Sebagai warga negara yang mencoba patuh pada setiap aturan, mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) dari A-C dengan jujur (tanpa calo atau nembak) di Kantor Satpas menjadi perkara yang diupayakan.
Sebab, SIM menjadi bukti kepatuhan hukum, keterampilan mengemudi, alat identifikasi saat situasi darurat, dan tentu saja agar aman dari penilangan di jalan.
Namun, mengurus SIM di kantor Satpas memberi narasumber Mojok pengalaman yang tidak nyaman lantaran tersaji suasana yang terasa jauh dari keramahan. Alih-alih merasa dilayani, yang terjadi justru menerima kegalakan-kegalakan oknum petugas.
Ngurus SIM C di kantor Satpas, tanya santun tapi dijawab sengak
Jauh sebelum mengurus SIM C di kantor Satpas, Sururi (24) sudah lebih dulu mengalami pengalaman tidak menyenangkan saat membersamainya bapaknya membayar pajak di sebuah kantor Samsat di Jawa Tengah. Selengkapnya bisa dibaca dalam tulisan, “Pertama Kali ke Samsat Langsung Kapok: Tak Dibantu saat Bingung Malah Dimarahi, Hanya Nemu Keramahan dari Tukang Parkir dan Satpam”.
Saat itu dia masih kelas 2 SMA. Setelah lulus dan hendak merantau kerja, Sururi mau tidak mau harus mengurus SIM C. Daripada selalu waswas dengan bayang-bayang kena tilang tiap melakukan perjalanan, lebih baik dia membekali diri dengan Surat Izin Mengemudi.
Hanya saja, dia sudah menduga belaka. Baik di kantor Samsat maupun Satpas, pasti ada saja oknum petugas yang memberi pelayanan tidak ramah. Dan begitulah yang terjadi ketika pada suatu pagi dia pergi ke kantor Satpas untuk mengurus penerbitan SIM C.
“Aku sebenarnya bingung. Ada tandanya kalau urus SIM itu ruangannya mana. Tapi karena tahapannya belum tahu, cobalah tanya petugas yang jaga di pos depan,” ucap Sururi, Minggu (29/6/2025).
“Pak, mau tanya, Pak.”
“Hm, gimana? Mau apa?”
“Mau urus SIM, Pak.”
“Perpanjang atau baru pertama kali?”
“Baru pertama kali, Pak. Ngurusnya bagaimana nggih, tahapannya?”
“Ya sudah kamu ke ruangan sana. Ngurusnya di sana.”
Dalam percakapan itu, Sururi berusaha sesantun mungkin saat bertanya. Tapi justru dijawab dengan nada sengak. Itupun tidak menjawab apapun. Sururi akhirnya langsung menuju ruangan yang dimaksud.
Cuma mau ngurus SIM C, tapi harus terlihat goblok
Di sebuah ruangan, Sururi mendapati beberapa orang duduk antre. Dengan berkas-berkas yang dia bawa, Sururi lantas mencegat ke seorang petugas yang sedang melintas, kembali bertanya tahapan untuk mengurus SIM C.
“Berkasku diminta untuk dilihat. Terus si petugas malah berdecak kesal. Bilang begini, ‘Mas-mas. Minta formulir dulu di depan sana. Terus bukti tes kesehatan ada atau belum? Belum? Kalau belum ngapain ke sini? Lengkapi dulu.’,” ucap Sururi mencoba menirukan si petugas.
Si petugas lantas berlalu begitu saja usai mengembalikan berkas Sururi. Setelahnya Sururi menyadari kalau dia jadi pusat perhatian banyak orang akibat teguran dari petugas tadi. Tentu saja dia malu karena terlihat seperti orang goblok.
Dia berharap, ah, betapa simpelnya misalnya petugas mau dengan ramah dan telaten memberi arahan. Tidak sekadar arahan, tapi juga arahan yang jelas bagi orang awam.
Beruntung saat itu ada orang baik yang memberi penjelasan kepada Sururi. Misalnya, harus cek kesehatan di mana, nanti menyerahkan berkas di mana, lalu tahapan selanjutnya bagaimana.
“Tapi gagal di ujian praktik. Karena sirkuitnya masih susah zaman itu,” ungkap Sururi.
Sururi sempat gigih mencobanya meski harus terus mengulang selama beberapa bulan. Namun karena tidak kunjung lolos, atas saran seseorang yang tidak dia kenal di kantor Satpas, akhirnya dia memilih menggunakan jasa calo.
Perpanjang SIM ternyata sama rumitnya, calo atau nembak jadi solusi
Ketika tiba masanya perpanjang SIM, Sururi mengira kalau prosesnya bakal lebih mudah. Ternyata sama saja. Sama rumitnya. Dia pun masih menemukan adanya oknum petugas yang lebih suka menggalaki orang ketimbang berlaku ramah.
