Masa depan lulusan UNY boleh dibilang suram. Apalagi penyandang gelar S.Pd; kalau jadi guru honorer upahnya amat kecil, sementara mau kerja di bidang lain terhambat ijazah. Oleh karena itu, tak sedikit dari mereka memilih kerja sampingan sebagai guru les privat.
Jangan salah, meski hasilnya tidak pasti–karena termasuk freelance, upah sebagai guru les privat jauh lebih besar ketimbang guru honorer. Kalau ditelateni, bahkan bisa 10 kali lipatnya.
Lulusan UNY jadi guru honorer, cuma diupah Rp300 ribu sebulan
Tahun berganti, tapi ada satu hal yang pasti: upah Annisa (25) yang nominalnya tak seberapa. Mengabdi sebagai guru honorer sejak pertengahan 2023 lalu, penghasilannya tak beranjak dari angka Rp300 ribu sebulan.
Annisa sendiri merupakan lulusan program studi Pendidikan IPS UNY. Gelarnya cumlaude. Namun, baginya, pencapaian gemilang itu sia-sia karena di dunia kerja ijazah S.Pd-nya terlalu lemah buat bersaing.
“Kami seperti nggak dikasih opsi selain menjadi guru. Mau diangkat (PPPK) pun sulit, jadi ya terima saja nasib sebagai guru honorer,” kata Annisa saat dihubungi Mojok, Minggu (9/3/2025).
Bahkan, ia malah bercerita kalau “nasib digaji Rp300 ribu sebulan” masih jauh lebih baik ketimbang kawan-kawan seprofesi. Beberapa dari mereka, yang juga lulusan UNY, bahkan ada yang cuma diupah Rp150-200 ribu per bulan.
“Buat bensin saja kurang,” kesalnya.
Bisa hidup berkat kerja sampingan sebagai guru les privat
Berharap hidup dari upah guru honorer jelas tak masuk akal. Untungnya, pada pertengahan 2024 lalu Annisa bisa menghela nafas lega. Kakak alumni di UNY menawarinya kerja sampingan sebagai guru les privat.
Awalnya, ia berpikir kalau pekerjaan itu lumayan sekadar buat tambah-tambah. Toh, jam kerjanya juga fleksibel. Bisa di sore atau malam hari setelah mengajar di sekolah, atau saat weekend.
“Nah, itu dia. Awalnya cuma mikir ‘ah, lumayan buat tambah-tambah’. Tapi setelah dijalani, hasilnya jauh lebih menjanjikan. Malah pekerjaan sampingan ini udah seperti pekerjaan utama,” paparnya.
Bayangkan saja, untuk sekali mengajar les privat, ia diupah Rp75 ribu per jam. Jumlahnya bisa lebih kecil atau lebih besar, sesuai kesepakatan dengan orang tua siswa.
“Tapi bare minimumnya Rp50 ribu. Nggak mungkin di bawah itu. Kalau kita dapat siswa anak orang kaya, ada yang mau bayar sampai Rp100. Cuma memang jarang.”
Belum lagi kalau mengajar lebih dari satu siswa, hasilnya bisa jauh lebih banyak. Lulusan UNY ini mengajar les privat di dua tempat dalam sehari. Rata-rata waktu mengajarnya empat hari dalam seminggu.
“Sebulan bisa dapat Rp2,5 juta. Itu 10 kali gaji honorer, Bro. Belum lagi kalau orang tua lagi baik, masih dikasih makan setelah ngajar,” tukasnya.
Kalau nggak ambil kerja sampingan, nggak bisa hidup
Annisa pun mengakui, kerja sampingan sebagai guru les privat adalah berkah tersendiri. Profesi itu bisa menjadi alternatif bagi lulusan UNY lain, khususnya sarjana kependidikan, yang kesulitan mendapat penghasilan layak.
“Kalau pengalaman pribadiku, jelas aku akui kalau misalnya nggak ngajar les, aku nggak bakal bisa hidup. Apa sih yang diharapin dari Rp300 ribu sebulan?,” ungkapnya.
Namun, ia juga menegaskan kalau tak semua orang seberuntung dia. Ada juga yang hidupnya apes: bertahun-tahun menjadi honorer karena tak setiap orang punya kesempatan mengajar les.
“Namanya saja cuma alternatif, artinya itu pilihan kalau sudah mentok kan. Harusnya itu jadi kritik buat sistem pendidikan kita, gimana menjamin para guru ini hidup layak sehingga tak perlu cari alternatif lagi,” jelasnya.
“Pemerintah jangan kebiasaan nuntut guru buat terbiasa hidup susah, nyuruh struggle sendiri-sendiri.”
Memang, opsi kerja bagi lulusan UNY amat terbatas
Mau bagaimana pun, pilihan itu sudah diambil Annisa. Termasuk pilihannya buat kuliah di UNY, mengambil jurusan kependidikan, lengkap dengan gambaran masa depannya bakal seperti apa.
“Yah, udah terlanjur. Gimana lagi. Mau menyesal sudah nggak bisa,” kata Annisa, getir. “Cuman aku tegasin sekali lagi, aku termasuk yang masih beruntung karena mendapat alternatif pekerjaan, jadi guru les privat.”
Selain Annisa, ada banyak lulusan UNY lain yang hidupnya masih struggle. Seperti Hana, lulusan PGSD UNY yang harus rela bertahun-tahun menjadi honorer, atau Salma yang memilih pekerjaan di bidang nonkependidikan karena paham betapa suramnya menjadi guru di Indonesia.
Bagi lulusan UNY, opsi mendapatkan pekerjaan memang terbatas. Apalagi bagi yang menyandang gelar S.Pd. Menjadi guru honorer bakal dikoyak-koyak gaji kecil, sementara kalau mencari pekerjaan lain bakal kepentok ijazah.
“Mari kita nikmati saja, ya,” kata Annisa, menutup obrolan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Hidup Sebagai Alumni UNY Itu Berat, Menjadi Guru ataupun Bukan Tetap Sama Suramnya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.