Semakin dewasa, Eren (23) jadi sulit mempercayai orang lain. Ada perasaan takut yang menyelimuti hatinya karena pernah di-bully. Lebih-lebih jika ada orang yang menghakiminya. Oleh karena itu, alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut lebih sering menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Peringatan: Tulisan ini dapat memicu pengalaman traumatis, khususnya bagi kamu yang pernah mengalami bullying. Mojok menyarankan kalian tidak melanjutkan membaca apabila dalam keadaan rentan.
Curhat alumnus UGM yang mengalami bully
“Ketika SMA, saya sudah tidak punya keinginan untuk ikut organiasi, sebab semangat itu sudah saya kubur dalam-dalam berkat pengalaman buruk di bangku SMP,” kata Eren saat dihubungi Mojok, Selasa (11/3/2025).
Saat SMP, Eren mengaku mengalami bullying di pondok pesantren. Setidaknya ada 15 orang yang ramai-ramai melabraknya hanya karena ia aktif ikut Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).
Pondok pesantren tempat Eren nyantri menganut sistem poin. Anak yang melanggar bisa mendapat sanksi ringan hingga berat, tergantung jumlah poinnya. Salah satu sanksi terberat adalah dijemur di depan masjid sambil mengaji berjam-jam, bahkan ada yang sampai pingsan.
Orang yang bisa mengakses poin itu hanyalah guru dan beberapa anggota OSIS. Jadi tidak semua. Sementara, Eren yang punya jabatan inti di OSIS dan daya ingat yang kuat akhirnya dipercai oleh gurunya.
“Sebenarnya bukan saya yang ngasih poin, tapi kebetulan saya punya ingatan bagus untuk menghafal nama-nama panjang. Jadi saya orang yang pertama kali dicari kalau guru-guru tak tahu nama mereka,” kata alumnus UGM tersebut.
Kesalahpahaman itu semakin beralut hingga beberapa santri di pondok pesantren menjauhinya bahkan merundungnya secara fisik dan mental.
Suatu hari, 15 orang siswa melabraknya. Satu dari mereka melempar sapu ke arah Eren. Beruntung tangannya cekatan menangkis sapu tersebut. Tak berhenti sampai di situ, melihat Eren yang berani melawan, sebuah wadah berisi body lotion kali ini meluncur ke arahnya.
“Saya tidak siap dan belum sempat menghindar, sebelumnya akhirnya mendarat dengan mulus di pelipis,” kata alumnus UGM tersebut.
Melihat Eren yang kesakitan, mereka justru tertawa terbahak-bahak. Lalu, meninggalkan Eren sendirian. Di depan belasan orang tadi, Eren berjanji pada dirinya sendiri agar tidak menangis. Namun, air matanya pecah saat mengambil wudu di keran musala.
“Sakit di pelipis memang tak seberapa, tapi sakit hatinya luar biasa,” ucapnya.
Bullying di pondok pesantren yang berulang
Bullying itu tak terjadi sekali. Saat menjadi siswa baru, ia sudah dilabrak oleh kakak kelas hanya karena lirikannya dinilai judes. Beberapa kakak kelas memaki-maki Eren dengan suara keras dan tidak mau berhenti sebelum ia meminta maaf.
Tak berhenti sampai di situ, mereka diam-diam masuk ke kamar Eren lalu membuka lemari pribadinya yang sengaja tidak dikunci. Rupanya, salah satu dari mereka mengambil buku harian Eren yang berisi keluh kesahnya selama ini.
Eren pikir buku itu hilang karena kecerobohannya. Bisa saja buku itu jatuh atau ketinggalan di suatu tempat. Namun, saat malam tiba, Eren justru dipanggil oleh anak-anak tadi ke salah satu ruangan. Di sana, mereka memarahi Eren hingga pukul 02.00 WIB.
“Buku itu isinya mostly misuh-misuh, ya saya ngeluh aja karena udah capek sekolah plus diniyah, masih senang-senangnya oragnisasi tapi malah diganggu,” kata alumnus UGM tersebut.
Tak puas memarahi Eren, kadang-kadang saat bertemu di jalan, bahu Eren ditabrak oleh satu atau dua orang sampai ia hampir jatuh. Namun, Eren memilih tak menggubrisnya. Sebetulnya, ia sempat ingin pindah sekolah tapi tak bisa menceritakan masalah tersebut ke orang tuanya.
“Saya nggak mau mereka cemas, apalagi ayah saya punya penyakit jantung sejak saya SD,” ucap Eren.
Proses pemulihan diri hingga lulus kuliah di UGM
Pengalaman Eren saat SMP masih membekas hingga sekarang, walaupun ia mengaku sudah bisa berdamai dengan masa lalu tersebut. Sebab sebelumnya, Eren berujar jadi sulit mengelola emosi. Termasuk mengendalikan ledakan amarah yang sering terjadi.
Tak jarang, ia lebih memilih menghindari konflik, baik dalam hubungan pertemanan maupun di dunia kerja. Bahkan dalam situasi yang seharusnya membutuhkan ketegasan
“Ketika marah saya takut, kata-kata saya justru menyakiti dan memperburuk keadaan,” ucap alumnus UGM tersebut.
Namun, bagi Eren, pengalaman adalah guru terbaik. Dari bullying di pondok pesantren, ia bisa merefleksikan perjalanan hidupnya. Tak mudah memang, tapi ia berusaha menghargai prosesnya untuk bertumbuh. Mungkin karena itu, ia jadi lebih peka terhadap sekitarnya.
Pengalaman bullying tersebut juga membuat Eren belajar, betapa pentingnya empati dan berlaku baik pada orang lain.
“Alih-alih menekan atau mengabaikan perasaan yang muncul, cobalah merasakan dan memahami emosi yang masih tersisa,” ujarnya, “lalu menerima bahwa kejadian tersebut adalah bagian dari masa lalu yang tidak bisa diubah,” lanjutnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Anak Saya Direndahkan, Dibilang Anak Setan–Ucap Orang Tua Korban Bully di Jakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.