Perintah rapat-rapat dadakan, yang bahkan di luar jam kerja, kerap dia terima.
Misalnya, rapat dadakan saat Minggu malam bersama klien. Atau, ketika jam kantor berakhir, bosnya tiba-tiba meminta beberapa pegawai untuk mengikuti rapat–yang itu sifatnya mandatory–tanpa mengenal mekanisme lembur.
Menurutnya, permintaan ini tak bisa ditolak atau didelegasikan ke pegawai lain untuk alasan apapun. Sebab, di kantornya ada sistem poin yang dihitung via keaktifan di luar jam kerja. Artinya, kalau dia menolak ajakan rapat, ada kemungkinan poinnya minus dan berimbas pada pemotongan gaji.
“Mereka itu kemasannya aja Gen Z. Tapi cara kerjanya tua banget. Merasa para pekerja ini robot.”
Baca halaman selanjutnya…
Kerja keras bagai kuda, tapi gaji tak seberapa