Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Untuk Muslimah yang Salaman dengan Paus Fransiskus dari Saya yang Katolik

Reinard L. Meo oleh Reinard L. Meo
4 Juli 2019
A A
Untuk Muslimah yang Salaman dengan Paus Fransiskus dari Saya yang Katolik
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Pengalaman Dewi Praswida bertemu, salaman, dan difoto bareng Paus Fransiskus itu jelas bikin iri. Terutama buat saya yang Katolik sejak orok ini.

Bangsa ini memang bangsa yang aneh ya, Dewi Praswida?

Ada cukup banyak orang yang fobia terhadap perjumpaan. Bertemu, salaman, dan difoto bareng Paus Fransiskus saja dirimu sebegitunya dirisak ya, Wi? Bahkan dibenci, sebagaimana curhatanmu di Mojok itu.

Tapi tenang. Sungguh, betapa dirimu sungguh sangat berbahagia, ya kan? Ada dua alasan, Wi, dirimu saya sebut “Yang Berbahagia”.

Pertama, bertemu Paus—mau Paus Fransiskus atau Paus siapa pun itu—adalah kerinduan terbesar semua umat Katolik di dunia. Saya dan tak terhitung umat Katolik di Indonesia, tentu iri padamu.

Kami Katolik sejak lahir, tapi bahkan sampai (nanti) mati pun, belum tentu bisa bertemu Paus. Apalagi Paus Fransiskus itu, Wi. Paus Fransiskus adalah salah satu Paus paling fenomenal sepanjang sejarah Gereja. Bahkan bagi saya pribadi, Paus Fransiskus itu Paus progresif.

Kerinduan kami bertemu Paus Fransiskus, bukan pertama-tama karena beliau Paus—pemimpin tertinggi kami yang juga manusia biasa itu—tapi lebih karena lewat beliau, kami melihat wajah dan keberanian Yesus sendiri.

Sangat berpihak pada orang lemah dan kecil, yang berani melakukan auto-kritik: “Lebih baik menjadi seorang ateis atau tak beragama daripada menjadi penganut Katolik tapi bermuka dua,” atau, “Saya akan mengulangi apa yang Katekismus Gereja katakan, bahwa mereka (kaum homoseksual) tidak boleh didiskriminasi, mereka harus dihormati, dan didampingi secara pastoral.”

Paus Fransiskus begitu menghormati kaum gay dan lantang membuka praktik kekerasan seksual yang dilakukan para pemimpin Gereja lainnya.

Wi, betapa beruntungnya dirimu bisa bertemu beliau.

Kedua, dihubungi Mojok untuk menulis pengalamanmu itu. Bahagia benar dirimu, Wi.

Saya saja, empat tahun tak pernah lolos di Mojok. Baru 2019 ini berhasil merayu para Redaktur Mojok terketat sepanjang sejarah media online Indonesia, padahal medianya kelihatan selo banget gitu. Sungguh dirimu menginspirasi teman-teman saya yang ingin tulisannya nongol di Mojok, tapi ditolak terus.

Saya jadinya punya motivasi baru buat mereka. “Bertemu dan berdialoglah dengan para pemimpin agama dunia, dan jadilah viral,” niscaya akan dihubungi Redaktur Mojok. Hehe.

Berhubung perjumpaanmu itu dapat dibaca dalam bingkai “Dialog Interreligius” dan saya kira untuk itulah dirimu akan gencar melakukan kampanye, maka baiklah saya sodorkan juga pengalaman dialog saya.

Iklan

Saat masih kuliah, saya pernah berlibur di tiga tempat berbeda di Flores. Yah, semacam KKN, meski kampus saya, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Maumere, Flores itu, tidak punya program bernama KaKaEn.

Pertama, di Riung, Ngada Utara, Flores Tengah. Waktu itu, saya tinggal bersama sebuah keluarga Katolik. Namun, tetangga kami—yang rumahnya kebagian giliran Doa Rosario—ternyata memiliki anggota keluarga yang sangat plural. Kedua orang tua beragama Katolik, salah satu anak dan keluarganya Muslim, serta satu lagi dan keluarganya Protestan.

Saya tanya pada si Opa, mengapa demikian. Beliau jawab, “Yah, tujuan kita satu dan sama, hanya beda cara dan jalan. Opa dan Oma tidak pernah mengatur-atur urusan iman anak-anak.” Hm, dialogi nan mulia sekali. Riung itu daerah pantai, umat Muslim terbilang banyak.

Kedua, di Waelengga, Manggarai Timur, Flores. Saat itu, saya tinggal dekat gereja bersama sebuah keluarga sederhana, Katolik. Suatu senja, sehari sebelum tinggalkan daerah itu, si Om tuan rumah tiba-tiba menyebut bahwa Imam Masjid di daerah mereka itu, adalah keluarganya. Saya senang.

Esoknya, kami pergi mengunjungi imam tersebut. Saya dibikinkan kopi, dan banyak mendengar cerita tentang umat muslim yang hidup damai di tengah mayoritas Katolik di daerah itu.

Ketiga, di Sagu, Adorana, Flores Timur. Saya tinggal bersama keluarga Katolik. Beberapa tetangga kami, muslim. Jarak musala dan kapela tak terlalu jauh. Saat kapela direnovasi, masyarakat Sagu ramai-ramai membantu. Begitu pula saat musala diperbaiki. Tak peduli apa pun agamanya, semua hidup sebagai saudara.

Pernah, suatu malam, kami menjadwalkan ibadah, semacam doa bersama terstruktur. Sehabis ibadah, kami merencanakan makan dan joget-joget bersama. Lihat, siapa yang sibuk memasak di dapur? Ibu-ibu berjilbab juga semangat bukan main.

Saat ibadah, umat muslim yang tak sibuk, ikut hadir. Saya agak kikuk, awalnya. Tapi, kekikukan itu segera dicairkan oleh sesepu yang Katolik, “Santai saja, kami sudah biasa begini. Saat Natal atau Paskah, keluarga kami yang Muslim memasak buat kami yang lagi di gereja, begitu pula sebaliknya!” Dan benar, semua lancar dan aman-aman saja.

Pernah juga saya sekamar sama kawan muslim, Ahmad Muzakky namanya, saat berkegiatan di Lombok, NTB. Kami tidur-makan-mandi-berak-berkegiatan di Asrama Haji.

Begitu. Bicara perjumpaan, Dewi tidak sendirian. Hanya, beda orang dan tempat. Dewi berjumpa Paus Fransiskus di Roma, saya berjumpa saudara-saudara dari keluarga sederhana beda agama di kampung-kampung di Flores.

So, santai saja, Wi. Di tengah geliat fobia itu, kita memang perlu untuk makin selo. Soal sesat atau tidak itu urusan lain. Ucapkan atau tidak selamat Natal, itu mah terserah. Yesus, saya kira, tidak pernah memaksa, apalagi mengenai hal-hal yang berhubungan langsung ke diri-Nya. Apalagi ini, cuma ucapan habede yang diucapkan tiap tahun itu.

Tenang, Wi, tak usah takut. We stand with you. You’ll never walk alone. Eh.

Terakhir diperbarui pada 4 Juli 2019 oleh

Tags: Dewi PraswidaKatolikPaus Fransiskussalaman dengan Paus
Reinard L. Meo

Reinard L. Meo

Artikel Terkait

Katolik Susah Jodoh Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami MOJOK.CO
Esai

Cari Pasangan Sesama Katolik itu Susah, Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami

13 November 2025
Paus Leo XIV, Sarjana Matematika Memimpin Umat Katolik MOJOK.CO
Esai

Habemus Papam! Kisah Paus Leo XIV Sarjana Matematika yang Akan Memimpin Umat Katolik di Masa Kritis

9 Mei 2025
Paus Fransiskus, Sosok Paus yang Paling sempurna MOJOK.CO
Esai

Ciao, Paus Fransiskus! Mengenang Pembela Lingkungan, Gaza, dan Kaum Marginal

22 April 2025
Saksi Yehuwa Bukan Bagian dari Kristen MOJOK.CO
Esai

Saksi Yehuwa yang Bagi-Bagi Brosur Itu Bukan Bagian dari Kristen

24 Januari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.