Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

4 Pertanyaan yang Muncul dari Rekonsiliasi Jokowi Prabowo

Kukuh Purwanto oleh Kukuh Purwanto
14 Juli 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Rekonsiliasi Jokowi dengan Prabowo akhirnya terjadi beneran. Pertanyaan-pertanyaan penting pun muncul. Seperti, terus nasib Habib Rizieq gimana dong?

Fiuh.

Drama pemilu paling melelahkan itu akhirnya memasuki babak terakhir. Jokowi akhirnya bertemu Prabowo. Pertemuan bertajuk rekonsiliasi itu digelar tidak di Istana Negara tempat Jokowi berdinas, atau di Kertanegara tempat Prabowo bermukim, melainkan di Stasiun MRT Lebak Bulus.

Iya, Gaes, di stasiun. Pemilihan tempat ketemuan ini tentu bikin sebagian besar orang bertanya-tanya. Akan tetapi kita bisa meminggirkan perkara ini sebentar untuk mengenang rekam jejak “perseteruan” keduanya hingga mencapai fase rekonsiliasi Jokowi dengan Prabowo tersebut.

Kalian tentu sudah hapal kalau ini adalah kali kedua Jokowi bersaing dengan Prabowo di arena pemilu. Tak ada perbedaan signifikan di antara kedua periode pemilu yang melibatkan keduanya; Jokowi menang lagi, sedangkan Prabowo sujud syukur lagi.

Meski begitu, mari kita sepakati saja kalau pemilu 2019 adalah pemilu paling rebel sejak era reformasi. Diawali oleh kasus keseleo lidah Basuki Tjahaja Asia, eh, Purnama, kita mesti menyaksikan rangkaian demo berjilid-jilid yang mempertajam polarisasi masyarakat. Pemilu 2019 tiba-tiba tak sekadar urusan memilih presiden, melainkan berubah menjadi perkara kebajikan versus kebatilan.

Inilah pula nomenklatur “cebong” dan “kampret” jadi mendapat pupuknya. Tidak seperti cebong dan kampret beneran yang bermanfaat bagi ekosistem alam, entitas baru ini sepertinya diciptakan hanya untuk memaksimalkan salah satu fungsi tangan: baku hantam.

Baik di dunia virtual maupun dunia nyata, relasi cebong dengan kampret diisi oleh saling mengejek, memaki, mengintimidasi, dan memfitnah.

Pokoknya, pemilu kemarin adalah peristiwa politik yang paling bikin eneg. Maka, kabar pertemuan Jokowi dengan Prabowo disambut hangat oleh masyarakat; semua orang berharap pertemuan ini bisa merekatkan kembali masyarakat yang kadung terbelah.

Namun, tentu saja selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang tersisa dari sebuah peristiwa. Misalnya saja sebagai berikut:

Kenapa Ketemuan di Stasiun MRT?

Ini barangkali ada kaitannya dengan kesepakatan mereka untuk bertemu di tempat netral. Andai Prabowo datang ke Istana Negara, itu menandakan inferioritas Prabowo di hadapan Jokowi—udah kalah, disuruh sowan pula, huh!

Demikian pula sebaliknya. Jokowi rasa-rasanya mustahil menemui Prabowo di kediamannya. Masa iya pemenang, seorang presiden pula, disuruh sowan ke yang kalah? Nehi lah ya!

Maka pemilihan Stasiun MRT Lebak Bulus sebagai lokasi ketemuan adalah keputusan ciamik. Ambillah penggaris, pulpen, dan peta Jakarta, lalu tariklah garis dari lokasi stasiun MRT tersebut ke Kertanegara dan Istana Negara. Anda akan mendapati lokasinya yang pas di tengah-tengah. Kurang netral gimana lagi, coba?

