Karena berbagai alasan, Surabaya menjadi kota yang penuh risiko bagi orang asal Malang. Kendati demikian, tak sedikit orang Malang yang memandang Surabaya masih menjadi kota terbaik buat mencari nafkah.
Bagi mereka, Kota Pahlawan adalah sebaik-baiknya tempat merantau. Segala risiko dan trauma tadi pun mereka kesampingkan demi mengais rezeki.
Trauma bentrok antarkelompok suporter
2017 mungkin menjadi tahun yang mencekam bagi Fadillah (26). Saat itu, ia baru dua bulan ngekos di Surabaya untuk kuliah si salah satu PTN.
Baru saja berbulan madu dengan kehidupan kuliah yang menyenangkan, ia sudah mengalami kejadian tak menyenangkan. Kos-kosan Adil, sapaan akrabnya, tiba-tiba disatroni banyak orang.
“Situasi di kos-kosan mencekam banget. Pintu-pintu pada digedor. Kami para penghuni diminta buat keluar sama orang-orang yang gedor,” kata Adil, Selasa (11/3/2025) malam.
Setelah mencari tahu, orang-orang yang gedor itu adalah kelompok suporter klub tertentu yang sedang melakukan sweeping nomor kendaraan. Entah apa yang menjadi pemicu aksi sweeping tersebut.
“Jujur, aku sama sekali nggak ngikutin bola. Apa lagi bola Indonesia. Aku nggak tahu apa yang lagi kejadian saat itu,” imbuhnya.
Sialnya, plat motor Adil L, asal Malang. Plat inilah yang menjadi incaran orang-orang yang menyerbu kosnya. Selanjutnya, kejadian pun makin mencekam. Beberapa orang menyeretnya ke jalan, ia nyaris di keroyok.
Untungnya, pemilik kosnya datang, mencegah aksi tersebut. Bapak kosnya menjelaskan kalau Adil datang cuma buat kuliah. Selama seharian itu juga, ia juga bilang Adil cuma di kos, tidak kemana-mana apalagi nonton bola.
“Aku dilepasin, selamat dari amuk massa. Tapi tetap saja, kejadian itu bikin trauma. Membekas banget,” tuturnya.
Milih nglaju dua jam Malang-Surabaya karena takut
Sejak kejadian itu, Adil pun takut ngekos di Surabaya. Meskipun belum ada lagi berita soal gaduh-gaduh antarkelompok suporter, ia kadung trauma.
Alhasil, ia pun memilih untuk nglaju Malang-Surabaya sampai lulus kuliah. Tiap hari, perjalanan selama dua jam, atau total empat jam pulang-pergi, rela dia tempuh.
Ada kalanya, Adil memilih untuk motoran. Namun, ia juga kerap menggunakan opsi kereta api Penataran yang melayani jalur Malang-Surabaya.
“Dibilang boncos, jelas boncos. Dibilang capek, jelas capek. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga orang takut,” jelas Adil.
Di penghujung masa kuliahnya, ia sedikit “terselamatkan” akibat adanya pandemi Covid-19. Kondisi itu bikin intensitasnya ke kampus jadi lebih sedikit. Segala kegiatan dialihkan ke daring, termasuk skripsi hingga masa wisudanya 2021 lalu.
Karena urusan perut, kembali berani tinggal di Surabaya
Setelah lulus kuliah, Adil kesulitan cari kerja. Baginya, itu menjadi persoalan yang umum selama masa pandemi. Sialnya, ketika situasi sudah membaik pun, dia masih lebih banyak nganggur.
“Di Malang susah banget cari kerja,” ungkapnya.
Sepanjang 2022-2024, Adil bercerita kalau dia cuma kerja serabutan. Ia mengandalkan kerja-kerja freelance yang hasilnya tak menentu. Sebab, sekalinya dapat tawaran kerja tetap, upahnya jauh di bawah UMR.
Sebagai informasi, per 2022-2024, UMR Malang berada di kisaran Rp2,9 sampai Rp3,2 juta. Sementara tawaran gaji yang ia terima kala itu mencapai Rp2,5 juta saja tidak.
Barulah di Agustus 2024 lalu, teman kuliahnya menawarinya pekerjaan di Surabaya. Melihat tawaran gaji yang lumayan, Adil pun apply lamaran dan diterima.
“Itu cukup dilema bagiku. Di satu sisi aku masih ada trauma tinggal di Surabaya. Tapi aku juga nggak mungkin tiap hari nglaju, bisa mampus di jalan.”
Setelah memantapkan tekad, Adil pun kembali yakin buat tinggal di Surabaya. Trauma masa lalu, ia buang jauh-jauh. Ia berpegang pada prinsip, kalau tujuannya merantau adalah buat mengais rezeki, bukan merusuh.
“Trauma masa lalu kalah sama urusan perut. Hahaha,” tawa lelaki yang sudah lima bulan ke belakang tinggal di Surabaya.
Di Malang anak mudanya susah cari kerja
Adil bercerita, orang-orang sepertinya tidak sedikit. Di luar sana, banyak orang Malang yang memang memutuskan merantau ke Surabaya. Bahkan, ia sampai punya grup WA yang isinya ratusan perantau Malang di Surabaya.
Mojok juga mengobrol dengan Ilham (31), lelaki asal Malang yang sudah 10 tahun lebih tinggal di Surabaya. Sejak kuliah hingga kini bekerja sebagai pengajar sebuah kampus swasta, Surabaya menjadi “rumah ke dua” baginya.
Menurut Ilham, Malang memang mengalami persoalan serius soal lapangan pekerjaan. Banyak pemudanya kesulitan dapat kerja. Sekalipun ada, gaji yang ditawarkan pun di bawah UMR. Oleh karena itu, mereka pada akhirnya memilih merantau.
“Dan kalau ditanya mengapa tujuannya Surabaya, karena peluang dapat kerjanya besar. Sekecil-kecilnya tawaran gaji di Surabaya, itu masih lebih mending daripada tawaran di Malang,” jelas Ilham, saat Mojok hubungi, Selasa (11/3/2025).
Sementara kalau ngomongin “risiko”, Ilham menjelaskan di manapun kita kerja pasti ada. Bahkan, 10-15 tahun lalu, sentimen orang Malang di Surabaya masih besar. Gesekan kerap terjadi.
Untungnya, beberapa tahun ke belakang ini sudah tak terlihat. Masyarakat kedua kota sudah lebih permisif dengan para pendatang.
“Orang sudah dewasa. Sudah mampu melihat kami datang ke kota orang itu mau cari makan atau mau merusuh. Alhamdulillah semua pihak sudah memahaminya,” pungkasnya.
Penulis; Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Jogja Masih Menjadi Pilihan Para Perantau Surabaya, Karena Punya Sesuatu yang Tak Dimiliki Kota Pahlawan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.