Setelah berkeliling ke beberapa tempat di Jawa Timur seperti Surabaya dan Gresik, pemuda asal Jakarta Timur ini memutuskan tinggal di Sidoarjo. Harga kebutuhan hidup lebih terjangkau, akses ke daerah lain lebih mudah, dan bisa kerja sambil slow living.
***
Selama merantau dari Jakarta Timur ke Surabaya tahun 2013, Rofi (28) cukup sering melewati jalanan Sidoarjo tapi belum benar-benar menelusurinya. Sebab, letak kampusnya tak jauh dari sana.
Lima tahun kemudian, Rofi akhirnya lulus dan mendapat kerja di Gresik, di bidang teknik kimia. Berdasarkan hasil tabungannya, ia ingin membeli sebuah rumah, sekaligus tempat tinggal untuk keluarga kecilnya.
Dari sanalah Rofi mulai mempertimbangkan lokasi. Di mana tempat yang cocok untuk kerja dan slow living? Setelah melakukan penelusuran beberapa hari, Rofi mantap memilih Sidoarjo.
“Dan ternyata Sidoarjo itu juga cukup maju. Di beberapa hal, sudah sangat cukup untuk memenuhi standar-standar yang saya punya,” kata Rofi kepada Mojok, Kamis (31/7/2025).
Menurut Rofi, hidup di Sidoarjo dibandingkan dengan Jakarta dapat membuatnya kerja dan hidup secara seimbang (work life balance). Misalnya, tak melulu melintasi jalanan macet, harga kebutuhan hidup yang masih terjangkau, dan cocok bagi perintis.
“Secara kehidupan juga di Sidoarjo nggak terlalu terburu-buru. Sementara di Jakarta jalanannya macet, habis energi di perjalanan yang lama. Semua orang rasanya sedang berlari. Jadi kurang bisa menikmati,” kata Rofi.
Harga rumah di Sidoarjo lebih murah
Setelah lulus kuliah dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan bekerja selama beberapa tahun, Rofi akhirnya bisa menabung dan membeli rumah. Tempat tinggal untuk dia dan keluarga kecilnya.
Saat itulah Rofi mulai membanding-bandingkan harga rumah, baik di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Waktu itu ia sama sekali tidak kepikiran kembali ke tempat kelahirannya, Jakarta karena pekerjaannya berkutat di daerah Jawa Timur. Apalagi, harga rumah di Jakarta Timur. Jangan ditanya.
“Saya pernah tanya teman-teman yang masih di Jakarta dan membandingkan harganya dengan perumahan elit di Sidoarjo. Selisihnya sangat jauh, meskipun fasilitasnya tak jauh berbeda,” kata Rofi.
“Rata-rata rumah di Sidoarjo harganya bisa setengah lebih murah dibandingkan dengan daerah di Jakarta termasuk Jakarta Timur,” jelasnya.
Melansir dari CNBC Indonesia, Rata-rata rumah di Jakarta Timur memiliki harga yang lebih variatif, karena merupakan pusat industri dan pendidikan di Jakarta.
Untuk hunian sederhana dengan luas tanah sekitar 30 sampai 50 meter persegi, harganya Rp800 juta hingga Rp1,5 miliar. Sedangkan untuk luas 100 sampai 200 meteri persegi bisa mencapai Rp1,5 miliar sampai Rp5 miliar.
Akses jalan ke daerah lain lebih mudah
Meskipun berstatus kabupaten, Sidoarjo tak terlalu tertinggal dengan daerah di sekitarnya. Terdapat bangunan umum seperti sekolah, rumah sakit, mall yang tak kalah bagus fasilitasnya. Meskipun tetap kalah jika dibandingkan dengan Surabaya sebagai kota metropolitan.
Baik Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya sama-sama terkenal sebagai sentra industri. Tak ayal, volume kendaraan yang cukup tinggi juga membuat Surabaya dan Sidoarjo rentan terkena macet. Khususnya di “jalan neraka” Gedangan.
Namun, Roif mengaku tak masalah dan lebih baik tinggal di Sidoarjo. Sementara, Gresik lebih banyak bangunan pabrik dibandingkan fasilitas umum seperti di Sidoarjo. Tak cocok untuk slow living.
“Kebetulan aku selalu lewat tol karena menghindari Gedangan. Terus aksesnya juga mudah, kalau mau rekreasi alam, tinggal ke Pasuruan, Pandaan, Malang, juga dekat,” ujar Rofi.
Kesulitan belajar Bahasa Jawa
Rofi mengaku tak kesulitan untuk beradaptasi di Sidoarjo. Di kampungnya dulu–bukan kawasan perumahan, Rofi mengaku sering berbaur dengan orang-orang Jawa yang merantau ke Jakarta.
Tentu saja menggunakan bahasa Indonesia dengan gaya medoknya. Keberagaman itu membuat masyarakatnya guyub, tak seperti label orang luar daerah yang menganggap orang Jakarta individualis.
Saat kecil, Rofi kerap mengikuti kegiatan-kegiatan kampung yang diadakan oleh warga. Baik orang Jakarta Timur maupun orang Jawa juga terlihat akrab saat melakukan ronda bersama.
“Kadang, saking akrab dan ramainya malah bikin suasana kampung nggak kondusif. Orang-orang suka ngegosip. Jadi kalau ada info yang kurang mengenakan, tersebarnya juga cepat,” jelas Rofi.
Hanya saja, Rofi mengaku masih syok ketika merantau di Surabaya. Terutama dari segi bahasa. Lambat laun, ia mulai belajar Bahasa Jawa sedikit-sedikit dan paham beberapa kata.
“Tapi kalau Jawa-nya yang Jawa banget, sulit juga. Jadi kadang ketika beli sesuatu terus penjualnya ngomong bahasa Jawa, saya akan bilang ‘mohon maaf, apakah bisa diulang?’” kata Rofi.
Beuntung, pedagang itu memahami dan akhirnya menggunakan Bahasa Indonesia.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Sidoarjo 25 Tahun dalam Kebobrokan, Sudah Seharusnya Belajar pada Surabaya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












