Commuter line saya dari Stasiun Purwosari, Solo tiba di Stasiun Lempuyangan, Jogja pada Minggu (23/2/2025). Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB, tapi suasana masih hujan sejak siang tadi. Oleh karena itu, saya memutuskan tak langsung pulang dan duduk di ruang tunggu.
Sudah ada tiga kereta api yang melintas di jalur berbeda. Kereta api terakhir yang saya lihat tiba dari arah Surabaya. Ratusan orang turun dari tiap gerbong. Beberapa dari mereka membawa koper.
Salah satu penumpang yang baru saja turun dari kereta tersebut tak langsung keluar menuju pintu. Ia duduk di samping saya. Beberapa menit kami duduk, saya akhirnya memberanikan diri bertanya. Berharap ia tidak terganggu.
“Dari Surabaya, Kak?” tanya saya menjurus.
“Oh, iya Kak,” jawab perempuan tersebut.
Saya pun cerita kalau berasal dari Surabaya juga. Dari sanalah obrolan kami mengalir. Namanya, Dea (24). Ia pindah ke Jogja karena baru mendapatkan pekerjaan di agensi salah satu kreatif di sini. Sembari menunggu temannya menjemput, Dea hanya bisa duduk di bangku tunggu Stasiun Lempuyangan, Jogja dengan hati yang berkecamuk.
Bergulat dengan orang tua sebelum merantau
Bisa dibilang, Dea baru saja mengambil keputusan besar, sebab pada awalnya orang tuanya tak mengizinkan Dea jauh dari rumah. Apalagi, Surabaya, kata dia, terlihat lebih menjanjikan dari segi pekerjaan.
“Orang tuaku sebulan ini gloomy banget karena bener-bener banyak hal nggak terduga yang terjadi di anak pertamanya yang ndableg ini,” ucapnya terkekeh di Stasiun Lempuyangan, Jogja.
Sebelumnya, Dea sudah dua kali bekerja di Surabaya, tapi terus-terusan terkena lay off. Orang tuanya tak berhenti menasehati agar Dea memiliki pekerjaan tetap dan terjamin kesejahteraannya, seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, Dea keukeuh memilih pekerjaan yang sesuai dengan passion-nya.
“Sekarang mereka harus merelakan anaknya ini mbolang ke Jogja. Ya pasti berat, aku paham tapi at least aku sudah coba ya to?” ucap Dea mencoba meyakinkan diri.
Memantapkan hati di Stasiun Lempuyangan, Jogja
Keberangkatannya dari Surabaya ke Jogja bukan tanpa pertimbangan. Beberapa bulan terakhir ia sudah meyakinkan diri untuk merantau, termasuk bertanya kepada teman-temannya yang lebih dulu meninggalkan kota kelahiran mereka.
Namun, berkali-kali Dea memantapkan hati, ada saja hal yang membuatnya ragu. Sebab, hidup memang tak pasti. Ia sendiri tak pernah membayangkan harus kerja di luar Surabaya.
“Jujur, penawaran (gaji) yang aku dapat kemarin, cukup untuk membuatku ragu. Bisa nggak ya survive di sini dengan gaji segini,” ujar dia.
“Tapi saya nggak mau membebani diri saya sendiri, malah loro (sakit) pikir nanti,” lanjutnya.
Dea sendiri sebetulnya tak yakin apakah bisa lama dan betah tinggal di Jogja atau justru ‘secukupnya’ saja. Yang jelas, ia tak ingin menyesali keputusannya nanti. Ia berujar bakal mengusahakan yang terbaik. Tak lama setelah kami mengobrol, jemputan Dea akhirnya tiba. Ia pun pamit dari Stasiun Lempuyangan, Jogja.
Memasrahkan diri