MOJOK.CO – Apakah Pramoedya Ananta Toer menyukai musik? Genre macam apa yang dia sukai? Apakah dia pernah membayangkan akan dirayakan di atas panggung?
Bosan tidak mendekati kami, para penggawa Pramoedya Ananta Toering dalam menapaki perjalanan menuju #SeabadPram di Blora. Tidak seperti Pram kala dibariskan naik ke kapal Angkatan Darat Republik Indonesia IV (ADRI) menuju ke pembuangan Buru pada 1969 silam. Saya nukilkan kejengahan itu:
“Dan pengeras suara itu terus menerus memutar keroncong yang lembek kemanisan dan pengumuman yang sama, dan fatwa orang gereja itu, dan wejangan pejabat entah siapa yang untuk kesekian kalinya mengucapkan selamat pada kami yang sedang “menuju ke Hidup Baru.” (1988: 11)
Pramoedya Ananta Toer jengah dengan keroncong yang berlirik “lembek dan kemanisan” dengan ucapan-ucapan palsu tentang hidup baru di Buru.
Pada konser “Anak Semua Bangsa” yang merupakan puncak dari kick off peringatan #SeabadPram, jenis musik yang bikin Pram sebal itu tak ada dalam line up.
Memungkasi etape kedua
Bila tak ada aral, pada Ahad pagi kami bertolak meninggalkan Blora untuk melanjutkan etape ketiga perjalanan Pramoedya Ananta Toering. Jadilah pada Sabtu, atau sehari sebelumnya, kami memilih melanjutkan etape kedua menuju Randublatung. Ini sekitar 29 kilometer ke arah selatan Blora dan kembali ke Blora untuk berziarah ke makam orang tua Pramoedya Ananta Toer.
Sepanjang bermotor menuju Randublatung, saya takzim membayangkan aktivitas Samin Surosentiko semasa hidup lewat seabad lalu. Betapa berat medan yang mesti dia tempuh dalam aktivitasnya menyebarkan gagasan pembangkangan juga merajutnya menjadi gerakan yang sohor: Saminisme.
Imajinasi visual saya disandera jalanan yang tentu tak semulus sekarang. Dulu pasti dipenuhi lumpur-liat bila hujan, Jati yang lebih rimbun, belukar yang lebih rapat, dan semak yang menjalar ke mana-mana. Kini, lewat seabad kemudian, aspal dan beton telah terbentang menghubungkan antara Blora-Randublatung.
Pemandangan seperti Pramoedya Ananta Toer
Meski begitu, saya tak asing dengan visual semacam ini. Tumbuh besar di bagian lain Blora, tempat asal saya juga penuh dengan jati, sama seperti Pramoedya Ananta Toer. Bila Pram banyak berkisah tentang Kali Lusi, kali yang membelah kota Blora, misalnya dalam cerpennya “Jang Sudah Hilang”, ingatan saya juga sering tertambat pada Bengawan Solo yang mengalir di depan rumah.
Dalam hierarki peradaban, orang yang tinggal di daerah seperti kami, pinggiran hutan—bersama orang-orang di dataran tinggi—biasanya dianggap terbelakang, miskin, dan kolot. Namun, Pram lain.
Dia membesarkan hati saya. Hati sesama orang Blora. Sebab, dia menulis rerimbunan jati dengan suara liris. Dalam latar Bukan Pasar Malam (1950), novel tipis yang menceritakan kehidupan keluarganya di Blora, Pramoedya Ananta Toer menggunakan “jati” sebagai penanda untuk mengetahui bila telah tiba di Blora.
Berbicara soal kualitas, Blora termasuk penghasil jati kelas wahid. Tanah berkapur di sini begitu cocok bagi pertumbuhannya. Jati sekaligus saksi bagaimana rakusnya kolonial menghabisi alam alam Indonesia.
Sebelum kopi dan tebu tenar di pasaran dunia, jati lebih dulu diangkut untuk berbagai keperluan. Misalnya sebagai bahan kapal, bangunan, hingga bantalan rel. Bukan saja oleh VOC, tapi juga penguasa, pembesar di tanah kita sendiri. Kemaruk semuanya. Rakus!
Tiba di Randublatung
Kisar pukul 11, kami tiba di Randublatung, lantas singgah di stasiun kota kecil itu, tepat saat Ambarawa Ekspres datang dari Stasiun Semarang Poncol. Bangunannya berada di depan gugus perumahan para pekerja Perhutani. Kini sudah jarang ditinggali. Karena saking lamanya, rumah-rumah itu tak bisa bertahan dari gerusan tanah melesak. Walhasil, dinding-dindingnya retak, kediriannya doyong.
