Jogja memang punya banyak ikon. Sebut saja angkringan, Tugu Jogja, hingga Jalan Malioboro. Beberapa pengunjung sering kali taka mau luput mengabadikan ikon-ikon tersebut dalam ponsel masing-masing, untuk kemudian diunggah di media sosial. Namun, bagi beberapa warga asli, hal itu ternyata dianggap norak.
***
Setelah tiga tahun tinggal di Jogja, dua narasumber Mojok mengaku kerap geli dan bahkan jijik sendiri ketika mengingat momen pertama kali mereka tinggal di Tanah Mataram. Mereka merasa sangat norak.
Kenorakan itu mereka sadari tiap kali melihat sekelompok orang yang membagikan momen pertama kali ke Jogja. Orang-orang itu tampak meromantisasi banyak hal secara berlebihan.
Dua narasumber Mojok bisa bilang itu norak karena mereka pernah mengalaminya sendiri: Dianggap norak oleh warga asli.
Story WA-IG isinya Tugu Jogja, Malioboro, dan Titik 0
Jauh sebelum ke Tanah Mataram, kala Febri (27) masih menempuh S1 di Surabaya, konten-konten tentang Tugu Jogja, Malioboro, dan Titik 0 (dengan latar belakang gedung BNI bernuansa kolonial) memang kerap melintas di lini masa media sosialnya.
Tapi paling sering memang Tugu Jogja dengan backsound “Sesuatu di Jogja”. Kontennya hanya berisi lalu-lalang kendaraan di kawasan Tugu Jogja. Tapi dibalut sedemikian rupa hingga menjadikan ikon tugu itu terlihat dramatis. Apalagi setelah diguyur hujan.
“Aku nggak mau ketinggalan. Akhirnya pas pertama kali ke Jogja pada 2022, aku penuhi lah story di WA dan IG dengan video dan foto Tugu,” ujar Febri, Minggu (19/10/2025).
Tak ketinggalan juga story berupa foto di Jalan Maliobro dan Titik 0. Karena konon, belum sah ke Jogja kalau tak mampir ke kawasan pedestrian itu.
“Tapi bagi orang asli atau orang yang sudah lama di Jogja, itu kayak norak gitu. Tugu itu ya tugu biasa. Sering jadi pusat kemacetan. Begitu juga Malioboro dan Titik 0, cuma kawasan buat pedestrian,” sambungnya.
Kata Febri, beberapa temannya yang orang asli atau yang sudah lama tinggal di Tanah Mataram, kalau menyajikan konten dengan objek tiga titik itu coba sekalian sajikan fakta di baliknya. Misalnya soal kemacetan, parkir liar, hingga sumpeknya jalanan Malioboro.
Foto dengan background Gunung Merapi, biar kelihatan kalau lagi di Jogja
Konten-konten berupa foto ber-backgorund Gunung Merapi juga kerap menyeruak di lini masa Febri semasa masih di Surabaya. Dia akhirnya tahu, kalau orang-orang yang pamer foto tersebut sebagian hanya ingin mendapat validasi kalau sedang ada di Jogja.
Febri pun termasuk orang yang ingin mendapat validasi itu. Febri mengaku, sebenarnya tidak banyak temannya yang tahu kalau dia melanjutkan S2 di Jogja.
Oleh karena itu, berkali-kali dia update story dengan konsep: Berpose denga latar belakang Gunung Merapi, atau memotret jalanan yang di belakangnya Gunung Merapi berdiri gagah.
Itu dia tampilkan dengan beragam angle. Karena memang ada banyak spot untuk membidik Gunung Merapi dalam bingkai ponsel. Sebut saja Jembatan Plunyon, Klangon, Nawang Jagad, Kopi Merapi, Jalanan Kaliurang, dan lain-lain.
“Kadang kukasih keterangan, ‘A normal day in Kaliurang: berangkat kerja disambut view Merapi’, gitu-gitu lah,” kata Febri.
Dan memang seharusnya normal-normal saja. Biasa saja. Bagi beberapa teman Febri (orang asli Jogja) menyebut, kadang agak heran melihat orang luar daerah suka banget pamer-pamer foto Gunung Merapi di media sosial. Padahal, di berbagai daerah lain pun ada juga gunung, mau merapi atau tidak.
Rinda-rindu di angkringan
“Narasi Jogja, angkringan, dan rindu itu basi sebenarnya.” Kira-kira begitu kalimat yang Lingga (26) terima dari teman S2-nya yang asli Jogja.
Lingga baru pindah ke Jogja pada 2023. Sebelumnya dia kuliah S1 di Surabaya, sama seperti Febri.
Sebenarnya di Surabaya juga ada banyak angkringan. Namun, sudah sejak lama Lingga merasa sangat tertarik dengan angkringan di Jogja. Katanya sih autentik dan kalcer.
“Itulah kenapa aku sering kalau lagi makan di angkringan, itu ya ku-update di medsos. Buat ngasih tahu aja ke teman-teman di Surabaya kalau angkringan yang autentik ya ini, di Jogja,” kata Lingga.
Namun, kalau bagi teman-teman Lingga yang asli Jogja, agak lucu dan norak saja kalau ada orang sampai sebegitunya ke angkringan. Karena angkringan tidak lebih dari sekadar tempat makan murah bagi orang-orang berkantong tipis. Makin risih kalau disertai kata “rindu” sebagai caption.
Ngonten event seni dan literasi: dimaafkan!
Lingga mengaku ckup sering pamer dan meromantisasi banyak hal tentang Jogja di masa-masa awal dia di daerah tersebut. Selain angkringan, dia juga pernah ngonten soal makan gudeg, Parangtritis dan Parangkusumo yang ternyata bagi orang asli Jogja pun sebenarnya tak menarik-menarik amat.
Namun, ada satu hal yang dimaafkan dari aktivitas-aktivitas meromantisasi Jogja. Yaitu kalau kontennya terkait event-event seni dan literasi yang memang banyak di Jogja.
“Jadi toko buku kan nggak hanya Gramedia dan Togamas. Ada banyak. Buku Akik, Berdikari, Solusi Buku, macem-macem. Kayak gitu-gitu mereka (teman yang asli Jogja) nggak masalah. Karena memang belum tentu di daerah lain punya ragam pilihan toko buku seperti di sini,” kata Lingga.
“Event seni dan literasi pun macam-macam. Ada ArtJog, Jogja ArtBook Fest. Itu sisi kalcer Jogja yang dimaafkan kalau buat pamer-pamer di media sosial, hahaha,” imbuhnya.
Ada tantangan dari teman Lingga yang belum juga Lingga penuhi. Kira-kira begini: Kalau mau ngonten tentang Tanah Mataram, coba sekalian ngonten sisi manusiawinya. Ada tukang becak yang berumah di becak, para gelandangan, kusir-kusir andong di Jalan Malioboro yang tak kunjung dapat penumpang, hingga seretnya pemasukan para pedagang di Teras Malioboro.
“Kata temanku, Jogja tak melulu simbol yang indah-indah. Itu instrumen yang romantisasinya berlebihan hingga menutup lanskap utuh penuh ironi,” tutup Lingga.
***
Setelah lebih dari setahun tahun, Febri dan Lingga akhirnya merasakan sendiri. Tiap mereka melihat ada orang berupaya “sok kalcer” dengan pamer-pamer ikon-ikon di atas (sebagai bukti lagi liburan atau sedang berada di Kota Gudeg), rasanya malah kelihatan seperti orang norak. Mon maap. “Padahal bisa biasa aja sih. Karena yang bikin geli kadang caption-nya yang hiperbolis, melankolis, dan sok puitis,” kalau kata Febri.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cara Berkendara Plat AB bikin Plat L Surabaya Malu dan Introspeksi, Dirugikan tapi Malah Kasih Wejangan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












