Berada di puncak Gunung Merbabu setinggi 3.145 mdpl menjadi salah satu impian Ardhi bersama teman-temannya. Mereka memutuskan mendaki lewat jalur Thekelan, salah satu jalur terpanjang dengan medan yang terjal.
Selain Thekelan, pendaki juga bisa memilih untuk melewati jalur Selo di Boyolali, jalur Suwanting atau jalur Wekas di Kabupaten Magelang, atau jalur Cuntel yang ada di Kabupaten Semarang, tak jauh dari jalur Thekelan.
“Nah, karena sejauh ini nggak ada yang pernah ke Gunung Merbabu, akhirnya aku sama teman-teman bagi tugas,” kata Ardhi kepada Mojok, Rabu (2/7/2025), yang sebenarnya sudah punya pengalaman mendaki berkali-kali, tapi itu adalah momen pertamanya ke Gunung Merbabu.
Oleh karena itu, sebelum berangkat di hari H tahun 2021, Ardhi dan teman-temannya membagi tugas untuk mencari informasi seputar mendaki ke Gunung Merbabu. Mulai dari sistem pendaftaran, transportasi kereta dari Surabaya ke Kabupaten Semarang, hingga mencari elf untuk sampai ke lokasi.
Ardhi sendiri hanya ribut mencari alat transportasi, sedangkan untuk jalur pendakian via Thekelan ia percayakan pada salah satu temannya yang juga sudah punya banyak pengalaman mendaki.
Jalur Thekelan Gunung Merbabu adalah opsi terakhir
Pada mulanya, Ardhi mengaku ingin mendaki lewat jalur Selo di Boyolali. Salah satu jalur populer yang dilalui banyak pendaki Gunung Merbabu, karena sudah ada sejak lama dan punya waktu tempuh yang pendek. Selain itu, pendaki juga bisa menikmati pemandangan Gunung Merapi dengan jelas sambil camping di sabana yang indah.
Namun, jadwal pendakian lewat jalur Selo keburu tutup H+1 sebelum Ardhi dan teman-temannya mendaftar. Rupanya, tak hanya jalur Selo tapi juga beberapa jalur lain yang tutup, kecuali jalur Thekelan yang masih buka.
“Akhirnya mau nggak mau kami ganti opsi via Thekelan, yang terhitung sebagai jalur paling panjang waktu tempuhnya dibanding jalur Gunung Merbabu lain,” ucap Ardhi.
Setelah menetapkan pilihan, Ardhi akhirnya mulai mendaftar lewat website, menyiapkan surat-surat kesehatan, memesan tiket transportasi, menyiapkan logistik, latihan fisik, hingga membuat itinerary pendakian Merbabu dari plan A sampai C.
Prank pertama di Gunung Merbabu
Pada saat hari H, Ardhi berangkat naik kereta dari Surabaya ke Jogja pukul 09.00 WIB. Sesampainya di Stasiun Lempuyangan, ia dan teman-temannya melanjutkan perjalanan dengan elf ke basecamp Gunung Merbabu via Thekelan sekitar 9 jam.
Untuk sampai ke puncak, mereka harus melewati empat pos. Pos pertama sampai kedua, mereka lalui dengan lancar. Namun, tragedi kocak baru terjadi saat Ardhi dan teman-temannya berada di pos tiga.
Di basecamp awal Gunung Merbabu, petugas sudah memberikan informasi kalau pos 3 memiliki banyak sumber air. Jadi, pendaki tak perlu khawatir untuk bawa banyak air sehingga bisa mengisi ulang. Ternyata, saat mereka berada di pos 3, sumber air itu sulit mereka temukan. Padahal, yang petugas maksud adalah banyak sumber air menuju pos 3, bukan tepat berada di pos 3.
Ardhi dan teman-temannya yang terlanjur membawa stok air sedikit hanya bisa melongo saat berada di pos 3. Alih-alih turun untuk mengambil air, mereka memutuskan tetap lanjut mendaki menuju pos 4 dengan stok air yang menipis.
