Seorang dokter merasa nyaman usai meninggalkan Indonesia dan tinggal di Swedia. Demikian juga seorang profesional yang memilih bekerja di Australia dan kemudian sadar, sistem kerja di Indonesia ternyata sangat bobrok. Sudah sewajarnya tagar #KaburAjaDulu muncul sebagai bentuk rasa frustasi warga negara.
Merespon tagar tersebut, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer tak mau ambil pusing. Ia justru mempersilakan WNI pindah ke luar negeri dan menyarankannya agar tidak kembali.
“Mau kabar, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi, hi-hi-hi,” ujar Immanuel dikutip dari Kompas.com, Senin (17/2/2025).
Padahal, bagi diaspora seperti Ayuwidia Ekaputri (32), memutuskan tinggal di luar negeri bukanlah perkara yang mudah. Berdasarkan pengalamannya tinggal di Swedia, Widia, sapaan akrabnya melihat tagar #KaburAjaDulu adalah ungkapan frustrasi karena negara tidak mampu memberi rasa aman untuk warganya.
“Betul hidup di luar negeri juga harus berusaha, tapi mungkin usahanya sebanding dengan hasil. Ada hal-hal lain yang diperjuangkan selain gaji semata,” kata Widia saat dikonfimasi Mojok, Senin (17/2/2025).
Kerja di LN lebih menggiurkan ketimbang di Indonesia
Widia adalah diaspora asal Indonesia yang tinggal di Swedia, Eropa Utara sejak tahun 2019 untuk memulai studi S2-nya di University of Skovde. Pertama kali merantau, Widia mengalami tantangan yang tak terduga, yakni mengandung anak pertama.

Di tengah kondisi tersebut, ia harus bolak-balik dari kampus ke tempat tinggalnya menggunakan transportasi umum. Beruntung, kereta api pulang-pergi yang ia naiki setiap hari aman untuk ibu hamil.
Alasan Widia pindah ke Swedia alias kabur aja dulu sebetulnya sederhana, karena jurusan kuliah yang sesuai minatnya saat itu hanya ada di luar negeri. Ternyata setelah tinggal di sana, ia jadi betah.
“Di luar negeri ada hal-hal yang nggak bisa dibeli dengan uang pas-pasan. Seperti jam kerja fleksibel, kualitas sekolah anak yang bagus dekat rumah, commute kerja yang cuma sebentar,” kata diaspora di Swedia itu.
Misalnya lagi, kata dia, warga Swedia menerapkan gaya hidup Lagom. Artinya, not too much, not too little, but just right amount (tidak terlalu berlebihan ataupun kekurangan, tapi semuanya cukup).
Oleh karena itu, ketika Widia memutuskan cuti untuk kuliah dan fokus pada kehamilannya, orang-orang di sana tak terlalu mempermasalahkan. Ia mengaku kalau cuti melahirkan di Swedia sangat mudah.
Saat ini, Widia sedang melanjutkan kuliah S3-nya di Swedia. Sembari kuliah, Widia bekerja sebagai nurse assistant. Meski terlihat memiliki pekerjaan yang mapan, tapi Widia tak memulai kariernya dengan mudah.
“Meski lulusan dokter di Indonesia, saya nggak masalah kalau harus memulai karier dengan jadi nurse assistant sampai akhirnya ketemu supervisor untuk lanjut S3,” kata dia.
Menurutnya, Swedia memberikan hak yang sangat dibutuhkan bagi mereka yang ingin kuliah dan belajar, yakni beban dan jam kerja yang manusiawi sehingga merasa nyaman. Selain itu, Widia juga punya banyak waktu untuk mendampingi tumbuh kembang anaknya.
Karena kabur aja dulu jadi sadar bobroknya sistem kerja di Indonesia
Senada dengan Widia, diaspora asal Indonesia, Arip Hidayat mengaku tinggal di luar negeri bukan untuk flexing atau agar memperoleh gaji yang tinggi. Bagi Arip yang saat ini tinggal di Australia, negara tersebut lebih menawarkan pendidikan yang maju untuk anaknya nanti.
“Anak-anak di sini juga bisa ikut apprenticeship, lamar ke perusahaan dan nanti kerja, terus disekolahkan oleh perusahaan,” kata Arip yang sudah tinggal di Aussie sejak tahun 2015.
Perjuangan Arip untuk tinggal di Australia tidaklah mudah. Ia rela beradaptasi dan merangkak dari bawah demi memperoleh kehidupan yang lebih layak. Selama menamatkan kuliah di Australia, Arip jadi sadar betapa bobroknya sistem gaji dan aturan kerja yang kurang layak di Indonesia.
“Di luar negeri, kamu bertumbuh menjadi orang-orang hebat dan kuat, ketika negara lain menyebar ke negara-negara maju, masa kita diem aja,” kata Arip.
“Kita harus tingkatin standar kualitas kita dan membangun bangsa dengan lebih gemilang,” lanjut diaspora di Australia itu.
Keputusan Widia dan Arip untuk tinggal di luar negeri dimaklumi oleh Pengamat Ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi. Dosen Universitas Gadjah Mada itu menyebut orang-orang yang memilih #KaburAjaDulu bukan berarti tidak mencintai Indonesia.
Justru itu adalah cara mereka bertahan hidup ketika ada hal negatif yang terjadi di daerah asal mereka. Maka lumrah jika warga Indonesia memilih ‘kabar aja dulu’.
“Dalam teori migrasi ini sesuatu yang biasa, pergi merantau itu adalah hak asasi manusia bagi mereka yang ingin memperbaiki nasibnya,” kata Tadjudin kepada Mojok, Selasa (18/2/2025).
Kabur aja dulu adalah fenomena gunung es
Di sisi lain, Tadjudin menilai pemerintah seharusnya mulai khawatir dengan adanya fenomena tersebut. Sebab, visi Indonesia Emas 2045 terancam gagal. Apalah arti bonus demografi nanti jika masyarakatnya memilih pergi atau mengikuti tren #KaburAjaDulu. Ia menilai, apa yang dikatakan Wamenaker) Immanuel Ebenezer kurang bijak.
Pemerintah, kata dia, seharusnya tidak menutup mata bahwa ada fenomena gunung es yang belum terselesaikan hingga sekarang. Yakni jumlah pengangguran yang terus meningkat, serta lapangan kerja yang sedikit.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada 7,47 juta rakyat Indonesia yang menganggur pada Agustus 2024. Jumlah pengangguran tersebut meningkat jika dibandingkan dengan Februari 2024 sebanyak 7,20 juta pengangguran.
Ketika warga sudah tidak bisa bertahan hidup di daerah asalnya, karena tidak ada sumber daya maupun lapangan kerja, maka Tadjudin menilai mereka berhak memilih. Terlebih melihat kondisi Indonesia yang kini makin memprihatinkan. Keputusan mereka untuk #KaburAjaDulu dinilai lebih realistis.
“Kalau dia tetap bertahan di daerah Indonesia dalam keadaan menganggur dan tidak jelas, itu malah jadi beban bagi negara kan,” tegasnya.
Namun, Tadjudin tetap berharap, ketika hidup warga Indonesia sudah mapan maka seharusnya mereka pulang untuk mengabdi pada bangsanya. Mengutip pepatah dari Minangkabau, ‘Setinggi-tinggi terbang bangau, baliknya ke kubangan juga’ artinya sejauh-jauhnya orang pergi merantau, pulangnya ke kampung halaman juga.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Ribetnya Pemegang Paspor Indonesia saat Berkunjung ke Malaysia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.