Desi (30) pernah malu melamar kerja sana-sini dengan ijazah SMA yang ia miliki. Padahal, ia pernah jadi siswa terpintar di sekolah, tapi prestasi itu tak menjaminnya lolos kuliah di Universitas Lampung (Unila) dengan mudah. Hingga akhirnya ia memilih gap year dan kerja freelance dengan gaji di atas UMK Jogja.
Ijazah sarjana dulu masih dianggap penting
Jadi siswa terpintar saat SMA tak menjamin Desi bisa kuliah di kampus mentereng dengan jurusan yang ia minati. Perempuan asal Lampung itu sering masuk tiga besar saat sekolah, tapi setelah lulus ia bolak-balik gagal seleksi penerimaan mahasiswa baru di Universitas Lampung (Unila).
Pengalaman itu membuatnya stres dan nyaris menyerah untuk mendaftar lagi kuliah. Sebelum memutuskan gap year, ia bingung harus kerja apa dengan ijazah SMA-nya. Sementara, opsi pekerjaan di lingkungan tempat tinggalnya juga tak banyak.
“Aku mau mengajukan diri sebagai petugas fotocopy-an juga malu, ingin ke Jakarta juga nggak ada yang ngajakin,” ucap Desi saat dihubungi Mojok, Rabu (11/6/2025).
Akhirnya, Desi memilih dagang baju di pasar dengan upah Rp15 ribu tiap 6 jam dalam sehari. Ia juga membantu toko klontong ibunya. Sulitnya mencari pekerjaan membuat ia sadar untuk tidak pilih-pilih pekerjaan lagi. Lebih dari itu, ia menyadari kalau kuliah penting jika ingin mengubah hidupnya.
“Dari sana aku jadi menyadari, ternyata mau sepintar apapun, kalau kita nggak punya relasi ya nggak bakal bisa jadi apa-apa,” kata Desi.
Setelah satu tahun berjalan, keinginannya untuk kuliah kembali membuncah. Desi yang akhirnya gap year tak peduli meski dulu pernah ditolak Jurusan Ilmu Komunikasi maupun Hubungan Internasional di Unila. Yang jelas, ia masih ingin mencoba.
Pilih gap year dan kuliah di Unila
Setelah memutuskan gap year, Desi pun mulai menata ulang hidupnya. Berharap dengan kuliah masa depannya akan lebih baik. Sebab kata dia, sangat disayangkan jika semasa hidupnya nanti tak bisa mencicipi bangku kuliah. Toh, dia tak ingin hidup terus-terusan dengan perasaan menyesal dan gagal.
Menurutnya, kuliah bisa menambah relasi pertemanannya, mengasah otaknya berpikir kritis, hingga aktif mengikuti lomba. Hanya saja ia tak bisa kuliah jauh alias merantau karena tak ingin membebani orang tuanya.
Maka dari itu, di tahun berikutnya ia lagi-lagi memilih Unila. Di daerahnya, Unila adalah kampus yang cukup terkenal karena masuk sebagai satu-satunya kampus bergelar negeri pada saat itu.
Melansir dari Instagram resmi Unila, kampus itu meraih peringkat ke-15 nasional sebagai universitas terbaik di Indonesia menurut Webometrics Indonesia pada Januari 2025. Sedangkan, Desi juga tak mengelak ada keinginan kuliah di Pulau Jawa saat memikirkannya di sela-sela waktu gap year.
“Sebenarnya dulu aku menganggap Unila biasa saja. Inginnya kuliah ke luar Jawa, tapi memang zaman itu belum realistis ya. Dan aku baru sadar, bisa kuliah saja sudah bersyukur. Yang penting dapat beasiswa bidikmisi,” ujar Desi.
Beruntung, di percobaan tes keduanya ia berhasil lolos sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah di Unila. Tak ada alasan khusus bagi dia memilih jurusan tersebut karena yang terpenting baginya saat itu adalah kuliah bisa memperluas relasi untuk mendukung cita-citanya sebagai penulis.
“Aku pernah tuh diketawain senior karena katanya ingin jadi penulis tapi malah masuk Jurusan Sejarah dan akhirnya sekarang ujung-ujungnya jadi penulis konten,” kata dia.
Tak menyesal gap year karena bisa cari kerja
Desi tak terlalu peduli dengan nyinyiran kakak tingkat (kating)nya di Unila. Alih-alih memikirkan pandangan tersebut, Desi justru menjadikan pengalamannya sejak SMA sebagai panduan hidupnya agar tak terulang kejadian serupa.
“Aku nggak mau susah-susah mengejar nilai lagi, apalagi sekadar jadi lulusan terbaik. Aku benar-benar memanfaatkan statusku sebagai mahasiswa untuk mencari peluang dan kesempatan baru,” kata Desi.
Maka dari itu, sejak awal semester di Unila ia sudah mendaftar berbagai organisasi untuk memastikan apa yang cocok dengan passion-nya. Beberapa organisasi memang membuatnya tak nyaman, sehingga ia keluar.
“Aku pernah nggak nyaman karena baru gabung sudah disinisin dan dibentak-bentak. Setidaknya ada tiga organisasi atau lebih yang pernah ku ikuti dan nggak ada yang membuatku bertahan, bahkan setelah lulus oprek,” ujar mahasiswa gap year tersebut.
Setelah semester 7, Desi baru menemukan minatnya yakni di bidang penelitian dan riset. Di masa itu, Desi pernah lolos Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS), hingga Soprema. Di sela-sela kesibukannya itu, ia juga mengikuti komunitas penulis di tingkat nasional.
Tahun 2019, Desi baru lulus tanpa predikat pujian. Meski begitu, ia tetap bangga karena bisa kerja di bidang yang ia sukai. Satu tahun setelah lulus, Desi sempat kerja macam-macam, seperti menulis esai dan mengirimnya di berbagai media, jual rajutan, bertani, sembari mengirim surat lamaran ke berbagai perusahaan.
“Akhirnya aku nemu lowongan remote di sebuah platform jual beli online di Indonesia sebagai penulis artikel,” kata Desi, penempatannya sendiri ada di Jogja. “Dari sana setidaknya aku dapat gaji sekitar Rp3 juta. Lumayanlah di atas UMK Jogja,” ucapnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Jogja bikin Saya Sadar “Kebobrokan” di Kampung Halaman hingga Punya Motivasi untuk Membangun Karier sebagai Psikolog atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.