Dari stasiun kami lalu menuju rumah sakit terbesar di Randublatung: Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Samin Surosentiko. Pada 2023, rumah sakit ini diresmikan ulang dan bersulih nama Samin Surosentiko, ikon pembangkang kolonial asal daerah penghasil jati ini. Ini adalah rumah sakit kedua di Indonesia yang mengadopsi nama seorang pembangkang: Tjipto Mangoenkoesoemo di Jakarta (RSCM) dan Samin Surosentiko di Blora.
Mencari Mastoer dan Saidah
Lewat tengah hari kami tiba lagi di Kota Blora. Tujuan kami selanjutnya untuk menuntaskan etape kali ini adalah menemukan makam Mastoer dan Umi Saidah, kedua orang tua Pramoedya Ananta Toer. Kami pun lantas mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP) Kota Blora, sesuai informasi yang kami kantongi.
Kami melapor pada sang juru kunci, lantas beringsut memindai nama-nama. Sayang, hasilnya nihil. Informasi yang kami punya mengatakan bahwa nisan Mastoer berwarna hijau, tapi seluruh nisan di sana berwarna putih dengan helm militer menapak di nisan. Adakah kami keliru?
Ada dua permakaman di sini: TMP dan Permakaman Butoh yang dibatasi pagar. Pak Heni, sang juru kunci Permakaman Butoh, kebetulan sedang berada di sana, menghentikan ketidaktahuan kami. “O, yang pahlawan pendidikan itu?” Tanyanya. Dia lantas membimbing kami menemukan letak makam.
Betul. Riwayat Mastoer memang tertambat pada nadi pendidikan kota ini. Dia pernah mengajar di sekolah Boedi Oetomo yang kini menjadi SMP 5 Blora. Di gedung yang tak jauh dari kediaman Pramoedya Ananta Toer kecil itu, Jumat, 8 Februari 2025, juga sempat dilangsungkan pembacaan dramatis surat-menyurat Pram oleh belasan murid-murid SMP. Itu pertama kali surat-surat Pram yang dinukil dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid II dibacakan di depan masyarakat Blora.
Sementara, Saidah memiliki posisi tersendiri dalam kekaryaan Pramoedya Ananta Toer. Bagi Pram, dia menyesap ragam pengetahuan mula-mula dari Saidah. Dalam Tjerita dari Blora (1952), cerpen yang dia susun selama di penjara Bukitduri pada 1947-1949, banyak mengisahkan sang ibu ketimbang sang ayah, yang suka keluyuran untuk berjudi karena frustasi dengan nasib.
Ketika telah jumpa, kami tak bisa begitu saja percaya. Kami pindai nama-nama makam itu. Dan Saidah, yang meninggal lebih awal pada 1942, adalah penentu kepastian makam Mastoer. Letak makam Mastoer dan Saidah tidaklah berdampingan. Mereka dipisahkan makam lain, yang menurut juru kunci, masih satu keluarga.
Dari bawah panggung konser untuk Pramoedya Ananta Toer
Meski awan hujan tipis menyelimuti langit Blora, Lapangan Kridosono tampak lebih ramai ketimbang biasanya, 8 Februari 2025. Gelanggang yang terletak di timur Alun-Alun Blora itu saban sore memang dipadati lalu-lalang orang-orang yang tengah berlari kecil, atau sekadar menghabiskan waktu di warung-warung yang mengitarinya.
Sabtu menjadi pamungkas dari rangkaian “Festival Blora: Seabad Pramoedya”. Menurut jadwal, malam dihelat konser. Suka-cita, seperti arti nama Kridasana, pun seolah siap mengguyur publik Blora.
Agak tengah gelanggang, di antara kerumunan pedagang di tepian, terdapat tulisan dari akrilik putih berukuran besar yang terbaca “Anak Semua Bangsa”. Sebuah kalimat yang diambil dari roman kedua dari Kuartet Buru yang didapuk jadi nama konser ini.
Sebuah panggung megah berdiri di utara stadion, menghadap ke selatan. Tiga layar monitor besar yang terdapat di kanan-tengah-kiri panggung pun bergantian menampilkan sosok Pramoedya Ananta Toer, berikut kutipan-kutipan kalimatnya yang bertenaga.
