Selama mendekam dipenjara, Pramoedya Ananta Toer tak pernah berhenti menulis. Sialnya, karyanya selalu dihancurkan oleh rezim. Pengalaman alamiah inilah yang membuatnya lihai melakukan melakukan back up alias pencadangan data.
***
Bagi seorang pekerja media seperti Alex (19), kegiatan mencadangkan data harus menjadi sifat naluriah. Bagaimana tidak, Alex pernah kesal lantaran kehilangan foto maupun video di memori kameranya. Saat itu, Alex diminta mendokumentasikan suatu bazar buku sekaligus konser. Namun, sebelum sempat mencadangkan data, kamera Alex rusak.
“Kameraku disenggol penonton, terus mati. Akhirnya, datanya hilang,” ungkap Alex, Selasa (4/2/2024).
Tak hanya Alex, Nita (24) pernah getun sekali ketika data skripsi di laptopnya hilang. Berbulan-bulan ia menulis skripsinya hingga Bab III, tapi data tersebut hilang tanpa back up.
“Aku udah ngetik selama berbulan-bulan, tapi tiba-tiba laptop eror. Aku udah berusaha ke tempat service, tapi masnya bilang nggak bisa. Sumpah sedih pol,” tutur Nita yang menyesali kejadian itu sampai sekarang.
Mendengar cerita Alex dan Nita, saya jadi membayangkan bagaimana kesalnya Pramoedya Ananta Toer saat karyanya dilenyapkan. Dibakar di depan matanya sendiri, bahkan diadukan oleh tahanan politik (tapol) lainnya di penjara.
Barangkali, pengalaman itu yang membuat Pram punya banyak akal untuk selalu mendokumentasikan maupun mencadangkan data dari karya-karyanya. Sebab kalau tidak begitu, tulisan fenomenalnya tak akan pernah bisa dinikmati oleh masyarakat hingga kini.
Back up data sudah menjadi naluriah seorang sastrawan
Sejarawan Muhidin M. Dahlan mengatakan, Pramoedya Ananta Toer telah melalui berbagai penyiksaan Orba. Termasuk dijadikan tapol dan karya-karyanya dimusnahkan. Seluruh dokumen dalam rumahnya yang ia kerjakan selama bertahun-tahun dibakar begitu saja pada 13 Oktober 1965.
Sastrawan Indonesia itu akhirnya menyadari betapa pentingnya kegiatan pencadangan data alias back up. Terlebih, ketika Pram akhirnya ditangkap dan ditahan di Pulau Buru pada Agustus 1969.
“Back up melekat dalam kerja kreatif Pram. Ia seperti alarm paling keras dalam melakukan praktik pendokumentasian,” kata Muhidin saat merekonstruksi pemikiran Pram dalam Jasmerah episode “Bikin Malu! Kominfo-Budi Arie Harus Belajar dari Pramoedya Ananta Toer” yang tayang di Youtube Mojokdotco, dikutip Selasa (4/2/2025).
“Sangking pentingnya, nggak usah di-workshop-kan segala. Itu bawaan naluriah, seperti kalau kamu lapar, ya makan!” lanjutnya.
Bagi pemerintah, tulisan-tulisan Pram dianggap membahayakan rezim. Ia dituding terlibat Gerakan 30 September. Selama mendekam di penjara pada 1969, Pram tak berhenti menulis. Walaupun, tulisannya dipantau betul oleh rezim dan beberapa kali mendapat larangan.
Hingga akhirnya, pada 1973 ia kembali diperbolehkan menulis di dalam penjara. Kendati demikian, Pram masih sulit mendokumentasikan catatannya. Dalam bukunya berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, misalnya, Pram bercerita bahwa para tapol akan membaca tulisannya setelah rampung.
Catatan itu kemudian beredar dari satu tapol ke tapol lainnya. Namun, ada pula karyanya yang akhirnya hancur atau dilenyapkan bahkan oleh sesama tapol. Saat itu, para tapol hanya dibebaskan membaca kitan suci.
