Merantau ke Jakarta tak pernah mudah. Lulusan S1 PTS Jogja bahkan harus luntang-lantung dan berakhir menjadi tukang parkir liar di kawasan perkantoran elite Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
***
Mendengar kata Jakarta Selatan, cuma ada tiga hal yang ada di benak Ade (24): kalcer, glamor, dan cari kerja gampang. Dalam bayangannya, dengan merantau ke Jakarta ia bisa “meng-upgrade” kehidupannya. Setidaknya bisa lebih baik secara penghasilan, karena setelah setahun kerja di Jogja ia merasa tak mendapat apa-apa.
“Kerja di Jogja itu, isinya cuma gajian, senang-senang bentar, tahu-tahu gaji abis. Kemudian, welcome back to reality. Gitu aja terus,” ujarnya kepada Mojok, Sabtu (17/5/2025).
Menurutnya, pangkal masalah itu adalah gaji yang tak seberapa. Saat masih di Jogja, Ade bekerja di sebuah kantor swasta dengan gaji mentok UMR. Kata dia, dengan gaji segitu, untuk bisa bertahan sampai akhir bulan saja sudah untung. “Makanya, mana kepikiran buat have fun,” imbuhnya.
Oleh karena itu, akhir 2024 lalu Ade memutuskan resign dari kantornya. Berbekal ijazah S1 kampus swasta di Jogja, ia pun menyusul kawannya yang sudah beberapa bulan kerja di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Seperti yang Ade bilang, motivasinya merantau ke Jakarta cuma ingin mendapatkan nasib yang lebih baik. Dan, bagi dia, datang ke Jakarta Selatan adalah solusinya.
Pada awalnya, merantau ke Jakarta dianggap pilihan ideal
Merantau ke Jakarta, dalam benak Ade, bisa memberi perubahan yang instan. Setidaknya, ia tak perlu khawatir bakal menganggur karena lowongan kerja melimpah. Apalagi dia datang ke Kebayoran Baru, pusat perkantoran elite yang berada di Jakarta Selatan.
Kebayoran Baru, kawasan yang menjadi jujugan Ade, memang dikenal sebagai merupakan kawasan yang “tak sembarangan”. Kecamatan di Jaksel ini menjadi kawasan yang sebagian besar merupakan daerah pemukiman, pertokoan, hingga pusat bisnis.
Kebayoran Baru menjadi rumah bagi Blok M yang terkenal itu, Sudirman Central Business District (SCBD), Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga terminal bus dalam kota terbesar di Jakarta, yakni terminal Blok M.
Kalau kata Ade, “kilauan lampu gedung-gedung pencakar langit Jakarta Selatan nggak pernah padam di sana.” Itu menjadi first impression-nya ketika pertama menginjakkan kaki di Jaksel.
Sejak pandangan pertama itu, Ade langsung yakin bahwa Jakarta memang menawarkan banyak jalan untuk sukses. Hal yang sulit dia dapatkan selama kerja di Jogja.
Namun, ada banyak ironi di Kebayoran Baru Jaksel
Sayangnya, bulan madu Ade dengan kemegahan gedung-gedung perkantoran Kebayoran Baru tak bertahan lama. Tepat di balik megahnya fasad itu, ia menyadari bahwa ada ironi yang tersembunyi.
Di balik gang-gang sempit yang berhimpitan dengan tembok-tembok apartemen mewah, ada ritme kehidupan yang berjalan amat kontras. Di sana, terdapat kos-kos sempit dengan fasilitas apa adanya. Jalanan juga becek, yang ketika hujan sangat mungkin tergenang banjir.
“Temanku beberapa bulan ini tinggal di situ,” kata Ade, yang baru menyadari bahwa ada “sisi lain” dari Jakarta Selatan yang jarang dibicarakan.
Hanya butuh beberapa hari menumpang di kos sempit temannya itu untuk menyadari bahwa Jakarta Selatan nggak melulu soal kemewahannya. Di balik itu semua, ternyata ada banyak perantau–termasuk temannya–yang hidup pas-pasan.
Meskipun mereka kerja kantoran, ada alasan mengapa kos (nyaris) kumuh itu mereka pilih sebagai tempat tinggal. Yakni karena harganya memang murah. Kalau memaksakan ngekos di tempat yang elite, gaji mereka tak cukup.
“Setelah diceritain sama temanku, aku baru tahu kalau kerja kantoran di sini banyak yang gajinya di bawah UMR Jakarta,” ungkapnya. “Ini sisi gelap merantau ke Jakarta yang baru aku tahu.”
Baca halaman selanjutnya…