Sampai saat ini pun saya masih takjub mengingat keindahan Gunung Merapi dari atas Bukit Argobelah di wilayah Deles Indah, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten. Walaupun medan dan pemandangannya tak jauh berbeda dengan ekowisata Kalitalang, tapi ada suasana baru yang bisa kamu dapatkan saat mendaki di Bukit Argobelah.
***
Akhir bulan Mei 2025 lalu, saya pergi mendaki ke Bukit Argobelah, Klaten. Saya menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari Jalan Kaliurang KM 14, Ngaglik, Sleman menggunakan sepeda motor butut Mio.
Saya sarankan memakai jaket kalau kalian berangkat dari jam 06.00 WIB. Kebetulan, saya yang dibonceng teman saat itu sudah siap sejak pukul 04.00 WIB. Sebagai anak Surabaya yang terbiasa dengan hawa panas, kami mengaku sedikit menggigil di jalan.
“Untu ku gemeter Cak, kupingku loro, uadeeemm! (Gigiku gemetar, Cak. Telingaku sakit, dingin!),” keluh Andrea yang menyetir motor dengan kecepatan 60 km/jam. Ia tak berani ngebut karena motor saya pernah digas terus sampai tiba-tiba mati di jalan.
Dengan segala daya dan upaya motor untuk melewati jalan menanjak, kami akhirnya tiba di utara jalur hiking Bukit Argobelah, sebuah kawasan perkampungan di daerah Gumuk Mbangan. Sebelum menuju ke loket yang tak jauh dari gapura bukit, kami bisa memarkirkan motor di samping warung warga.
Ketinggian Bukit Argobelah masih cocok untuk pendaki pemula
Sejujurnya, saya bukan orang yang sering atau mafhum mendaki. Terakhir kali saya mendaki pada September 2024 lalu, di Gunung Lorokan yang memiliki ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Saat itu saya mengaku fear of missing out (fomo) alias ikut-ikutan mendaki karena sumpek dengan kehidupan. Jadi sedikit-sedikit butuh healing. Itu juga yang bikin saya mau-mau saja diajak mendaki oleh teman.
“Melok a? Aku wes daftar. (Ikutkah? Aku sudah daftar),” pesan chat Adrea kepada saya usai mengirim gambar semacam brosur Open Trip: Fun Hiking Agro Belas Deles Indah.

Biayanya hanya Rp55 ribu, sudah termasuk parkir, makanan berat dan ringan, air mineral, jasa tour guide, dokumentasi foto dengan kamera, sampai tiket masuk.
Mulanya, saya masih pikir-pikir, bukan karena tidak ada uang tapi malas saja mendaki. Namun, esok paginya saya mendapat informasi buruk perkara masalah pribadi dan harus mencari cara menyembuhkan hati. Pada akhirnya, tanpa babibu lagi, saya langsung mendaftar open trip yang dikirim teman saya itu.
Toh, ketinggian Bukit Argobelah masih terbilang “mudah” bagi saya. Setidaknya lebih kecil dari Gunung Lorokan yang pernah saya naiki, yakni 1.229 mdpl. Walaupun saya masih ragu karena belum tahu medannya seperti apa, tapi saya jadi tenang karena ada tour guide dan tidak sendirian.
Tak bosan melewati 5 pos pendakian
Sebetulnya, kalau tidak mau menyewa tour guide pun tidak masalah sebab pengelola Bukit Argobelah sudah memasang penanda berupa papan penunjuk arah. Papan itu cukup jelas dan bisa menjadi hiburan tersendiri untuk pengunjung.
Setiap papan juga bertuliskan kalimat penyemangat ampuh, yang tampak nyeleneh untuk dibaca kala kami beristirahat. Misalnya, “Mungkin kita sampai, mungkin saja tidak. Tugas kita hanyalah berjalan”, “Sambut yang datang. Ikhlaskan yang pergi. Hargai yang berjuang. Tinggalkan yang menyakiti”, “Setiap langkah adalah perjalanan hati”, dan seterusnya.

Bukit Argobelah sendiri memiliki total 5 pos. Tari, seorang tour guide kami bilang panjang jalur untuk perjalanan pulang-pergi Bukit Argobelah adalah 3 kilometer. Biasanya, rata-rata waktu yang dibutuhkan adalah dua jam dari titik awal sampai pos 3.
“Tapi bisa lebih lama lagi kalau kita foto-foto di atas. Di Bukit Argobelah, Deles Indah ini ada tiga spot bagus untuk foto dan harus antri dengan pendaki lain,” ujar Tari yang juga merupakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pemandangan indah dari atas Bukit Argobelah
Keindahan alam di Bukit Argobelah, Deles Indah memang tidak perlu diragukan. Layaknya pengalaman mendaki di luar alam, sejauh mata memandang, saya bisa melihat tumbuhan hijau dan beberapa hewan seperti monyet di pos 3 Bukit Argobelah.
Banyak juga lumut hutan yang menempel pada dinding tebing, batang kayu pohon yang tumbang dan bisa dijadikan spot foto, serta bunga calliandra berwarna putih yang banyak bermekaran di sepanjang jalan.
Beberapa serangga juga sering terbang di sekeliling kami, tapi Tari bilang lebah tersebut tak menggigit. Ketakutan itu pun teralihkan dengan pemandangan Gunung Merapi yang dikelilingi tebing berwarna putih dengan guratan alami.

Apalagi, kami tiba saat cuaca sedang cerah. Puncak Merapi pun terlihat jelas dan gagah. Namun, sembari menikmati panorama tersebut, pengunjung sebaiknya tetap memperhatikan langkah karena ada beberapa lokasi yang sudah dipatok tanda “rawan longsor” dan curam.
Warga lokal yang ramah
Kebetulan lagi, rombongan saya dan teman-teman tiba di Bukit Argobelah saat pengunjung tak terlalu ramai, meski saat itu bertepatan dengan long weekend. Saya sempat mengobrol dengan pedagang bakso yang sehari-hari mangkal di depan loket.
“Kemarin waktu hari Kamis (29/5/2025) malah penuh pengunjung Mbak. Kata petugasnya sampai 700 pengunjung,” ujar pedagang bakso tersebut.
Maklum, bukit ini juga baru di buka pada 2024 lalu. Dan menjadi salah satu opsi lain untuk pendaki yang “sudah pernah” ke Kalitang, tapi ingin menikmati pemandangan Gunung Merapi dari sudut yang berbeda.
Tak hanya menikmati pemandangan alam, saya juga sering melihat warga lokal yang bekerja di Bukit Argobelah sedang ngarit rumput, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak. Setiap kali melewati mereka, kami tak lupa untuk menyapa atau sekadar pamit. Dan mereka pun akan membalas dengan wajah sumringah: “Monggo-monggo”.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Lahirnya Bukit Nusantara di Wonogiri dan Pohon Pusaka yang Membuka Siklus 500 Tahunan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan