Kacang lupa kulit, barangkali menjadi peribahasa yang cocok dialamatkan kepada salah satu mahasiswa asal Gunungkidul. Bagaimana tidak, dia berhasil mendapatkan kuliah gratis modal beasiswa, tapi malah “durhaka” dan melupakan orang tuanya.
***
Setiap kali pulang dari Jogja, tempat dia mencari kerja, Yudi (32) selalu menemukan rumahnya di Gunungkidul dalam keadaan yang sama. Kursi bambu tua di teras, tetap jadi tempat bapaknya duduk sore sambil merokok. Sementara di meja makan, ibunya tetap menaruh satu piring berisi tumis kembang pepaya dan ayam goreng, makanan kesukaan adiknya.
“Tiap kali kutanya, ibu selalu bilang, ‘siapa tahu kalau tiba-tiba adikmu pulang, dia bisa langsung makan lauk kesukaannya,” ujar lelaki yang bekerja di salah satu bengkel di Sleman itu, Selasa (16/9/2025).
Senyumnya getir. Ia masih tak habis pikir betapa kehidupan kota, cukup untuk membuat seorang anak lupa pada orang tua yang membesarkannya.
Dapat beasiswa, jadi kebanggan di keluarganya
Yudi memiliki seorang adik yang usianya tak jauh darinya. Sebut saja Bima (bukan nama sebenarnya). Tahun 2017, adiknya lolos beasiswa kuliah di Jakarta.
Di satu sisi, kabar itu bikin satu keluarga bangga. Meski di sisi lain, itu bukan kabar mengherankan, karena sejak sekolah Bima memang terkenal sebagai anak yang cerdas. Selalu ranking kelas.
“Hebat tenan, anak tani iso kuliah neng Jakarta gratis (Hebat, anak petani bisa kuliah gratis di Jakarta),” kira-kira demikian kalimat yang keluar dari mulut bapaknya.
Kata Yudi, ia dan adiknya memang seperti langit dan bumi. Adiknya pendiam, tapi cerdas. Lebih dimanja juga. Sementara dirinya sebaliknya: SMA saja tidak lulus dan memutuskan untuk bekerja saja.
“Aku selalu berdoa, moga-moga adikku jadi orang sukses, jangan kayak kakaknya ini,” ujar Yudi.
Yudi mengingat, saat hari keberangkatan, ia sendiri yang mengantar adiknya ke Terminal Wonosari. Ibunya menitipkan bekal nasi, dan bapaknya memberikan uang saku. Sementara Yudi, yang saat itu masih menganggur, tak bisa nyangoni apa-apa selain doa dan harapan.
Dapat kabar saja malah dari tetangga
Awal kuliah, komunikasi Bima dan orang tua masih berjalan lancar. Hampir tiap malam, anak penerima beasiswa itu menelpon ibunya. Kata Yudi, ia kerap bercerita tentang pertama kali naik bus kota di Jakarta, tentang bingungnya mencari kos, sampai tentang kehidupan kota yang 180 derajat dari desa.
Cerita-cerita itu pun membuat rumah tetap hidup, seolah jarak Jakarta–Gunungkidul tidak ada. Makanya, ketika hendak meninggalkan rumah untuk kerja di Jogja, Yudi tak khawatir karena rumah tak akan sepi-sepi amat.
Namun, seiring waktu, telepon itu makin jarang. Dari setiap malam, menjadi seminggu sekali. Lalu sebulan sekali. Hingga akhirnya nyaris tidak ada.
Yang ironis, kabar tentang Bima justru lebih sering datang dari orang lain. Misalnya, suatu hari salah seorang tetangga berkata pada ibu, “Wah, anakmu menang lomba debat, ya. Aku lihat fotonya di IG.”
Ibunya yang tak main IG jelas tak tahu menahu soal kabar itu. Yudi sendiri juga tak tahu kalau adiknya bakal “sekurang-ajar” itu. Padahal ia tahu adiknya begitu aktif di media sosial, tapi mengapa untuk sekadar mengabari orang tua saja tidak mau?
“Yang sedih itu, tiap aku tanya apa adik ngasih kabar apa nggak, ibu dan bapak selalu bilang, ‘nggak apa-apa mungkin adikmu lagi sibuk’. Padahal lho di IG dia update story terus, soal lomba lah, soal beasiswa lah.”
Baca halaman selanjutnya…
Tiga tahun tak pulang, bahkan orang tua tak tahu kalau anak sudah lulus.