“I, sarjana muda sejarah dari Jogja itu, melaporkannya pada penguasa, mengakibatkan beberapa kali terjadi interogasi. Sedang sebelum itu, catatan perjalanan dari Jakarta ke Nusakambangan dan di bulan-bulan pertama di Buru, sudah lebih dahulu dibakar karena operasi pencarian kertas di Unit III.” tulis Pramoedya Ananta Toer.
Tulisan Pramoedya Ananta Toer menjadi momok bagi rezim
Setelah Pramoedya Ananta Toer dibebaskan pun, tulisan-tulisannya masih menjadi momok bagi rezim saat itu. Pram, dan sejumlah tapol lainnya, bahkan diminta datang ke rumah Komandan Unit IV pada malam 6 Oktober 1973. Mereka ditanya soal pandangan politik masing-masing.
Dalam wawancaranya, Pram sempat menyinggung soal sikap pemerintah yang tak mengindahkan perpustakaannya saat ia ditangkap. Padahal, perpustakaan itu ia bangun sudah sekitar 20 tahun. Pram berharap seluruh catatan yang ada di perpustakaannya terselamatkan.
”…karena bagaimanapun dia akan berguna bagi kepentingan nasional. Tapi apa yang terjadi? Dihancur-binasakan,” tulis Pram, masih dalam buku Nyanyi Seorang Bisu (halaman 19). Sebenarnya ini bukan kali pertama karya Pram dibinasakan. Selepas Indonesia merdeka, karyanya pernah dihilangkan oleh serdadu Belanda.
Dari pengalamannya tersebut, Pram jadi belajar untuk memilah teman yang mampu menjaga karyanya, baik selama di penjara maupun setelah bebas. Salah satu teman tahanan yang ia percaya di Pulau Buru adalah Lucas Tumiso.
Lucas menjadi saksi proses penyelamatan salah satu buku dari Tetralogi Pulau Buru, yakni Bumi Manusia. Buku lainnya adalah Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Cara Pram mendokumentasikan karya
Dalam sebuah wawancaranya bersama Falcon Pictures, Lucas membagikan cara Pramoedya Ananta Toer mencadangkan karya tulisnya. Ia berujar, setidaknya Pram merangkap enam tulisan yang sama. Selain untuk dikoreksi, Pram merasa karyanya jadi aman.
Sementara itu, Sejarawan Muhidin M. Dahlan menjelaskan kegiatan pencadangan data yang dilakukan Pram tidak terlepas dari kerja-kerja pendokumentasian seperti mencari data, memilah atau mengkategorisasi, menyimpan, mencadangkan, hingga mengkomunikasikannya kepada masyarakat dalam berbagai bentuk.
Muhidin menjelaskan, Pramoedya Ananta Toer biasa mencari informasi dari koran atau buku. Setelah mengumpulkan data yang diinginkan, ia akan menggunting dan menempelnya di sebuah buku khusus. Setiap lembarnya ia beri label, nomor, tanggal, dan seterusnya. Kemudian, Pram akan menyimpannya dengan menjilid satu persatu lembar buku.
“Setelah menjadi ‘data terpusat’, Pram mencetaknya menjadi 4 hingga 5 dengan mengikuti berapa jumlah anaknya,” ucap Muhidin.
Pram akan membagikan cetakan tersebut ke anak-anaknya. Dengan begitu, ketika ada salah satu data yang hilang Pram masih punya catatan lain. Sebagai penulis, Pram tahu betul betapa menyesakkannya hidup kreatif tanpa dokumentasi.
“Maka, jika masa itu datang lagi Pram nggak perlu menangis abadi. Harus tersedu-sedu di pojok sejarah,” lanjut Muhaidin.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ini yang Terjadi Seandainya Pramoedya Ananta Toer Menjadi Guru Sastra Indonesia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.