Zaman sekarang kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) mesti banyak yang meremehkan. Karena dianggap hanya akan jadi guru SD. Lebih-lebih gaji guru teramat kecil. Namun, Binar (18) tidak peduli. Niatnya kelewat tulus untuk kuliah di jurusan ini.
***
Jauh sebelum kuliah jurusan PGSD, pilihan Binar sejak SMK sudah dianggap remeh. Terutama oleh siswa-siswa lain di sekolahnya: sebuah SMK di Jawa Tengah (Binar enggan menyebut nama daerah asal sekolahnya).
Binar mengambil jurusan Tata Busana. Jurusan yang, kata Binar, dianggap tidak sekeren jurusan-jurusan SMK lainnya seperti akuntansi, desain grafis, aneka jenis teknik, dan lain-lain.
“Nanti lulus mau jadi apa? Jahit-jahit begitu, mah, ibu-ibu juga bisa.” Kalimat semacam itu teramat sering Binar terima. Bahkan, situasi di SMK Binar juga tidak begitu supportif. Malah cenderung diskriminatif.
“Sering kami tidak mendapat tempat ketika bazar di sekolah, tidak diagung-agungkan seperti jurusan lain, tidak diberi fasilitas yang memadai seperti jurusan lain. Apalagi jika ada laki-laki di jurusan ini, mereka akan diejek habis-habisan,” ungkap Binar agak emosional, Senin (10/3/2025).
Jurusan diremehkan, tapi bekali banyak keterampilan
Mendapati situasi yang demikian, Binar sempat merasa ciut dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, seiring waktu, Binar justru menikmati sekolah di jurusan yang diremehkan tersebut.
“Saya mendapat teman-teman yang supportif, guru-guru penjuruan yang mengajari dengan detail, dan mendapat pembelajaran yang sangat luar biasa,” tutur Binar.
“Saya memiliki kemampuan baru; menjahit, mendesain, merajut, menyulam, membuat bouquet, dan masih banyak lagi,” sambungnya.
Sejumlah produk bisa Binar hasilkan dari menekuni jurusan ini. Satu di antaranya adalah tas yang bahkan habis terjual kala bazar di sekolahnya.
Kuliah jurusan PGSD, kembali diremehkan
Selulus SMK pada 2024, Binar memilih tidak lanjut studi yang berkaitan dengan Tata Busana. Dia malah masuk jurusan PGSD. Tentu saja dia tahu dan sudah menimbang betul risikonya: diremehkan—untuk yang kesekian kalinya.
“Kenapa masuk PGSD? Mau jadi guru SD aja?” Begitu kira-kira pertanyaan yang terlontar pada Binar, mengkerdilkan jurusan yang Binar ambil.
Binar tidak memungkiri kalau pertanyaan tersebut membuatnya berkecil hati. Ditambah realita bahwa profesi sebagai guru di Indonesia saat ini tidak lebih dari upaya bunuh diri, karena gaji yang begitu kecil.
“Saya merasa minder ketika melihat teman-teman saya yang kuliah di jurusan yang lebih ‘bergengsi’ di mata orang banyak. Saya sempat ragu, apa saya akan bertahan di sini?” tutur Binar.
Menjadi guru tidak sekadar melihat gaji
Dari Tata Busana, tiba-tiba kuliah jurusan PGSD. Belokan yang menukik tajam. Tapi pilihan kuliah Binar tersebut dia dasarkan pada dorongan nuraninya.
Sejak lama dia meresahkan kondisi pendidikan di Indonesia yang menurutnya tidak merata. Selain itu, sistem pembelajaran di sejumlah sekolah juga terbilang tidak sehat. Karena alih-alih mendampingi siswa, sekolah (oknum guru) justru kerap mengkerdilkan siswanya sendiri. Setidaknya, berkaca pula pada kasus Binar semasa SMK.
“Saya terdorong betul menjadi pendidik yang penuh dedikasi. Lebih dari sekadar mengajar di dalam kelas, saya ingin menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, inspiratif, dan mampu menumbuhkan semangat anak-anak untuk bermimpi lebih tinggi,” beber Binar.
“Saya percaya bahwa pendidikan bukan hanya tentang memberikan ilmu, tetapi juga tentang membentuk karakter, menumbuhkan rasa percaya diri siswa,” imbuhnya.
Binar memang menekankan, kecilnya gaji guru di Indonesia tidak akan membuatnya surut untuk menjadi guru. Akan tetapi, dalam benaknya, pemerintah harusnya memperhatikan betul kesejahteraan guru.
Sebab, Jika ingin menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik, maka penghargaan terhadap guru harus lebih ditingkatkan. Baik dalam bentuk gaji yang layak maupun fasilitas kerja yang mendukung.
Berkaca pada lulusan jurusan PGSD yang sukses dengan kariernya
Kala banyak orang meremehkan keputusan Binar kuliah jurusan PGSD, bayangan Binar sempat gelap soal prospek kerja jurusan ini. Dia tidak bisa menyangkal kalau peluang paling nyata adalah “hanya” menjadi guru SD.
Namun, salah satu yang membuatnya tetap teguh di jurusan PGSD adalah karena berkaca dari kakaknya sendiri.
“Kakak saya lulusan jurusan PGSD. Nggak cuma jadi guru SD, jenjang kariernya terlihat. Menjadi kepala sekolah, bahkan terlibat dalam pengembangan kurikulum dan proyek pendidikan lainnya,” ungkap mahasiswa PGSD semester 2 itu.
Pada akhirnya Binar percaya bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa jurusan ini memiliki nilai dan tidak patut diremehkan adalah dengan menunjukkan hasil nyata dari kerja keras dan dedikasinya kelak. Jalan Binar masih jauh dan panjang.
Guru tak patut diremehkan
Bagi Binar, profesi guru tidak patut diremehkan hanya karena gaji guru kecil. Sebab, guru memiliki peran sangat penting dalam membentuk generasi penerus.
“Tanpa mereka (para guru), tidak akan ada dokter, ilmuwan, atau profesi-profesi hebat lainnya,” tegas Binar dengan nada penuh semangat.
Saya beberapa kali bertemu dan berbincang dengan mahasiswa atau lulusan jurusan PGSD. Rata-rata mereka menyesali keputusannya telah kuliah di jurusan tersebut—apalagi jika akhirnya benar-benar nyemplung menjadi guru.
“PGSD nggak punya peluang lain. Mentok jadi guru SD,” begitu salah satu ucapan mereka yang saya ingat.
Di media sosial, saya kerap menemui banyaknya lulusan PGSD yang mengimbau agar calon mahasiswa baru tidak salah ambil jurusan: ambil PGSD. Karena tidak ada prospek kerjanya. Tidak ada masa depan cerah di sana sepanjang hak-hak dan kesejahteraan mereka masih dikesampingkan pemerintah.
Baru kali ini saya bertemu dengan orang yang percaya diri betul kuliah di PGSD: Binar. Bahkan membawa harapan-harapan luhur. Semoga segalanya dipermudah, Binar.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Suara Hati Lulusan PGSD UNY, Jurusan Favorit Tapi Masa Depan Lulusannya Suram: Sudah Jadi Honorer, Masih Disikut PPPK atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan