Seorang ayah memilih tidak mengajak anak ceweknya yang punya bakat sepak bola untuk nonton pertandingan sepak bola Indonesia di stadion. Ia juga menolak tawaran tiga klub sepak bola yang berminat meminang putrinya sebagai pemain sepak bola putri masa depan.
***
Riuh suara penonton yang sebagian besar ibu-ibu memadati tribun sebelah utara di Stadion Tridadi, Sleman, Kamis (19/6/2025). Tim sepak bola putri KU 12 dari SD Tarakanita Bumijo I B melawan SDN Kotagede 1. Ini adalah pertandingan terakhir sesi pagi di Grup A kompetisi MilkLife Soccer Challenge (MLSC) Yogyakarta 2025.
Dukungan penuh untuk anak-anak yang tertarik pada sepak bola putri
Di sebelah ibu-ibu yang berteriak memberi semangat tersebut, dua orang bapak-bapak tengah duduk ngobrol. Saya pikir mereka pendukung salah satu sekolah yang tengah bertanding di tengah lapangan, rupanya bukan.
“Saya suporter Ungaran (SDN Ungaran), ini Tarakanita,” kata Windo (42) menunjuk laki-laki di sampingnya. Di sampingnya, Putra (43) jadi suporter SD Tarakanita Bumijo I B yang tengah bertanding di lapangan. Anaknya sendiri baru bertanding sore hari karena masuk tim utama yang tergabung di SD Tarakanita Bumijo I.
Rupanya dua bapak ini anak-anaknya berlatih di Sekolah Sepak Bola (SSB) yang sama, SSB Maguwoharjo Football Park, milik Kahudi Wahyu, mantan punggawa PSS Sleman. Dari awal anak-anak mereka tertarik pada sepak bola, dukungan penuh langsung diberikan.
Windo menceritakan awalnya sang anak, Nayla, tertarik main sepak bola di sela waktu istirahat di sekolah. Sampai kemudian ada informasi MLSC hadir di Yogyakarta setahun lalu. “Anak saya sangat bersemangat meski masih nol kemampuannya,” kata Windo.
Saking bersemangatnya, anaknya membuka tabungan hasil mengumpulkan ‘THR’ saat Lebaran. “Dia beli sepatu, harganya 150 ribu rupiah,” kata Windo tersenyum. Ia dan istrinya kemudian memutuskan memberikan dukungan penuh dengan mendaftarkan anaknya di SSB.
Meski di SSB anaknya bermain dengan anak laki-laki, tapi ia melihat cara mendidiknya sangat bagus. “Lebih percaya diri dan berani dia. Nggak masalah dia lawan cowok,” kata Windo.

Tolak 3 klub sepak bola yang ingin merekrut anaknya demi bangun pondasi karakter
Menurut Putra, meski sepak bola kerap dianggap olahraga laki-laki. Baginya, lapangan hijau adalah ruang yang setara. “Cewek atau cowok, semua risiko sama. Yang penting anak saya senang,” tegasnya.
Awalnya anaknya, Mikaela Fruma Adaninggar (10) ikut olahraga renang, bahkan kerap ikut kompetisi. Namun, kemudian berhenti, dan jatuh hati dengan sepak bola. Ia memahami, di usianya yang kini 10,5 tahun, jiwa anak-anak Mikaela masih labil. Ia tidak mau memaksakan hal yang anaknya dari awal tidak senang.
“Sepak bola ini termasuk paling lama, hampir dua tahunan,” kata Putra. Alasan, anaknya senang menekuni sepak bola juga sederhana khas anak-anak, “dia senang karena bisa mencetak goal,” katanya.
Tahun lalu, Mikaela masih ikut KU 10, tahun ini ia ikut KU 12 dan masuk di tim utama. Tahun lalu ia bahkan menjadi salah satu pencetak gol terbanyak, masing-masing untuk Series I MLSC Jogja 2024, cetak 6 gol dan Series 2 MLSC Jogja ia cetak 8 gol. Di series 2025, baru bertanding sekali, Mikaela sudah mencetak 5 gol.