Pengalaman-pengalaman itu kemudian membuatnya berpikir, sepertinya untuk memperpanjang SIM di kemudian haripun, akan lebih mudah kalau menggunakan jasa calo. Meski biaya lebih mahal, setidaknya dia tidak harus repot-repot bergelut dalam kerumitan dan merasa nyesek sendiri jika bertemu oknum petugas galak.
Terkait ini, ada temuan menarik dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) perihal penggunaan jasa calo atau praktik nembak SIM.
ORI DIY menyebut, sejak akhir 2021 hingga awal 2023 masih banyak terjadi praktik-praktik curang dalam proses pembuatan SIM. Dari 160 masyarakat pembuat SIM yang disurvei oleh ORI DIY, 52% mengaku merasa dipersulit saat membuat SIM.
Lalu tercatat ada 42,3% orang yang gagal dalam ujian SIM memilih menggunakan jasa perantara atau calo, 34,6% yang lain memilih untuk membayar ke oknum petugas alias nembak. Karena merasa putus asa dengan kerumitan yang dihadapi demi mendapat Surat Izin Mengemudi tersebut.
Ironi di kantor Satpas: Ada yang susah payah, ada yang mulus-mulus saja
Perlakuan oknum petugas di kantor Satpas yang tidak ramah juga dirasakan oleh Tabiin (29) saat pertama kali mengurus SIM C di sebuah kantor Satpas di Jawa Timur beberapa tahun silam.
Namun, di masa itu, karena Tabiin masih belum mengenal calo dan istilah “nembak”, dia melihat ada ironi yang begitu kentara.
“Ada orang yang dapat respons sengak. Kelihatan bingung dan susah payah mengurus SIM. Apalagi waktu ujian praktik,” tutur Tabiin.
Akan tetapi, di sisi lain dia melihat ada orang yang lebih beruntung. Berbisik ke oknum petugas, lalu si oknum petugas bergegas melakukan beberapa hal untuknya.
Orang tersebut lalu tiba-tiba saja sudah ada di ruang pengambilan foto. Tak lama berselang dia langsung bisa mengambil Surat Izin Mengemudi-nya. Di kemudian hari, Tabiin baru tahu kalau ada istilah “nembak”.
Memilih tak punya SIM, wegah ruwet!
Hingga saat ini, Tabiin mengaku tidak memiliki SIM dan belum kepikiran untuk mengurusnya lagi. “Wegah ruwet!” kalau kata Tabiin.
Pertama, dia mengaku kesal saat pertama kali ke kantor Satpas. Merasa orang kecil nan awam seperti dirinya diperlakukan bak sampah. Hanya menerima respons sengak dan galak dari oknum petugas.
“Kita nggak punya SIM di jalan kena tilang. Disuruh membuat SIM. Pas membuat malah kayak sulitnya nauzubillah,” gerutu Tabiin.
Kedua, sejak gagal berkali-kali di ujian praktik, Tabiin mengaku sudah putus asa. Bahkan ketika sirkuit untuk ujian praktik mulai dibuat lebih simpel di beberapa Satlantas, Tabiin mengaku sudah terlanjur wegah.
Menggunakan jasa calo atau nembak juga tidak masuk dalam opsinya. Buang-buang uang.
Komitmen memberi pelayanan terbaik
Apa yang Sururi dan Tabiin alami memang sudah beberapa tahun silam. Namun, di media sosial, masih ada saja orang yang mengaku mendapat perlakuan tidak ramah saat berhubungan dengan petugas Kepolisian, terutama yang berhubungan dengan lalu lintas, pelayanan SIM, hingga urusan di Samsat.
Oleh karena itu, sebagai semangat Hari Bhayangkara ke-79, Kakorlantas Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho berkomitmen mendorong Polantas dan seluruh elemennya untuk berbenah dan memberi pelayanan terbaik untuk masyarakat.
Di antara komitmen yang Irjen Agus dorong adalah pelatihan pelayanan publik bagi anggota, terutama di pos jaga, lokasi tilang, hingga kantor pelayanan SIM.
“Sudah sepatutnya kami menjadi yang pertama dalam mewujudkan pelayanan yang humanis, cepat, transparan, dan berkeadilan,” kata Irjen Agus belum lama ini, sebagaimana dikutip dari Metro TV. Mengingat, Polantas adalah etalase pelayanan Polri yang kerap bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Komitmen untuk memberi pelayanan terbaik itu juga dibuktikan dari 12% peningkatan kepuasan masyarakat terhadap layanan lalu lintas: dari sebelumnya 84,83% menjadi 94,92%, sebagaimana data dalam Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) baru-baru ini.
Dengan petugas yang semakin humanis, harapannya tentu tidak ada orang-orang seperti Sururi dan Tabiin, yang merasa diperlakukan tidak baik sehingga merasa wegah dan terus menyimpan persepsi buruk pada Kepolisian.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan: Wujud Kengerian Negara Ini yang Melanggengkan Penyiksaan dan Kekerasan Terhadap Perempuan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan