Di Pulau Bangka, isu kesehatan mental masih dianggap tabu. Kondisi itu yang membuat Alfian Andrian (28), seorang alumnus di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Jogja mendirikan Rumah Pulih. Bersama rekan psikolog lain yang tersebar di berbagai daerah, ia menghadapi berbagai tantangan yang ada. Misinya adalah “merawat luka, membangun pulih”.
***
Sejak SMA di Toboali, ibu kota Bangka Selatan, Alfian sering dijadikan “tempat curhat” oleh teman-temannya. Tanpa ia sadari, hal itu justru membuatnya nyaman untuk mendengar dan memahami kondisi mereka.
Oleh karena itu, Alfian mendaftar ke Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jurusan Psikologi setelah lulus dari SMA. UAD sendiri ia pilih karena ingin merantau ke Jogja seperti kakaknya yang sudah duluan meniti pendidikan tinggi di sana.
Tapi sebetulnya, orang tua Alfian sempat ragu dengan pilihannya ke Jurusan Psikologi. Mereka memang tidak familier dengan jurusan tersebut, sehingga wajar jika mereka bertanya: memang kalau lulus, bisa jadi apa? Orang tuanya memandang kalau jurusan tersebut kurang prospek, apalagi di Bangka.
Beruntung, Alfian bisa menjelaskannya secara perlahan ke orang tuanya hingga diizinkan merantau dari Bangka ke Jogja. Setelah lebih dari 6 tahun merantau, Alfian memutuskan kembali ke tanah kelahirannya untuk membangun kesehatan di sana.
Jogja istimewa dan Bangka yang jauh tertinggal
Mulanya, Alfian memang tidak berniat kembali ke Bangka untuk membangun kariernya. Sebab di Jogja sendiri, layanan psikologisnya sudah berkembang. Namun, selama praktik di masa S2, Alfian jadi menyadari kalau kondisi itu justru mengusik hatinya.
“Saat itu saya semakin sadar bahwa layanan psikologis di kota besar sangatlah mudah diakses, apalagi di Yogyakarta. Sementara, di daerah asal saya yakni di Bangka Selatan masih sangat terbatas sekali, baik dari sisi fasilitas, tenaga profesional, maupun penerimaan masyarakatnya,” tutur Alfian.
Ia juga sempat berdiskusi dengan dosen-dosennya di UAD mengenai keresahannya tersebut. Dan rupanya, mereka pun ikut menyarankan dan mendukung Alfian untuk memberikan edukasi soal kesehatan mental di Bangka.
“Saya sudah berekspektasi sih akan memulai semuanya dari nol ketika pulang ke daerah. Tapi bagi saya, kalau bukan kita sebagai putra daerah, siapa lagi?” ujar Alfian.
Mengakhiri perantauan di Jogja dan kembali ke Bangka
Maka, setelah mendapat gelar Magister Psikologi Profesi Klinis di Jogja tahun 2024, Alfian langsung pindah ke Bangka dan mengedukasi masyarakat di sana. Dan benar saja, tantangannya pun tak mudah.
“Banyak masyarakat di Bangka belum memahami bahwa Psikolog bukan hanya untuk mereka yang sakit mental, tapi juga untuk siapa saja yang ingin mengenal diri, bertumbuh, atau butuh dukungan,” kata Alfian.
Sementara itu, banyak dari mereka justru menunda mencari bantuan karena takut dianggap “tidak waras” atau “tidak normal”. Selain persoalan stigma, Alfian juga harus menghadapi tantangan lain seperti aksesibilitas.
Ia sendiri harus praktik di dua tempat dan hanya libur di hari Minggu. Lokasinya dari Toboali ke Pangkalpinang, lalu lanjut ke Muntok, Kabupaten Bangka Barat. Sebab, kata dia, tidak semua daerah di Bangka memiliki layanan psikologi yang memadai. Jauh berbeda kondisinya dengan di Jogja. Apalagi, di desa-desa.
“Mangkanya, bisa dibilang saya ini psikolog lintas kabupaten,” ucap pemuda asal Pulau Lepar tersebut.
Mendirikan Rumah Pulih untuk merawat luka
Namun, Alfian tak patah arang. Ia justru terpacu untuk membangun daerahnya dari bawah. Mulai jadi pembicara di tiap sekolah, membangun kolaborasi dengan tokoh masyarakat dan organisasi pemuda, mengadakan live streaming edukatif di media sosialnya, hingga mendirikan platform Rumah Pulih bersama rekan-rekan psikolognya.
View this post on Instagram
“Rumah Pulih memberikan layanan kesehatan mental secara daring, agar siapa pun bisa mengaksesnya dengan mudah dan kapan saja,” kata Alfian.
Ia berharap upayanya itu dapat membuat warga Bangka Belitung bisa lebih terbuka terhadap isu kesehatan mental. Ia ingin masyarakat sadar bahwa menjaga pikiran dan perasaan, sama penting dengan menjaga tubuh secara fisik.
Tentu saja Alfian tak bisa berdiri sendiri. Ia perlu dukungan dari anak muda, guru, orang tua, hingga tokoh masyarakat untuk mengkampanyekan isu kesehatan mental, sehingga menjadi gerakan yang masih dan luas.
“Saya juga bermimpi membangun pusat layanan psikologi terpadu di Bangka, yang tidak hanya fokus pada penyembuhan, tapi juga pemberdayaan,” kata alumnus UAD, Jogja itu.
“Bagi saya, psikologi bukan hanya untuk menyembuhkan luka, tapi juga membantu manusia tumbuh menjadi versi terbaik dirinya. Itulah harapan dan visi saya sebagai psikolog di daerah, ‘merawat luka, membangun pulih’.” lanjutnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mahasiswa Psikologi Ditakuti Jurusan Lain karena Dikira Jago Cenayang, Bisa “Membedah” Isi Hati dan Pikiran Tanpa Diminta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.