Memang benar bahwa ada beberapa lokasi lain yang sama netralnya, seperti TPU Jeruk Purut atau Monas. Namun, sulit membayangkan Jokowi bertemu Prabowo di pemakaman manapun. Kita harus ingat kalau mereka kepingin rekonsiliasi, bukan ikut kursus menjadi tukang gali kubur. Sementara Monas, yah, keduanya mesti menyiapkan tanggal cantik untuk sekadar ketemuan di sini.

Iklan

Lagipula, saya menduga bahwa mereka memiliki agenda terselubung selain berekonsiliasi, yaitu menyaingi Basuki Tjahaja Purnama yang tempo hari ngevlog di stasiun MRT. Kalau BTP bisa dadah-dadah di depan masyarakat yang histeris, masa iya sosok sepopuler Jokowi-Prabowo nggak mampu?

Terus, Gimana Nasib Habib Rizieq?

Jawaban paling gampang untuk pertanyaan ini adalah, “ya nggak tahu!”

Tapi, tentunya kita tidak boleh menggampangkan sesuatu, apalagi kalau sesuatu itu berkaitan sama Habib Rizieq Shibab.

Tempo hari Dahnil Simanjuntak bikin twit soal rekonsiliasi Jokowi-Prabowo. Mantan koordinator juru bicara Prabowo-Sandie itu menginginkan kepulangan Habib Rizieq dimasukkan dalam syarat rekonsiliasi.

Seperti biasa, apapun yang berkaitan sama Habib Rizieq pasti memunculkan pro dan kontra. Sebagian orang menyambut baik usulan Dahnil tersebut, sementara sisanya garuk-garuk kepala sambil ngedumel, “Lah emang apa urusannya Bibieb sama rekonsiliasi Jokowi dengan Prabowo ini, Dahniel?”

Saya pikir kemungkinan Prabowo mengajukan syarat tersebut kepada Jokowi kecil sekali. Lagipula, kepulangan Rizieq Shihab ke Indonesia tak melulu soal diizinkan oleh pemerintah atau tidak, melainkan melibatkan banyak hal. Seperti urusan birokrasi dengan Arab Saudi, kesiapan dana buat pulang, hingga keinginan Habib Rizieq sendiri.

Bisa jadi Habib Rizieq kerasan betul di sana. Sebagai salah satu keturunan Nabi, konon kepergian beliau ke Arab sana lebih mirip momen pulang kampung. Rasanya tidak etis kalau kita, dengan alasan apapun, menggerecoki seorang tokoh yang lagi asyik liburan di kampung halamannya. Apalagi kalau itu dilakukan sebagai sebuah agenda politik. Duh, pamali.

Siapa yang Jadi Oposisi?

Dalam sistem demokrasi yang beres, golongan oposisi punya peran vital: merekalah yang bertugas mengawasi tugas pemerintah, baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Meskipun tidak bisa cawe-cawe langsung dalam urusan pemerintahan, oposisi bisa disepadankan dengan alarm kebakaran; merekalah yang pertama kali berbunyi ketika mengendus asap.

Ada kekhawatiran bahwa upaya rekonsiliasi ini dibarengi dengan pemberangusan para oposan. Satu demi satu partai oposisi pemerintah memutuskan untuk memutar haluan saat Prabowo kalah. Mudah menerka kalau pemerintah juga bakal merangkul Prabowo yang posisinya semakin tidak menguntungkan.

Terlepas dari kinerjanya yang mengagumkan di sektor ekonomi dan pembangunan infrastruktur, pemerintahan Jokowi, kita akui saja, cenderung otoriter. Pemerintah kerap mempidanakan mereka yang kelewat vokal dengan menggunakan pasal-pasal karet macam UU ITE dan pencemaran nama baik. Belum lagi bila kita memperhitungkan konflik agraria yang menjamur di era Jokowi.

Oleh sebab itu, ketiadaan golongan oposisi, yang dimotori oleh Prabowo, malah bakal mengancam demokrasi.

