Tak mau rapat terus, ngantuk!
Wiratama dan tiga temannya yang organisatoris memang sudah terbiasa dengan rapat-rapat panjang dan detail. Apalagai saat LPJ-an atau saat sedang menjalankan acara tertentu.
Sebab, dalam rapat tersebut, evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Sehingga celah-celah minor bisa ditutup ketika menjalankan program atau acara di lain hari.
Akan tetapi, bagi mahasiswa kupu-kupu yang pasif-apatis, rapat tidak lebih dari sekadar agenda fafifu. Padahal sebenarnya bisa to the point pada masalah dan solusi praktisnya.
“Pertama, mereka nggak nyaman karena rapat dari jam 9 malam bisa sampai tengah malam. Sementara mereka ngantuk dan butuh istirahat,” beber Wiratama.
Kedua, rapat evaluasi seolah menjadi momen penghakiman. Pasalnya, evaluasi bisa langsung spesifik ditujukan person by person. Dan itu dirasa tidak nyaman.
Ketiga, mereka menganggap idealnya rapat dilakukan seminggu sekali. Tidak nyaris setiap malam. Karena kalau nyaris setiap malam ada rapat, ada bagian-bagian yang terasa diulang-ulang.
“Masalahnya, rapat evaluasi tiap malam aja nggak bisa bikin mereka sadar tentang bagaimana cara yang baik berinteraksi dengan warga kok,” keluh Wiratama.
Untungnya, semua program berjalan dengan baik, meski Wiratama dan tiga temannya harus bekerja lebih ngoyo. Hubungan dengan warga pun terjalin sangat baik, kendati mayoritas mahasiswa KKN sekelompok Wiratama pasif-apatis. Sehingga tidak memberi kesan buruk pada warga.
Mahasiswa kupu-kupu malas-malasan di lokasi KKN
Sebelumnya, Mojok pernah berbincang dengan Zias (22), mahasiswa asal sebuah kampus di Bandung, Jawa Barat.
Zias lebih sial dari Wiratama. Sebab dari 13 orang kelompoknya, hanya Zias satu-satunya mahasiswa yang aktif organisasi. Sisanya kupu-kupu. Dan sama seperti kasus Wiratama, semuanya bingung harus ngapain selama di lokasi KKN, sehingga harus Zias yang mengurus banyak hal demi berjalannya program untuk warga.
“Aku bukan ketua. Tapi karena ketuanya juga bingung, akhirnya ya aku juga yang harus ambil alih koordinasi dan penyusunan program,” ungkap Zias.
Sama seperti kasus Wiratama, teman-temannya cenderung ogah-ogahan saat diajak rapat menyusun program. Mereka pun memilih program yang dirasa nggak ribet.
Misalnya, Zias menyusun program prioritas untuk memajukan UMKM warga. Menimbang, mayoritas teman sekelompoknya adalah mahasiswa ekonomi. Akan tetapi, program itu dibayangkan akan sangat sulit eksekusinya. Alhasil, relatif yang jalan hanya ikut ngajar di sekolah dan ikut pengajian rutin warga.
Selebihnya, teman-teman kelompoknya lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan di posko. Sibuk main hp hingga main Uno.
Perpisahan yang tidak berkesan sama sekali
Titik paling tidak masuk di nalar Zias adalah pada momen 17 Agustus. Teman-temannya benar-benar tidak terlibat sama sekali dalam menyusun kegiatan 17 Agustusan. Malah Karang Taruna setempat yang aktif.
Zias sempat mengajukan diri untuk ikut membantu, tapi ditolak secara halus oleh Karang Taruna. Itu menjadi tamparan keras bagi Zias, karena seolah keberadaan mahasiswa KKN di sana tidak memiliki peran apapun bagi warga desa.
Jangankan membantu mengurus acara, ikut terlibat dalam lomba saja (sekadar sebagai peserta) pada ogah-ogahan. Hanya Zias dan tiga teman sekamarnya saja yang terlibat.
“Nggak enak plus malu karena dulu pas pengabdian (dengan organisasi) aku pamit tuh warga pada nangis. Eh pas KKN warga bodo amat banget sama kepergian kami (seolah silakan lekas pergi). Karena kehadiran kami juga nggak berguna,” tutup Zias.
Malah, di tengah KKN, ada saja yang bertanya: mau KKN sampai kapan? Saat dijawab tiga bulan, si warga malah menganggapnya sangat lama. Seperti usiran halus agar mereka tidak lama-lama di desa tersebut.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Repotnya KKN Bareng Mahasiswa Kaya: Sibuk Rebahan dan Main HP, Enggan Bergaul Malah Rendahkan Kehidupan Warga Desa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












