Australia menjadi negara jujugan Angga (25) sebagai salah satu pencari kerja asal Indonesia, lantaran memberikan kehidupan dengan finansial yang lebih baik. Namun, ia cukup kaget saat tinggal di Melbourne dan pindah ke Bordertown yang tak menyuguhkan “kenikmatan” seperti yang ada di konten-konten influencer.
***
Riset dari Jobstreet by SEEK sebagai platform mencari kerja menunjukkan Australia menjadi tujuan favorit para pelamar. Berdasarkan penelusuran Mojok di TikTok dengan tagar #WHVAustralia, ada beberapa faktor yang menyebabkan warga Indonesia minat kerja di sana.
Misalnya, pengurusan visa yang mudah, habit kerja yang katanya bisa work life balance, hingga gaji tinggi selama setahun. Angga sendiri tak menampik jika gaji di Australia terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Namun, perkara gaji memang lain. Angga baru sadar setelah mendarat langsung di Melbourne tahun 2024. Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengaku tak terlalu syok, karena Kota Melbourne nyaman untuk ditinggali.
Selain itu, aksesnya pun terbilang mudah saat dia hendak bepergian ke tempat-tempat indah, tapi ada beberapa kondisi yang jarang dibahas oleh diaspora asal Indonesia saat tinggal di Australia. Beberapa kondisi itu membuat Angga syok, terlebih saat ia pindah ke Bondertown.
#1 Aksen di Melbourne sulit dimengerti
Salah satu konsekuensi kerja di luar negeri adalah harus bisa Bahasa Inggris. Apalagi, aksen orang Australia berbeda dengan british dan american. Selain itu, di kota-kota besar seperti Melbourne, ia lebih sering menjumpai orang ras India dan Tionghoa ketimbang warga lokal.
“Jadi pas pertama kali ketemu dan ngobrol dengan orang sana asli, aku sampai ngangong-ngangong. Seiring berjalannya waktu, aku baru bisa memahami apa yang mereka omongin,” kata Angga.
Melansir dari aksen ICAN English, aksen Australia mencerminkan gaya hidup santai mereka yang penuh keramahan. Kunci aksen tersebut adalah memperpanjang vokal menjadi beberapa suara vokal.
Misalnya, saat orang Australia mengucapkan “no” kedengarannya akan lebih mirip “naur”. Vokal panjang “o” sangat sulit ditangkap dengan tepat oleh orang awam, karena berpadu dengan “ah” dari “a” dan “uh” dari vokal pendek “u”, ditambah sedikit suara “r” (seperti dalam “oar”) di akhir.
#2 Toilet kering dan air keran yang layak diminum
Sebagai warga Indonesia yang selalu membersihkan diri menggunakan air, Angga cukup syok menjumpai toilet kering di Australia. Jadi, ia harus siap sedia membawa bidet atau botol air mineral saat pergi kemana pun.
Sebaliknya, air keran siap minum atau tap water sering ia jumpai di Australia, khususnya di jalanan Melbourne. Namun, saat pindah ke Bordertown, tap water tak begitu banyak ia jumpai.
“Aku di sini jarang masak air atau air galon. Tinggal minum dari keran, tapi nggak semua ya bisa diminum. Jadi harus make sure airnya bisa diminum,” ujar Angga.
Menteri Lingkungan, Perubahan Iklim dan Air Victoria, Lisa Neville, berujar kotanya itu memiliki banyak waduk yang menyediakan suplai air baku ke berbagai komunitas.
Setidaknya, untuk memasok air di kawasan Kota Melbourne saja, ada sekitar 20 waduk yang digunakan menyuplai air baku. Waduk paling besar bisa menampung volume air sampai 4 juta megaliter, sedangkan waduk kecilnya berukuran kolam renang.
“Saat Anda bisa menjamin pasokan air di negara Anda, Anda akan mendapatkan investasi yang menguntungkan, mendapat pekerjaan. Akhirnya meningkatkan kemampuan untuk berinvestasi di infrastruktur air. Investasi ini akan kembali pada komunitas,” jelas Neville dikutip dari Republika pada Selasa (20/5/2025).
#3 Jarang menjumpai masjid di Melbourne
Sebagai warga negara dengan mayoritas muslim di Indonesia, Australia terasa amat asing bagi Angga. Sebab di Indonesia, ia akan rutin mendengarkan azan di setiap lima waktu salat melalui pengeras suara.
“Di sini tempat ibadah seperti masjid dan gereja sangat terbatas, nggak kaya di Indonesia. Di setiap penjurunya pasti ada masjid atau musala,” kata dia.
Mulanya, Angga yang beragama Islam cukup khawatir karena takut susah beribadah, tapi setelah beradaptasi dan mencari tahu, ternyata ada banyak ruang berdoa di Meulborne yang bisa dipakai.
Sebetulnya, tak hanya di Meulborne. Beberapa orang di Indonesia yang berada di luar negeri mengaku jarang menemukan tempat ibadah setiap saat. Mojok juga pernah mewawancari seorang mahasiswa S2 di Boston yang juga syok saat tinggal di luar negeri.
Namun, dibandingkan dengan Bordertown, Angga sejatinya lebih menyukai tinggal di Melbourne. Sebab, kata dia, Bordertown terkesan seperti “tempat kosong” dengan transportasi yang terbatas.
Meski begitu, Australia tetap cocok bagi pencari kerja di luar negeri. Sebab di sana, Angga bisa menabung dengan nominal uang yang tak sedikit karena minimnya hiburan sehingga bisa lebih fokus bekerja.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Alasan Dokter Asal Indonesia Kabur Aja Dulu ke LN ketimbang Tinggal di Indonesia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.