Cara bermain Mikaela sebagai striker, rupanya menarik beberapa klub sepak bola ternama di Yogyakarta. Namun, Putra menolak tawaran itu. Ia tidak mau menghancurkan pondasi yang ia bangun untuk anaknya. Ia ingin anaknya bersenang-senang, sekaligus belajar tentang kerja keras, disiplin, dan pentingnya bermain sebagai tim.
“Anaknya baru kelas 5, usianya juga baru 10,5 tahun. Ijik cah cilik, Mas,” tegas Putra. Bagi orang lain, mungkin keputusannya terbilang nyleneh karena seperti membuang kesempatan besar. Namun, ia ingin mematangkan dulu anaknya di SSB yang sekarang.
“Saya ingin anak saya punya pondasi kuat, baik mental dan teknik sepak bola, saya tidak ingin mencari sesuatu yang instan,” ujarnya.

Masih ada SSB yang meremehkan pesepak bola perempuan
Putra menjelaskan, ia dan Windo punya alasan yang sama kenapa memilih SSB di MFP. Tak lain adalah membangun karakter anak. Putra mengatakan, di MFP memang belum terbentuk tim sepak bola perempuan, sehingga latihannya bersama dengan anak laki-laki, tapi justru mental anaknya terbentuk.
Sebelumnya ia sempat membawa Mikaela trial ke beberapa SSB lain, tapi kesan yang muncul justru meremehkan pesepak bola perempuan. “Ketika anak saya mencoba, ada pemain di situ yang meremehkan. Ada yang bilang, ‘Cewek iki iso apa toh? Ngapain cewek datang ke sini?’ Anak saya dengar sendiri. Situasi seperti itu bikin anak saya nggak nyaman, sampai kemudian kami menemukan MFP,” cerita Putra.
Menurut Putra, bukan ia dan anaknya manja atau lembek, atau sepak bola itu harus halus. Ini karena mereka adalah anak-anak, bahkan umurnya masih 10 tahun. “Belum waktunya untuk kalian cekokin dengan hal yang berbau menyakiti, anarkis atau merugikan siapapun lah,” kata Putra.
Terbukti, meski latihannya bersama cowokk, baik Putra mapun Windo sepakat mental anak mereka justru terasah dan tidak lembek, karena cara melatihnya tepat. Di tempat latihan, anak-anak ditanamkan tentang sepak bola itu bukan sekadar adu otot, atau menang kalah. “Kalau kalah, jangan menyalahkan banyak hal, kalau seperti itu menurut kami berdua, kurang pas lah untuk ditanamkan pada anak-anak,” kata Putra.

Tak akan ajak anaknya nonton ke stadion nonton bola
Demi menjaga mental anaknya juga, ia tidak mau mengajak anaknya menonton pertandingan sepak bola di stadion yang mempertemukan pertandingan orang dewasa. “Saya tidak ingin meracuni otaknya. Masih terlalu awal untuk mengenalkan suasana stadion. Saya milih waktunya yang tepat,” kata Putra.
Di stadion, segala sumpah serapah bahkan binatang biasanya bermunculan. Ia sendiri sejak remaja kerap menonton pertandingan sepak bola di stadion. Sehingga paham betul apa yang akan didengar oleh anaknya yang baru 10 tahun.
Putra ingat, kata pelatih Mikaela, anak itu ya seperti kertas putih, mereka akan meniru apa yang didengar atau apa yang mereka lihat. Ia ingin Mikaela bersenang-senang main bola dulu sesuai dengan usianya. Tidak mendengar hal-hal yang bisa meracuni.