Dari pandangan mata, para punker juga tampak telah memadati sisi barat laut alun-alun. Beberapa di antaranya bermalam dan mendirikan tenda. Mereka datang untuk menyaksikan idola: Marjinal, band bergenre punk-rock dengan lirik progresif itu.
Pada penampilan semalam Mikail Israfil alias Mike, lead-vocal Marjinal, tidak bisa hadir karena sedang berada di Berlin. Tapi, penampilan Marjinal tidak kurang gahar. Sebab, ada tambahan vokal dari Aditya Prasstira, cucu pertama Pramoedya Ananta Toer selama penampilan Marjinal. Adit adalah putra dari Judistira, bungsu Pram sekaligus karib Kaka Slank. Sejak kecil, Judis telah akrab dengan alat musik. Pantas jika kebiasaan bermusiknya menurun pada sang anak.
Musuh masih sama
Terdapat tribun yang saling berseberangan di sisi barat–timur. Dinding-dindingnya pun sudah tampak dipenuhi mural-mural tentang Pramoedya Ananta Toer. Ada yang berbunyi “Musuh Masih Sama”; ada pula kalimat yang dinukil dari Nyai Ontosoroh, tokoh protagonis dalam karya kesohor Pram, Bumi Manusia (1980), dengan visual sesosok perempuan berkebaya, berwarna ungu-hitam, menindih latar belakang biru muda: “Aku tidak ingin menjadi budak di negeri sendiri”. Gelanggang Kridosono bersolek jadi lebih hidup.
Malam telah jatuh. Orang-orang menyemut, memadat mendekati panggung. Sayup terdengar penonton 2 pemuda di belakang saya saling tanya, “O, Pramoedya kui sastrawan to?”
Apakah ini tanda, bila Pramoedya Ananta Toer juga belum terlalu dikenal di kampung sendiri? Padahal, kediamannya tak jauh dari gelanggang Kridosono, di jalan Sumbawa yang kini jadi Perpustakaan Anak Semua Bangsa (Pataba). Entah.
Yang jelas, ini menjadi sebentuk upaya membumikan Pramoedya Ananta Toer di tanah kelahiran lewat panggung konser “Anak Semua Bangsa”, lewat suara yang didendangkan Usman and The Blackstones, Iksan Skuter, Marjinal, dan dipungkasi oleh Shaggy Dog.
Tentara dan soal telinga
Kembali ke pertanyaan sederhana, pernahkah Pram menulis tentang musik? Adakah dia menyukai musik? Kalau suka, musik jenis apa yang memikat telinganya?
Sependek penyigian saya, jawabnya tetap berkabut. Paling tidak, dia hanya beberapa kali menyoal musik di kitab riwayatnya yang sohor, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1988). Ihwal musik-musik yang dia tulis pun amat lekat dengan ragam konteks. Misal, dia jengah suara musik keroncong yang diputar berulang saat di kapal menuju pembuangan Buru. Atau, soal satu kalimat komentar tentang gamelan.
Namun, apresiasi musik selalu berkaitan dengan telinga yang sehat. Bagaimana bila telinga seseorang tidak sehat, apalagi bila terjadi karena keculasan kekuasaan?
Nah, Pramoedya Ananta Toer tidak bisa dilepaskan dari tema telinga dan tentara ini. Kejadian itu menimpa Pram, sekitar 60 puluh tahun silam.
Begini. Peristiwa nahas terjadi pada 13 Oktober 1965. Saat itu, Pram tengah melakukan kerja penyusunan ensiklopedia di rumahnya, di Jakarta.
Dia diciduk tentara karena diduga terlibat G30S yang terjadi pada September sebelumnya. Lalu, sewaktu masuk penjara, pelipis Pram dihantam popor senapan oleh tentara. Walhasil, telinganya rusak. Hanya bebunyian pada frekuensi tinggi saja yang bisa dia tangkap.
Singkat kata, kupingnya tuli permanen karena senjata dari kaum berseragam, kaum yang senantiasa menguntit hidupnya sampai mati, sampai hayat berkaryanya diperingati lewat konser “Anak Semua Bangsa”.
Konser dengan suara pekak itu menjadi semacam kompensasi dan transaksi budaya dari hikayat makzulnya pendengaran pujangga kelahiran Blora terbesar se-Indonesia itu.
Penulis: Rimbawana
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ketika Aspal Blora Menolak Pramoedya Ananta Toer dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.