MOJOK.CO – Di Nusa Tenggara TImur, polisi justru memperkosa perempuan korban pemerkosaan yang datang melapor. Wujud kengerian sebuah negara.Â
Trigger Warning! Konten ini berisi informasi mengenai kekerasan seksual yang mungkin dapat memicu trauma pembaca!
Beberapa kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap perempuan yang kita lihat di media merupakan fenomena gunung es. Masih banyak lagi kasus yang belum terkuak.
Kita mungkin sudah sering melihat atau membaca berita mengenai polisi sebagai pelaku kejahatan terhadap perempuan atau anak perempuan. Misalnya pada kasus Kapolres Ngada yang terlibat perdagangan manusia.Â
Minggu ini, berita polisi memperkosa kembali menggegerkan Indonesia. Kali ini, polisi melakukan pemerkosaan terhadap perempuan korban pemerkosaan di Polsek Wewewa Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT).Â
Mirisnya, kedua kasus di atas bagian dari fenomena gunung es. Artinya, masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak kita ketahui, yang dilakukan oleh aparat kepolisian.Â
Terdapat berbagai alasan kasus-kasus tersebut tidak terbongkar. Misalnya, adanya relasi kuasa yang luar biasa, korban tidak berani melapor karena intimidasi atau ancaman, hingga lemahnya kapasitas psikologis korban.Â
Polisi sebagai aktor negara yang melakukan kejahatan terhadap perempuan
Konstitusi Indonesia Pasal 28G menjamin bahwa setiap orang termasuk perempuan berhak untuk terbebas dari tindakan penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Secara khusus, hak korban kekerasan seksual juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yaitu hak penanganan, perlindungan, dan pemulihan.Â
Miris, alih-alih mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur oleh hukum, korban malah mendapatkan kekerasan berulang. Bahkan penyiksaan seksual oleh aparat yang menerima laporannya.Â
Korban pemerkosaan kerap mendapatkan penolakan ketika membuat laporan. Dalihnya antara lain tidak cukup bukti, pertanyaan yang menjerat dan menimbulkan trauma, dianggap suka sama suka, bahkan perlakuan lain yang tidak berperspektif korban. Tindakan-tindakan diskriminatif terhadap perempuan bahkan kelompok rentan inilah kemudian dirawat dan dilanggengkan secara terus-menerus oleh polisi.Â
Jika kita melihat hukum internasional, yaitu Pasal 2 huruf d Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang disahkan melalui UU No. 7 Tahun 1984, negara memiliki kewajiban untuk kontrol diri. Tujuannya agar tidak melakukan suatu tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini.Â
Polisi, sebagai institusi negara, dapat dianggap sebagai pelaku (state actor) kejahatan hak asasi perempuan karena melakukan kejahatan, melanggengkan dan membiarkan praktik diskriminatif terhadap perempuan dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.Â
Selain itu, tindakan perkosaan ketika proses penanganan kasus di kepolisian (penyidikan) merupakan penyiksaan psikologis dan seksual. Semuanya sudah diatur dalam Konvensi Anti Penyiksaan.
Budaya diskriminatif dan tidak inklusif para polisi
Ketika perempuan korban kekerasan seksual melakukan pelaporan ke kepolisian, seharusnya kepolisian sebagai aktor negara bertanggung jawab melindungi korban pemerkosaan. Terutama dari intimidasi atau tindakan pelaku sebagai aktor non-negara, menindaklanjuti laporan polisi dan memberikan informasi mengenai akses perlindungan korban.Â
Misalnya dengan memberi informasi mengenai bantuan hukum, rujukan psikolog, rumah aman, hingga proses ganti kerugian korban. Budaya diskriminatif dan tidak inklusif di kepolisian ini menimbulkan trauma yang semakin mendalam pada korban.Â
Selain itu juga, pada akhirnya memiliki dampak buruk luar biasa terhadap keberlanjutan penegakan kasus kejahatan terhadap perempuan di Indonesia. Yang saya maksud adalah korban kekerasan terhadap perempuan takut dan khawatir melapor ketika mengalami kekerasan sehingga enggan untuk menempuh jalur litigasi. Semua karena melelahkan dan membebani korban, bahkan untuk pendamping korban dalam proses pembuktian dan penanganan yang berlarut (delay in justice).
Reformasi kepolisian harus dilakukan demi menyelamatkan lebih banyak korban perempuan kekerasan terhadap perempuan
Saat ini kita melihat wajah instansi kepolisian dengan budaya maskulin, tidak inklusif, dan melanggengkan penyiksaan dan kekerasan terhadap perempuan. Permasalahan ini tidak hanya 1 atau 2 kasus semata, tetapi permasalahan sistemik yang harus diobati dengan sistemik pula.Â
Penyelesaian sanksi etik atau pidana pelaku polisi yang bersangkutan merupakan satu hal. Setelah itu, perlu adanya penyelesaian sistemik menyentuh akar permasalahan di tubuh polri.Â
Masih banyak kasus pemerkosaan di luar sana yang tidak diketahui. Salah satunya karena tidak viral karena korban belum berani untuk melaporkan karena relasi kuasa yang ada dan intimidasi yang dilakukan dengan menggunakan alat dan fasilitas negara yang dibayar menggunakan uang rakyat.
Dalam anggaran belanja 2025, polisi memiliki anggaran tertinggi kedua setelah Kementerian Pertahanan, sebesar Rp126,62 triliun. Artinya, penggunaan anggaran belum optimal untuk memperkuat etika, kualitas sumber daya manusia, pembelajaran mendalam mengenai hukum Hak Asasi Manusia dan gender dan sistem pengawasan.Â
Pelaku polisi merupakan wujud dari sumber daya manusia yang berkualitas rendah. Mereka tidak memiliki kesadaran etik sebagai aparat penegak hukum apalagi sebagai aktor negara. Oleh sebab itu, kondisi ini berpotensi membuat pelaku polisi melakukan hal ekstrem dan brutal yang melanggar hak asasi perempuan.
Perlu lebih dari komitmen serius
Apabila polisi memiliki sumber daya manusia yang baik dalam menerima pelaporan kekerasan terhadap perempuan, kepolisian akan melakukan asesmen gender terhadap korban kekerasan.Â
Misalnya berupa analisis relasi kuasa antara korban dan pelaku pemerkosaan, masalah struktural yang dihadapi korban perempuan, dampak dan kerugian yang dialami korban misalnya dampak psikososial, ekonomi, dan fisik hingga melakukan analisis kebutuhan korban dalam pemenuhan hak-haknya.Â
Pedoman mengenai standar kepolisian ketika memproses kasus kekerasan terhadap perempuan ini bahkan belum diatur dalam regulasi internal kepolisian. Kepolisian sebagai institusi negara yang merupakan garda terdepan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat perlu memiliki komitmen serius.
Khususnya untuk melakukan reformasi sistemik permasalahan-permasalahan yang mencederai hak-hak perempuan dan menghambat keadilan bagi korban.
Penulis: Christine ConstantaÂ
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ngeri Sekali Jadi Korban Kekerasan Seksual di Negeri Ini, Minta Keadilan Malah Mentok di Jalur ‘Kekeluargaan’ dan catatan miris lainnya di rubrik ESAI.Â