“Karena situasi tidak memungkinkan dengan stok air yang cukup terbatas, yakni 5 botol atau 1,5 liter untuk 10 orang maka kami memutuskan camping di pos 4. Tidak jadi camping di Puncak Pemancar,” jelas Ardhi.
Lanjut mendaki dari subuh
Untuk menghindari kondisi dehidrasi, mereka baru mulai mendaki di esok harinya sekitar pukul 02.00 WIB. Salah satu teman Ardhi bilang kalau sumber air akan ada di Puncak Pemancar. Temannya cukup yakin dengan informasi tersebut, meski juga baru pertama kali mendaki di Gunung Merbabu.
“Tenang rek, abis ini ada sumber air. Dueket banget. Setelah turun dari sini, sini, terus sini,” kata teman Ardhi yang cukup bisa diandalkan dalam membaca jalur pendakian.
“Kami akhirnya oke-oke aja, barangkali dia memang sudah tahu betul dengan medannya,” lanjutnya.
Sambil melawan rasa kantuk dan menerjang gelapnya hutan di Gunung Merbabu sejak pukul 04.00 WIB, mereka terus berjalan hingga mendekati Puncak Pemancar. Di tengah gelapnya hutan, mereka melihat aliran putih dari bawah yang tampak seperti jalur sungai.
Ternyata saat dicek oleh teman Ardhi, itu hanyalah jalur belereng. Karena sudah dua jam berjalan dan tak kunjung menemukan sumber air, rombongan Ardhi memutuskan istirahat. Ardhi hanya bisa menelan ludah untuk tenggorokannya yang kering. Dehidrasinya mulai terasa saat salat subuh.
“Di perjalanan selanjutnya temanku terus meyakinkan kami kalau habis ini akan bertemu sumber air. Eh ternyata masih jauh banget. Dua jam berlalu tapi nggak ketemu-ketemu,” ujar Ardhi sedikit kesal.
Referensi dari unggahan lawas di Youtube
Ternyata, sumber air yang mereka cari bukan berada di sekitar jalan Puncak Pemancar, melainkan di area percabangan menuju Puncak Syarif dan puncak lain. Salah satu teman Ardhi pun bertanya kepada teman “peta berjalan” mereka.
“Sek, sek! Iki sebenere awakmu gawe referensi opo seh? Kok balik-balik yakin mau, tapi ketemune jek tas saiki (Sebentar. Ini sebenarnya kami pakai referensi apa sih? Kok dari tadi yakin bisa menemukan sumber air di area sini tapi ternyata salah)” tanya teman Ardhi yang lain.
“Loh iyo, aku yakin pol. Soale aku wes ndelok jalure Gunung Merbabu langsung (Loh iya, aku yakin sekali karena sudah lihat jalurnya langsung),” jawabnya.
“Ndelok langsung iku piye? Kan awakmu gorong tahu rene (Lihat langsung itu bagaimana? Kan kamu baru pertama kali ke Gunung Merbabu?)”
“Aku delok lewat Youtube, (Aku lihat dari Youtube).”
“Iku Youtube e tahun piro upload-e? (Konten itu kapan diunggahnya?)”
“Tahun 2015 lek nggak salah (kalau nggak salah),”
“Loalah, tak kiro lagek tasan (Oalah, aku kira konten yang baru diunggah),” kata temannya yang kemudian diiringi tawa oleh semua.
Dalam situasi tersebut, Ardhi dan lainnya merasa tak perlu gondok. Wong, mereka sama-sama tak tahu. Panik dan emosi justru menambah drop kondisi mereka, mengingat dehidrasi dan rasa lelah masih menyergap tubuh.
“Alhamdulillah, kami lancar turunnya meski harus memperlambat ritme pendakian. Apalagi, banyak pendaki juga yang naik sehingga mengurangi potensi nyasar,” kata Ardhi.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kegoblokan Pertama Kali Mendaki Gunung: Cuma demi Gaya, Modal Nekat dan Nyepele Berujung Celaka atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.