“Nonton bolanya biar di televisi atau YouTube. Anak saya sekarang sering pakai hapenya untuk nonton cara bermain bola yang benar,” kata Putra. Kalau sudah waktunya, ia pasti akan mengajak anaknya itu untuk datang ke stadion.
Untuk mengenal lingkungan sepak bola di luar, ia memilih mendaftarkan anaknya untuk mengikuti klinik sepak bola. “Awal Juli sudah saya daftarkan untuk ikut klinik sepak bola dari Real Madrid di Bali,” katanya.

Kekalahan bagian dari proses anak-anak, dibawa senyum saja
Windo menegaskan ia melihat cara melatih Kahudi Wahyu di SSB Maguwoharjo Football Park sangat bagus untuk anaknya. Nilai-nilai positif jadi prioritas. Misalnya, kekalahan dianggap bagian dari proses. “Kalau kalah 10-0, 13-0 nggak apa-apa, digawe senyum,” ujar Windo
Orang tua juga nggak boleh ikut-ikutan. Di lapangan itu tanggung jawab pelatih. Pelatih juga menekankan untuk jangan bermain keras, dan jangan saling menyakiti (lawan). “Jadi ya seperti ini, kalau kita ketemu guyon, walaupun katanya kan di sepak bola Ungaran 1 dan Tarakanita musuh bebuyutan, tapi kita di luar ya gojek seperti ini. Nah, suporter itu juga perlu edukasi, sehingga nonton bola itu jadi hal yang membahagiakan,” kata Putra yang diiyakan Windo.
Keduanya berharap, kompetisi MLSC makin mengasah kemampuan anak-anak mereka. “Kami melihat ada keseriusan membangun ekosistem sepak bola putri di Indonesia lewat MLSC ini,” kata Putra.
Ibu-ibu yang bergembira setelah anak perempuannya main sepak bola
Dukungan orang tua untuk anak perempuan mereka yang bertanding di MLSC begitu besar. Di Lapangan Tridadi, meski hari pertama masih babak kualifikasi, tribun penonton ramai oleh yel-yel penonton. Dua sekolah yang mendominasi adalah suporter dari dua sekolah di Yogyakarta, SD Muhammadiyah Sapen dan SDN Ungaran 1.
Keduanya sekolah yang berada di wilayah Kota Yogyakarta. Tim utama mereka sebenarnya sudah lolos ke babak utama, tapi sebagai bentuk dukungan, mereka tetap datang untuk mendukung tim B, atau C mereka.
“Sneusa..sneusa… memang keren…ooo..ooo. Lagu dari suporter pendukung Srikandi Sneusa atau SDN Ungaran 1 Yogyakarta itu lantas dibalas oleh kelompok suporter di sebelahnya.
“SD Sapen…SD Sapen..memang keren. Ole.ole..ole..ole..ole oleee.”
Dipimpin oleh capo atau orang yang mengoordinasikan nyanyian dan yel-yel, suporter kedua kelompok tersebut bernyanyi sekaligus meneriakan yel-yel. Suara tabuhan bass drum dan suara capo lewat megaphone makin membuat suasana meriah.
Mereka bukan sekadar mendukung dan memberi semangat, tapi juga sebagai wujud terima kasih pada sepak bola. Anak-anak mereka bukan hanya bisa bermain sepak bola, tapi juga mendapatkan manfaat lain.

Bersyukur anak perempuannya mengenal sepak bola, jadi berani dan tak lagi introvert
Bagi Nurul (37) sepak bola putri bukan hanya memberikan kesenangan bagi anaknya, Fatia (11), tapi juga kebahagiaan bagi dirinya. Anaknya yang dulunya langganan opname di rumah sakit, kini justru sehat dengan main sepak bola.
“Sebagai ibu kan mikir, anak sakit-sakitan, kok main bola. Saya tahunya diberitahu oleh gurunya, karena anak saya daftar ekstra kurikuler sepak bola. Padahal tahun-tahun sebelumnya dia nggak mau ikut ekskul apa pun,” kata Nurul yang anaknya jadi pemain SDN 1 Ungaran.
Awal ikut sepak bola, Fatia masih sering sesak napas karena bronkitis yang dia derita. Lambat laun, ia tak lagi menunjukkan kalau dia sakit. “Dulu itu dia langganan opname di rumah sakit karena bronkitisnya, main sebentar sesak napas, sekarang nggak lagi,” kata Nurul berbinar.
Perubahan lain yang ia lihat adalah anaknya tidak lagi minder di sekolah. “Dulu itu anaknya introvert parah, sampai kalau di sekolah ya duduknya paling belakang di pojokan. Nggak punya teman,” kata Nurul.
Ia bahkan takut, anaknya justru jadi beban di tim sepak bola putri yang ia ikuti. Nurul bahkan sempat bertanya dengan temannya yang psikolog, apa perlu ia melarang anaknya untuk ikut karena punya kekurangan dalam hal berkomunikasi dengan orang.
“Kata teman saya, selama anak saya tidak mundur dari sepak bola, maka harus didukung, kalau ditarik dari apa yang dia suka, pasti anaknya malah menutup diri,” kata Nurul.
Ia berjanji untuk mengikuti kemauan anaknya di dalam sepak bola. Selama anaknya masih mau, maka ia pasti mendukung. Hanya satu permintaan yang ia selalu sampaikan ke Fatia, anaknya, “mau jadi apapun, yang penting Allah nomer satu.”

Jadi pendukung nomor satu meski awalnya takut anaknya cedera
Dwi (40) adalah salah satu ibu yang tidak mendukung ketika anaknya Afika (12) ikut eksul sepak bola di SD Muhammadiyah Sapen. Dari guru anaknya, ia diberi tahu kalau tiap jam istirahat, anaknya tersebut main sepak bola. Tahu-tahu, putrinya itu daftar ekskul sepak bola.
“Ya bagaimana nggak khawatir, Mas, anak cewek main bola. Kasihan, terus gimana kalau dia cedera,” kata Dwi. Anaknya pintar, ia minta dukungan ke ayahnya. Bahkan langsung minta belikan sepatu. Nah, karena ayahnya penggemar bola, justru sangat mendukung.
“Awal-awal saya sebenarnya terpaksa waktu ngantar dia latihan, tapi lama-lama kok mainnya bagus, dia senang sekali dengan sepak bola. Sekarang saya jadi pendukung nomor satu,” kata Dwi tertawa.
Hari itu anaknya sebenarnya belum main, baru akan bertanding di hari berikutnya, tapi ia bersama orang tua pemain yang sebagian besar ibu-ibu memberikan dukungan untuk anak-anak yang lain. “Kami punya grup WA isinya ibu-ibu pemain, jadi sebagai bentuk dukungan kami datang. Kami punya yel-yel, punya lagu, bawa bass drum,” kata Dwi.
Ating (46) pasrah ketika anaknya, Queena minta izin ikut ekskul sepak bola di SDN Ungaran 1 Yogyakarta. Bagaimana lagi, ayah anaknya adalah mantan pemain Timnas Indonesia, Indriyanto Nugroho, sehingga minat sepak bola sudah ada sejak dini. Bahkan kerap diajak menonton ke stadion oleh ayahnya.
“Hal positif tentu saja dia jadi disiplin. Anak saya sadar, bahwa main bola itu bukan soal menang kalah, tapi harus senang dan bisa bekerjasama dengan teman-temannya, dia juga punya kepekaan atau empati pada teman-temannya,” kata Ating.
Penulis: Agung Purwandono dan Aisyiyah Amira Wakang
Editor: Agung Purwandono
Baca Juga: Sepatu Rusak: Saksi Bisu dari Atlet Sepak Bola Putri di Jogja yang Penuh Nyali dan Nilai Mahal yang Mereka Pelajari atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.