Hanya ada obrolan samar di kedai kopi Toendjoeng Djaja di Umbulharjo, Kota Jogja (kawasan Pasar Sepeda Tunjungsari). Hujan kelewat lebat. Hanya ada segelintir pengunjung yang tampak menyeruput kopi di sana. Ditemani sayup lagu-lagu Chrisye hingga Nike Ardilla dari toa di sudut kedai.
Kedai kopi kecil di Pasar Tunjungsari, Kota Jogja, itu buka pada Desember 2022 silam. Kini, atas sejumlah persoalan, kedai Kopi Toendjoeng Djaja—dengan berat hati—tengah menghitung hari untuk pindah lokasi.
Misi hidupkan Pasar Tunjungsari Kota Jogja yang mati suri
Ditemani segelas es limun Sarsapilla, saya menyimak cerita dari pemilik kedai kopi Toendjoeng Djaja, Andre Setyawan (32). Pemuda asli Jogja.
Dulu kala melihat Pasar Tunjungsari, Kota Jogja, yang “mati suri”, Andre merasa tertantang. Bagaimana jika dia menciptakan traffic di sebuah tempat yang sudah mati tersebut?
Pasar Tunjungsari awalnya berdenyut sebagai pasar sepeda tua. Namun, setelah gempa Jogja pada 2006, kendati sudah direnovasi, tapi seiring waktu berangsur tak bergeliat lagi.
“Sekarang hanya ada satu pedagang sepeda yang tersisa (yang masih jualan),” ujar Andreas, Sabtu (15/3/2025) pukul 20.35 WIB.

Pada awal-awal buka, pengunjung yang datang masih belum banyak. Namun, memasuki Februari 2023, mulai terlihat bahwa kedai kopi Toendjoeng Djaja akan menciptakan traffic besar, terutama dari kalangan mahasiswa.
Apalagi memang Andre memberi harga murah untuk menu-menu di kedainya (mengusung konsep “kopi kerakyatan“): untuk minuman mulai dari Rp3.500, sementara untuk makanan mulai dari Rp6.000.
Denyut di Pasar Tunjungsari Kota Jogja yang lama mati suri
Dengan semakin ramainya pengunjung, Andre atas izin pihak Paguyuban Pasar Tunjungsari, Kota Jogja, diperbolehkan menggunakan trotoar depan kedai dan area belakang pasar.
Andre lalu berpikir untuk membuat ruang kreatif dengan memanfaatkan ruang-ruang tak terpakai di Pasar Tunjungsari.
“Saya komunikasi ke Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Jogja (Bidang Pasar Rakyat). Bagaimana kalau disewakan (untuk event)? Sewanya perhari Rp350 ribu,” ungkap Andre. Dinas Perdagangan setuju. Dari situ, mulai ada geliat aktivasi di Pasar Tunjungsari.

Seingat Andre, kelompok teater dari Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) menjadi kelompok pertama yang menggunakan ruang kreatif tersebut, dalam acara peringatan tiga dekade mereka. Kira-kira pada Maret 2023.
Setelahnya, mulai banyak kegiatan berlangsung di sana. Paling baru adalah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Jogja yang menggelar event e-sport FIFA.
Konflik panjang dengan Paguyuban
Seiring dengan berdenyutnya Pasar Tunjungsari imbas inisiasi Toendjoeng Djaja, api konflik mulai terpercik dari Paguyuban.
“Lebih pada persoalan parkir.” Begitu kesimpulan dari penjelasan panjang Andre.
Konflik bermula antara kedai kopi Tondjoeng Djaja dengan pihak keamanan Hotel Tjokro Style yang lokasinya tidak jauh dari Pasar Tunjungsari. Persoalan batas wilayah parkir.
Pihak hotel, kata Andre, lantas bertemu dengan Paguyuban. Lalu ketemu kesepakatan: pihak hotel akan menyewa lahan parkir di area pasar sebesar Rp700 ribu perbulan.
“Setelah saya tanyakan ke Disdag, katanya retribusi parkir hotel itu nggak sampai ke Disdag. Sementara Paguyuban bilang sewa itu juga buat retribusi,” jelas Andre.
Lihat postingan ini di Instagram
Setelahnya, Andre merasa ada upaya dari Paguyuban untuk membuatnya tidak nyaman. Konfrontasi dan tekanan mulai menyasar Andre.
Di antaranya, Andre dituding menggunakan fasilitas pasar tanpa izin hingga dituding jadi penyumbang sampah terbanyak di area sana. Padahal sebagian sampah kedai yang kebanyakan sampah botol-plastik sudah dioper ke pencari rongsokan.
Upaya Andre untuk bergabung ke Paguyuban pun hingga sekarang tidak kunjung disetujui. Padahal, gabung Paguyuban adalah upaya Andre agar lebih mudah dalam menghidupkan pasar rakyat di Kota Jogja yang sudah mati tersebut. Tujuannya sebenarnya itu: menghidupkan kembali pasar rakyat.
Sayangnya, karena merasa terus ditekan, Andre dengan terpaksa akan memindah kedainya. Tidak lagi di Pasar Tunjungsari.
Andre menyayangkan betul karena dia merasa Dinas Perdagangan tidak ambil andil memfasilitasi mediasi antara Toendjoeng Djaja dengan Paguyuban.
Dampak ekonomi yang buyar begitu saja
Andre akan memindah kedainya ke bangunan bekas Wisma Melati, tidak jauh dari Pasar Tunjungsari. Dalam perhitungannya, lokasinya berpotensi menciptakan traffic lebih besar.
Sebab banyak ruang tak terpakai untuk ruang kreatif. Parkir pun bisa dikelola sendiri. Namun, memang, Andre tidak bisa menampik rasa eman meninggalkan Pasar Tunjungsari.
“Yang kami sayangkan, aset daerah yang bisa dikelola dengan benar, malah terbengkalai. Yang kedua, dampak ekonomi yang selama ini sudah bisa dirasakan terancam hilang lagi,” beber Andre.
Keberadaan kedai kopi Toendjoeng Djaja memang tidak lantas membuat para pedagang sepeda mulai bisa jualan lagi di pasar. Akan tetapi, setidaknya memberi cipratan dampak ekonomi ke orang sekitar.
Antara lain, warung mie di samping kedai kopi bisa terdampak misalnya ada pengunjung kedai yang ingin ngopi sambil menyantap mie. Warung Madrua kecipratan omzet dari hasil penjualan bensin dan rokok. Juga angkringan di sekitar (karena jika Andre tidak bisa mengatur flow belanja di kedai karena saking crowded-nya, maka akan dia arahkan ke warung mie atau angkringan terdekat).

“Terus ada orang di selatan pasar, hidup dari rongsokan. Itu dapat operan dari kami: kardus, botol, kaleng, buat dirongsokin,” terang Andre.
Karena traffic yang makin tinggi, kedai kopi kecil itu bahkan bisa mempekerjakan tujuh karyawan. Rata-rata mahasiswa dengan gaji di atas umumnya karyawan (non manajer/head kitchen) kedai kopi atau coffee shop di Jogja.
“Sebenarnya sudah berencana membereskan kamar mandi pasar. Niatnya saya renovasi pakai dana sendiri. Tapi nanti dipasang kotak uang untuk bayar (yang pakai). Kan lumayan itu misalnya buat bayar orang sini yang nanti digaet jadi tukang bersih-bersih kamar mandi,” kata Andre. Sayang, rencana tinggal rencana. Raut kecewa tampak betul di wajah Andre, di bawah siraman cahaya setengah redup kedainya.
Paguyuban enggan bicara
Rabu (19/3/2025) siang WIB, Mojok mencoba mengonfirmasi Kepala Bidang (Kabid) Pasar Rakyat Disdag Kota Jogja, Gunawan Nugroho Utomo.
Gunawan menjelaskan, pada prinsipnya pihaknya selalu mendukung penuh setiap kegiatan ekonomi kreatif yang diinisiasi anak muda. Termasuk oleh Toendjong Djaja.
“Kami senang kolaborasi dengan temen-teman yang akan berkegiatan di pasar rakyat. Kami juga komunikasi dengan Mas Andre, mendukung beberapa acara mereka,” ungkap Gunawan.
Hanya saja, dalam merespons dinamika pasar, Gunawan menyebut selalu mencoba merespons secara prosedural.
“Kita pernah ada laporan (soal dinamika relasi Paguyuban dan Toendjong Djaja). Kami coba akan memfasilitasi. Akan tetapi, dari Paguyuban kemudian kirim pesan ke saya kalau sudah melakukan pertemuan dengan Toendjoeng Djaja,” jelas Gunawan.
Lalu perihal retribusi sebesar Rp700 ribu—dari sewa parkir hotel—yang konon tidak Paguyuban bayarkan ke Disdag, Gunawan mengarahkan Mojok untuk berkontak langsung dengan pihak Paguyuban.
Sejak Minggu (16/3/2025), Mojok mencoba menghubungi Joko selaku Ketua Paguyuban. Namun, hingga laporan ini tayang, Joko masih tak merespons sama sekali.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kedai Kopi TEKO.SU Sleman: Dari Vespa dan Stigma Jadi Rumah untuk Tumbuh, Pulang, dan Menampung Mimpi Banyak Orang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan