Apa Jadi Perempuan Mandiri yang Bekerja itu Menyalahi Kodrat? - Mojok.co
  • Kirim Artikel
  • Terminal
Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Apa Jadi Perempuan Mandiri yang Bekerja itu Menyalahi Kodrat?

Chandra Wulan oleh Chandra Wulan
13 Desember 2018
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Ungkapan perempuan merupakan madrasah pertama bagi anaknya memang benar. Lalu bagaimana jika kami tidak maksimal melakukannya karena harus kerja di luar?

Antrean baru sampai di nomor A145 ketika saya mengambil nomor antrean baru dan mendapatkan A292. Setelah saya bolak-balik dari lobi stasiun, bagian tengah stasiun, depan loket, membaca buku, memerhatikan orang-orang yang buru-buru hingga anak kecil yang menumpahkan satu cangkir es coklat di Dunkin Donuts, kursi di sebelah saya diduduki seorang ibu.

Perkiraan saya, usianya sekitar enam puluh tahun. Setelah sempat berbasa-basi sejenak, ibu ini bercerita panjang. Kira-kira isinya begini:

Suami saya dulu seorang guru, sudah PNS, ditugaskan di Bobotsari, Purbalingga. Gajinya sangat tidak mencukupi bahkan untuk makan. Hanya 75 rupiah, Mbak. Waktu itu tahun 1962.

Padahal itu wilayahnya di gunung (yang seharusnya apa-apa murah), tapi tetap saja tidak cukup. Saya lalu bilang sama Bapak, “Wis, Pak. Pokoke aku ameh metu bakulan. Mbuh bakulan opo sing penting tak jajal sik. (Sudah, Pak. Saya coba berjualan. Entah jualan apa yang penting dicoba dulu).”

Baca Juga:

Gerwani Bantu Atasi Keruwetan Rumah Tangga

Sebelum Kartini, Keraton Yogyakarta Punya Sosok Panglima dan Penulis Perempuan

PNS Tetap Lebih Enak, Meski di Toilet Kantor Shopee Bisa Cebok Otomatis

Pertama saya mencoba berjualan telur. Ternyata rugi karena banyak yang busuk jika tidak laku. Lalu saya jualan kelapa, lebih susah lagi. Sebab tidak bisa membawanya sendiri, harus sewa kendaraan. Modalnya makin mahal, lakunya tidak seberapa.

Sampai akhirnya saya berjualan pisang sampai tundunan itu, Mbak. Ya lumayan lah. Harganya bagus, kalau tidak laku, dibawa ke rumah bisa dimakan sendiri.

Mau bagaimana lagi? Lha wong gaji Bapak untuk makan saja susah. Pernah suatu kali Bapak bilang, “Kalau begini lebih baik bikin bubur saja, Bu.”

Eh, ternyata Bapak malah tidak bisa tidur kalau makan bubur. Kadang kurang kenyang, kadang malah diare. Hahahaha. Dari berjualan itu saya belajar menjadi seorang yang lebih berani. Sampai akhirnya Bapak pindah tugas ke Sragen, saya masih jualan terus.

Saya baru berhenti berjualan dua tahun yang lalu. Puji Tuhan, anak-anak saya bisa sampai kuliah semuanya. Anak saya ada dua. Kalau saya nggak bakulan, ya nggak tahu bagaimana nasib anak-anak saya itu.

Saya berani lho, Mbak, naik bus dari Sragen sampai Slawi, bolak-balik, sendirian. Bapak pernah tanya, “Naik bus apa?”

“Naik bus patas.”

“Wah gaya nih!”

Soalnya saya sebelumnya memang nggak berani kalau naik bus biasa.

Semakin ke sini makin berani ke mana-mana sendiri. Apalagi sejak Bapak tiada, tahun 1990. Dulu waktu (Bapak) masih ada, dikit-dikit Bapak, apa-apa Bapak. Ya gitulah, Mbak.

Saya memberanikan diri menanyakan tahun kelahiran ibu ini. Ternyata, dia lahir tiga tahun sebelum Indonesia merdeka. Ya, silakan berhitung sendiri. Jangan malas.

Saat di stasiun itu, ibu ini bersama anak dan cucu laki-lakinya, hendak ke Slawi. Poin dari cerita tersebut yang saya tangkap adalah, jika ibu ini tidak go out of her way untuk berjualan, mungkin anak-anaknya tidak akan sampai ke bangku kuliah.

Bayangkan jika seandainya sang ibu hidup di masa sekarang, dengan propaganda masif belakangan ini bahwa “Perempuan harus kembali ke kodratnya, ke rumah, menjadi madrasah bagi anak-anaknya.”

Apa anak-anaknya akan bisa duduk di bangku perguruan tinggi? Dengan asumsi gaji bapaknya untuk makan saja susah? Nggak, kan?

Selang sehari kemudian, saya dihubungi kakak saya lewat whatsapp agar segera pulang. Meninggalkan pekerjaan saya sebagai Pekerja Teks Komersial di tanah rantau. Lalu menjadi perempuan baik-baik di kampung halaman.

Saya tahu, perdebatan akan berputar-putar di situ saja: bahwa saya mestinya kerja di kampung halaman, menyudahi mimpi-mimpi saya yang nggak kelihatan progresnya, menjadi “seperti orang biasa saja”. Yah, ini mah sudah jadi perdebatan rutin.

Saya punya alasan untuk tidak bekerja di kampung halaman. Salah satunya karena tidak pernah menemukan lowongan pekerjaan yang cocok, salah duanya karena ingin bekerja dan memboyong ibu saya untuk bisa tinggal di Jogja.

Saya juga tahu bahwa perdebatan kami akan sia-sia, sebab standar kesenangan, kesuksesan, dan “hidup ideal” bagi saya dan kakak juga sudah berbeda. Nggak ketemu. Bagi dia, standar hidup dan target saya ramashok. Begitu juga sebaliknya.

Perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, memang ungkapan yang benar. Tapi, apa ya harus diikuti dengan nganggur dan momong anak saja di rumah? Lalu jika bekerja di luar rumah dianggap menyalahi kodratnya?

Ya belum tentu, tergantung kondisi keluarga bagaimana. Tapi kan nanti Allah memberi jalan dan rezeki jika kamu kembali ke kodrat dan fitrah sebagai perempuan? Lha, yang saya tahu, Allah tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali ia berusaha.

Memangnya uang bisa datang begitu saja tanpa kita cari? Kecuali memang prinsipnya sudah begitu, lalu secara ekonomi memang sudah mapan tanpa si perempuan harus bekerja dan perempuan ini memang setuju untuk di rumah saja, ya silakan. Itu pilihan masing-masing. Tapi nggak perlulah bikin ajakan sampai menyalah-nyalahkan perempuan yang bekerja.

Begitu pula dengan kakak saya. Lha wong saya juga nggak pernah memaksanya untuk berbuat begini begitu yang menurut saya “benar dan ideal” kok.

Kenapa harus memaksa adiknya untuk ikut masuk ke dalam standar benar dan idealnya, padahal kami sejak awal tahu bahwa sifat kami berbeda seperti air dan minyak? Kan malah capek sendiri. Saya dibilangin juga tetap nggak setuju, pol-polan akan nggih-nggih mboten kepanggih aja agar kakak saya diam.

Nah, di zaman kita hidup sekarang ini, ada banyak sekali orang-orang yang merasa seolah hidup kita adalah juga tanggung jawabnya. Media sosial dan teknologi punya andil besar dalam hal ini. Makanya, sering terdengar kalimat jempol netizen lebih tajam dari pisau belati. Semacam itulah, intinya netizen maha benar dengan segala ketikannya.

Jangan begini, nanti begitu, lebih baik begini daripada begitu, dan lain-lain.

Padahal, seringkali manusia ketika menasihati manusia lainnya, sebenarnya ia sedang memberi nasihat kepada dirinya di masa lalu. Penyesalan dan kekecewaannya di masa lalu itu dilampiaskan dengan memberi nasihat kepada orang lain dengan tujuan tidak menjadi seperti dirinya.

Padahal, setiap orang punya jalan masing-masing. Punya timing masing-masing. Oke, ini sangat klise dan agak bullshit juga. Tapi benar, lho, waktu seseorang menuju kesuksesan itu beda-beda. Dan kesuksesan seperti apa yang ia inginkan, bisa jadi bukan seperti yang kamu pikirkan.

Kalau tiap orang menyadari hal ini, tentu jumlah perselisihan, perdebatan, pertengkaran di dunia ini bakal berkurang banyak. Sadarilah bahwa ukuran benar/salah, ideal, sampai sukses berbeda satu sama lain.

Jadi nggak usah repot-repot mencampuri urusan hidup orang lain. Memangnya kamu segitu nggak punya urusannya? Bukannya ngurusi urusan sendiri aja udah capek?

Mending hemat energi aja mulai sekarang. Caranya gampang kok, berhenti mencampuri urusan hidup orang lain. Terutama bagi perempuan-perempuan yang memang bisa mandiri lalu diprovokasi agar “sadar” kembali ke kodratnya.

Sayangnya, hidup kurang seru kalau nggak ada perselisihan, perdebatan, pertengkaran, dan drama.

Terakhir diperbarui pada 31 Maret 2021 oleh

Tags: fitrah perempuankodrat perempuanmadrasahperempuanperempuan bekerjaperempuan mandiriPNS
Chandra Wulan

Chandra Wulan

Alumni UGM. Bekerja sebagai pekerja teks komersial.

Artikel Terkait

Gerwani Bantu Atasi Keruwetan Rumah Tangga

22 April 2022
GKR Hayu mojok.co

Sebelum Kartini, Keraton Yogyakarta Punya Sosok Panglima dan Penulis Perempuan

21 April 2022
PNS Tetap Lebih Enak, Meski di Toilet Kantor Shopee Bisa Cebok Otomatis MOJOK.CO

PNS Tetap Lebih Enak, Meski di Toilet Kantor Shopee Bisa Cebok Otomatis

18 April 2022
maria Ulfa, perempuan dan politik

Maria Ulfa, Perempuan yang Tumbuh dalam Dinamika Politik Internasional

17 April 2022
dr Soetomo, partai perpustakaan, perempuan, pelajar

Pemikiran dr. Soetomo: Partai, Pers, Perpustakaan, Perempuan, dan Pelajar

14 April 2022
Kesaksian ASN Muda Tentang Kelakuan Pejabat MOJOK.CO

Kesaksian ASN Muda Tentang Kelakuan Pejabat: Kerja Bercanda, Gajinya Serius

9 Februari 2022
Pos Selanjutnya
Pertarungan Avanza-Xenia Vs Xpander-Livina di Pemilu Mobil Baru 2019

Pertarungan Avanza-Xenia Vs Xpander-Livina di Pemilu Mobil Baru 2019

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Apa Jadi Perempuan Mandiri yang Bekerja itu Menyalahi Kodrat?

Apa Jadi Perempuan Mandiri yang Bekerja itu Menyalahi Kodrat?

13 Desember 2018
Sinar Mandiri melaju di Pantura MOJOK.CO

Melintasi Pantura Bersama Roda Lusuh Bus Sinar Mandiri

21 Mei 2022
makam raja-raja imogiri mojok.co

Mengenang Kebesaran Raja-raja Jawa di Pajimatan

18 Mei 2022
mie ayam om karman mojok.co

Mie Ayam Om Karman, Filosofi Meja Terisi, dan Semangat Perantau Wonogiri

22 Mei 2022
mie ayam pak kliwon mojok.co

Mie Ayam Pak Kliwon, Kesayangan Anak Teladan

15 Mei 2022
Jarang Pulang ke Rumah karena Gampang Mabuk Perjalanan

Ringkasan Cerita ‘KKN di Desa Penari’ buat Para Pemalas dan Penakut

29 Agustus 2019
Rahasia Mie Gacoan MOJOK.Co

Rahasia Mie Gacoan Jadi Jagoan Mie Pedas di Jawa dan Bali

20 Mei 2022

Terbaru

Ganjar Pranowo

Muncul Sinyalemen Dukungan dari Jokowi, Ganjar Pranowo Nggak Mau Kegeeran

23 Mei 2022
Affandi dalam Pusaran bulan Mei dan PKI

Affandi dalam Pusaran Bulan Mei dan PKI

23 Mei 2022
budi karya sumadi mojok.co

Berhasil Merajut Transportasi Nusantara, Menhub Dianugerahi Gelar Doktor Hc dari UGM

23 Mei 2022
sultan mojok.co

Sultan Lantik Pj Walikota Jogja dan Pj Bupati Kulon Progo

22 Mei 2022
PSS Sleman

46 Tahun PSS Sleman: Masuk Dunia Metaverse tapi Manajemen Masih Lelet 

22 Mei 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In