Andai itu benar-benar terjadi, hal terbaik yang bisa kita harapkan dalam 5 tahun ke depan adalah tidak ada aparat yang mengetuk pintu rumah kita sambil melambai-lambaikan “Surat Penangkapan” hanya gara-gara kita tak sengaja memencet “share” pada meme yang kebetulan memajang foto Jokowi.

Baku Hantamnya Udahan, Gitu?

Sekalipun menjengkelkan, keberadaan kaum cebong dan kampret nyatanya membuat hidup kita lebih hidup. Saban hari kita disuguhi postingan absurd berisi cocoklogi, pembelaan berapi-api, hingga foto-foto editan yang kualitasnya bisa bikin pencetus Photoshop naik pitam.

Sekurang-kurangnya sejak 2014 kita dilatih untuk terus berbaku hantam. Kita dipaksa untuk memihak salah satu kubu, sebab ketidakberpihakan adalah aib di era tersebut. Maka membayangkan hari esok tanpa baku hantam itu lebih sulit ketimbang membayangkan kiamat. Mau ngapain lagi kita di medsos kalau tidak berbaku hantam?

Untungnya, sebagian besar medsos masih mempertahankan algoritmanya. Facebook dan Instagram, contohnya, masih menggunakan filter bubble dan tak berniat menggantinya hingga entah kapan. Asalkan masih ada algoritma filter bubble, percayalah kalau mencari lawan berbaku hantam adalah urusan yang amat sepele.

Algoritma Facebook dan Instagram memang hampir mirip. Ia akan membentuk dunia sosial kita berdasarkan pola interaksi. Kalau Anda pendukung Jokowi yang juga gemar beternak perkutut, misalnya, maka dunia sosial Anda di medsos tidak akan jauh-jauh dari urusan cebong dan perkutut. Mustahil Anda bersinggungan dengan dunia pembajak buku, pemburu anoa, atau penangkar tapir.

Cara kerja algoritma yang kayak gitu berdampak pada cara pandang kita terhadap kaum liyan. Kita menjadi orang-orang yang eksklusif, tertutup, intoleran, dan akhirnya gampang dipolarisasi. Donald Trump bisa jadi presiden Amrik gara-gara polarisasi dalam masyarakatnya, sementara kita babak belur oleh sebab yang sama selama 5 tahun terakhir ini.

Jadi, cebong dan kampret mungkin akan pensiun. Itu bagus. Namun, dunia perbakuhantaman tampaknya masih akan tetap eksis. Yang bisa kita perbuat sekarang adalah menyiapkan nomenklatur yang keren untuk membedakan kubu-kubu yang nantinya berseteru.

Mengingat kecenderungan masyarakat untuk menggunakan nama-nama hewan (cebong, kampret, cicak, buaya, dll), gimana kalau kubu-kubu itu kita namakan saja “Wereng Coklat” dan “Emprit Ganthil”?

Terakhir diperbarui pada 15 Juli 2019 oleh

Tags: Habib RizieqjokowiMRTpraboworekonsiliasi jokowi
Kukuh Purwanto

Kukuh Purwanto

Artikel Terkait

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO
Esai

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
kapitalisme terpimpin.MOJOK.CO
Ragam

Bahaya Laten “Kapitalisme Terpimpin” ala Prabowonomics

21 Oktober 2025
Kereta Cepat Whoosh DOSA Jokowi Paling Besar Tak Termaafkan MOJOK.CO
Esai

Whoosh Adalah Proyek Kereta Cepat yang Sudah Busuk Sebelum Mulai, Jadi Dosa Besar Jokowi yang Tidak Bisa Saya Maafkan

17 Oktober 2025
Hentikan MBG! Tiru Keputusan Sleman Pakai Duit Rakyat (Unsplash)
Pojokan

Saatnya Meniru Sleman: Mengalihkan MBG, Mengembalikan Duit Rakyat kepada Rakyat

19 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.