Tidak kurang dari 150 orang berkumpul pada pagi yang cerah nan hangat di pelataran rumput Akademi Bahagia, Ngebo, Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, pada Rabu (26/2/2025). Mayoritas adalah anak-anak muda. Sisanya jajaran perangkat desa setempat.
Pagi itu, berlangsung sosialisasi 4 pilar bertajuk “Sosialiasi 4 Pilar untuk Penguat Kesadaran Kebangsaan” oleh anggota MPR RI, Totok Hedi Santosa.
Tidak seperti sosialisasi pada umumnya yang cenderung satu arah, sosialiasi oleh Totok Hedi lebih interaktif: berformat diskusi. Sehingga tidak hanya menyimak, peserta justru lebih banyak bertukar gagasan dengan anggota MPR RI sekaligus Sekretasi DPD PDI Perjuangan DIY tersebut.

Era digital sebabkan pembusukan otak
Diskusi diawali dengan merespons bagaimana era digital kini bergerak ke arah yang makin negatif. Terutama dalam konteks Indonesia sebagai salah satu konsumen terbesar media sosial. Sehingga, alih-alih kemajuan, yang terjadi pada masyarakat adalah brain rot (pembusukan otak).
Pembusukan otak tersebut bukan lah disebabkan karena virus. Tapi lebih ke bagaimana otak manusia kini mengalami adiksi pada konten-konten receh dan berkualitas rendah.
Akibatnya, pelan-pelan masyarakat mengalami pembusukan otak. Gejalanya berupa penurunan daya pikir kritis, kecemasan yg berlebihan, dan di tingkat akut mengancam kesehatan jiwa.
Sialnya, gejala tersebut tak begitu dicermati oleh penyelanggara negara di negeri ini. Ketika negara-negara maju mulai melakukan pembatasan media sosial, melakukan edukasi publik besar-besaran, Indonesia masih jauh dari itu.
Para pemimpinnya masih berkutat pada bagaimana mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari kedudukan mereka di kursi birokrasi. Alih-alih menuju Indonesia emas, ini justru membawa pada Indonesia cemas.
Ruang publik seperti Akademi Bahagia Sleman malah ditakuti pejabat
Di tengah-tengah diskusi, seorang peserta berbagi aspirasinya kepada Totok Hedi. Gandi namanya. Pemuda asal Temanggung, Jawa Tengah.
“Saya beruntung kuliah di Jogja. Di sini ada banyak ruang publik yang terbuka khususnya bagi anak muda. Seperti Akademi Bahagia di Sleman ini. Tapi di Temanggung, atau juga daerah lain, sangat minim. Sementara pemerintah setempat tidak mau ambil bagian dalam memberi ruang publik semacam ini,” keluh Gandi.
Bagi Gandi, Akademi Bahagia yang baru berdiri 2023 lalu di Sleman, merupakan representasi ruang publik yang ideal. Di sana, semua kalangan bisa masuk.

Tak cuma gratis, tapi juga memberikan ruang bagi setiap orang untuk mengekspresikan bahkan mengembangkan diri.
Bagi Gandi, salah satu upaya untuk mengatasi pembusukan otak tersebut adalah dengan merawat dan membiarkan ruang-ruang publik semacam itu menjamur dan tumbuh subur.
Hanya saja, sering kali pejabat khawatir berlebihan pada keberadaan ruang publik. Apalagi yang menyuntikkan kesadaran atas pemikiran kritis (critical thinking) hingga pentingnya hidup bersama (community). Orang kritis, lebih-lebih bergerombol, dipandang sebagai ancaman. Wong sama lukisan (Yos Suprapto) dan lirik lagu (“Bayar Bayar Bayar” – Sukatani) saja takut.
Merebut tafsir ruang publik
“Kalau begitu, rebut saja tafsir ruang publik,” jawab Totok Hedi. Jika selama ini ruang publik ditafsirkan sebagai sebuah “ruang” dalam arti sebenarnya, maka dia menawarkan tafsir yang lebih luas.
Bagi Totok, jika pemerintah tidak kunjung menyadari perihal pentingnya ruang publik seperti yang Gandi mau, maka anak muda sah-sah saja melukakan inisiatif dengan membentuk ruang-ruang publik sendiri sebagai episentrum intelektual.
Angkringan, warung kopi, bahkan di bawah pohon bobotnya sama saja dengan misalnya di Akademi Bahagia. Sepanjang di sana, aspirasi-aspirasi orang seperti Gandi tersalurkan.
“Atau yang kedua, ciptakan ruang-ruang publik—dalam arti sesungguhnya—sendiri. Itu lah upaya mencintai Indonesia,” kata Totok Hedi.
Jangan sampai Indonesia cemas
Yang jelas, pada prinsipnya, berbagai inisiatif warga negara harus dimaksimalkan dan diperbanyak. Karena hal ini lah yang akan menjaga bangsa ini di masa depan.
Apa yang sering disebut sebagai 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD ‘45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI) juga harus menemukan relevansinya dengan zaman. Sebab, kalau tidak, itu hanya menjadi penamaan belaka tanpa isi. Hanya jadi istilah dalam “omon-omon” politik.
Para pendiri bangsa ini adalah manusia-manusia yang berpikir. Mereka merumuskan Pancasila dengan pemikiran dan permenungan yang mendalam.
Pembukaan UUD ‘45 bukan hanya karya politik yang cerdas dan bernas, tapi juga salah satu karya prosa terbaik di dunia. Bhineka Tunggal Ika adalah kesadaran yang luar biasa atas kemajemukan bangsa ini, dan bagaimana kita mengelolanya sebagai sebuah modal sosio-kultural. Bahkan pemilihan atas NKRI pun melalui perdebatan yang brilian antar-pendiri bangsa. Jika inisiatif-inisiatif tersebut senantiasa terjaga, tidak perlu ada kecemasan atas Indonsesia.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Angkringan Pasinaon Mbah Gun: Dari Masa Kecil Penuh Ejekan hingga Berjasa untuk Minat Baca dan Seni Tari di Sleman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan