Ada tiga hal yang kini tengah diresahkan oleh sebagian banyak orang Jawa Timur: sound horeg, Aremania, dan PSHT.
Di media sosial, banyak warganet menggunakan tiga hal itu sebagai simbol kemerosotan. PSHT dan Aremania misalnya, kerap diidentikkan dengan kekerasan dan ketidakdewasaan.
Sementara sound horeg, kendatipun penikmatnya menyebutnya sebagai hiburan rakyat, tapi seiring waktu malah banyak diresahkan oleh rakyat sendiri.
Olok-olok kepada Jawa Timur—sebagai pusat geliat dari tiga hal itu—pun makin terang-terangan saja. Tak pelak jika orang Jawa Timur, meskipun tidak ikut-ikutan pada tiga hal tersebut, terimbas sebagai objek olok-olok.
Jawa Timur awalnya pusat peradaban
Bukan tanpa dasar kenapa banyak warganet menganggap PSHT, Aremania, hingga sound horeg memberi kesan kemerosotan pada Jawa Timur.
Begini, jika mundur jauh ke masa lalu, Jawa Timur bisa dibilang sebagai salah satu pusat peradaban Nusantara. Dua kerajaan besar pernah bercokol di sana: Singasari dan Majapahit.
Seiring itu, pusat pengetahuan ke-Islaman juga bertebaran di sana: Ampel Denta hingga Giri Kedaton, dan lain-lain. Belum lagi bicara soal warisan budaya seperti Reog Ponorogo yang kini kalah viral dari tari-tarian jedag-jedug dalam setiap momen iring-iringan sound horeg.
PSHT didirikan bukan untuk bikin onar
Lahirnya PSHT di Jawa Timur—tepatnya di Madiun pada 1922—sebenarnya bisa menjadi catatan sejarah penting. Sebab, perguruan pencak silat ini, terutama pendirinya (Ki Hadjar Hardjo Oetmomo), menjadi bagian dari perjalanan panjang kemerdekaan RI.
PSHT didirikan bukan semata untuk belajar ilmu bela diri. Tapi juga belajar falsafah hidup perihal bagaimana seharusnya menjadi manusia.
“Manusia dapat dihancurkan, manusia dapat dimatikan, namun manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu setia kepada hatinya sendiri.” Begitu falsafah hidup bagi para pendekat PSHT (seharusnya).
Itulah kenapa PSHT menekankan betul prinsip: mendidikan manusia khususnya para anggota agar berbudi luhur, tahu mana benar dan mana salah, serta beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Juga prinsip untuk “Memayu Hayuning Bawono”: Menjaga kedamaian dan stabilitas dunia, serta memberantas sifat angkara murka dan serakah pada diri. Menjadi khalifatullah fil ardl.
Perguruan pencak silat ini juga menekankan implementasi falsafah Jawa “Aja adigang, adigung, adiguna”: Jangan sok kuasa, gumedhe, sok sakti. Melainkan biasa saja, tawadu, serta menghormati dan menghargai sesama.
#1 PSHT kini: ajang sangar-sangaran tanpa budi luhur?
Tiap muncul konten PSHT di media sosial, ratusan komentar pasti membanjiri. Isinya mayoritas olok-olok dan komentar bernada sinis. Misalnya yang baru naik belakangan: latihan yang sampai merenggut nyawa seorang remaja di Boyolalu dan kasus-kasus pengroyokan yang melibatkan oknum pencak silat ini.
Belum lagi video konvoi anggota perguruan yang kerap terkesan urakan. Bawa bendera besar, motor brong bising memenuhi jalan, yang tentu saja mengganggu pengguna jalan lain.
“Selalu olok-oloknya menyasar Jawa Timur. Saya sebagai orang Jawa Timur jadi malu sendiri,” ungkap Sakroni (24), asal Madiun.
Sakroni pernah bergabung sebagai anggota perguruan pencak silat tersebut. Namun, dia memilih keluar karena merasa hanya diajarkan untuk tawuran dan konvoi. Lengkapnya bisa dibaca di tulisan
“Jadi ajaran budi luhur, jangan gumedhe, jangan sok jagoan, seolah nggak berlaku,” sambungnya.
Pada dasarnya, ada banyak perguruan pencak silat di Jawa Timur. Tidak hanya PSHT. Kerusuhan oleh oknum perguruan pencak silat pun tidak hanya berasal dari PSHT.
Akan tetapi, PSHT menjadi nama yang kerap disasar oleh netizen lantaran beredarnya banyak pemberitaan yang secara kebetulan mencatut nama perguruan ini. Kendati sangat banyak juga anggota perguruan pencak silat ini yang menentang kekerasan sekaligus memberi sumbangsih prestasi bagi Indonesia melalui kompetisi pencak silat internasional.
#2 Berbuat baik jadi sia-sia karena cap Aremania
Label Aremania malah membuat orang Malang yang susah payah berbuat baik menjadi sia-sia belaka. Bagi warganet, Malang adalah Aremania. Yang itu artinya, tukang onar dan tidak dewasa.
Keresahan itu dirasakan oleh Alvin (27) dan Rudian (30).
“Malang memang primitif.”
“Kapan orang Malang bisa dewasa?”
“Di Malang itu kalah artinya harus mengancam nyawa ya?”
“Malang lebih layak mendapat julukan Mexico.”
“Kota Malang adalah aib sepakbola Indoensia.”
“Ternyata Malang tidak pernah belajar.” Adalah ungkapan-ungkapan yang kerap mereka terima jika muncul pemberitaan Aremania tengah berulah.
Dalam liputan sebelumnya, Alvin yang juga seorang Aremania, mengaku dia kerap berupaya menunjukkan sikap baik kepada suporter tim lain. Terutama rival Arema FC: Persebaya.
Sementara Rudian sedianya ingin menjalani hari sebagai orang biasa. Tanpa dilabeli sebagai Aremania. Mengingat, dia tidak terlalu mengikuti sepak bola Indonesia.
Akan tetapi, sebagai orang dengan KTP Jawa Timur—apalagi Malang—keduanya kerap menjadi sasaran olok-olok dan caci maki kalau suporter bola asal Malang itu bikin rusuh.
#3 Sound horeg: hiburan kok bikin risih
Sound horeg, meski bisa ditemui di beberapa daerah di luar Jawa Timur, tapi entah bagaimana mulanya Jawa Timur dianggap sebagai cikal bakal kemunculannya. Di Jawa Timur pun, sound horeg sampai dibuatkan event.
Banyak orang menikmati musik jedag-jedug menggelegar dari sound yang ditumpuk dan ditata sedemikan rupa di atas truk. Namun, banyak pula yang merasa risih.
Pasalnya, selain mengganggu ketenangan, beberapa video di media sosial menunjukkan bagaimana gemelegar sound horeg bisa membuat genteng rontok hingga kaca pecah.
Lebih-lebih, baru-baru ini, sound horeg juga diiringi dengan joget pargoy. Sehingga dianggap sebagai kemerosotan budaya oleh sebagian orang Jawa Timur.
Lihat postingan ini di Instagram
Beberapa orang Jawa Timur pun mengaku tak nyaman karena jika mengaku dari Jawa Timur, sering kali langsung diidentikkan dengan sound horeg.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Gabung PSHT Biar Kuat tapi Selalu Kalah saat Duel 1 Lawan 1, Hanya Menang kalau Keroyokan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan