MOJOK.CO – Apa ya banyak orang yang haram betul makan babi, tapi tetap suka mabuk? Ya ada, banyak lagi. Yang kayak gitu itu maunya gimana? Padahal satu circle. Circle “dilarang agama”.
Sudah turun-temurun, menjadi kebiasaan di keluarga saya, ketika ngumpul, selalu ada minuman beralkohol. Minimal bir, maksimal yang model “gepengan”, atau kalau lagi banyak yang mau ikut saweran biasa wine atau minuman kelas premium lainnya. Tujuannya sih bukan untuk sampai mabuk, tetapi sebagai teman ngobrol saja yang bisa berlangsung sampai seharian penuh.
Nah, terkadang, di acara-acara tertentu, ada beberapa warga kampung yang ikut ngumpul. Salah satunya adalah teman bapak saya, panggil saja Mas P. Kebetulan, Mas P ini beragama Islam dan doyan mabuk juga. Kalau adanya bir, ya ikut minum bir. Kalau minumnya agak mahalan, wah malah tambah girang.
Sebagai teman minum, biasanya orang akan beli kacang, atau makanan apa saja yang rasanya dominan asin. Nah, bagi sebagian orang, ngebir sampai mabuk menjadi lebih nikmat ketika ditemani olahan daging. Daging sapi digoreng dengan bumbu garam dan bawang putih sudah nikmat betul. Kalau lapar, tingga nyendok nasi putih hangat di magic jar, ditemani sambal bawang.
Selain daging sapi, pilihan lainnya bisa pakai daging ayam, babi, dan anjing. Yes, kamu nggak salah baca. Daging babi yang digoreng kering, dimasak kecap, atau diolah dengan cara ngawur pun bakal menjelma menjadi teman mabuk yang paling pengertian. Nggak bikin cepat naik, nggak bikin cepat kenyang. Pas.
Berbeda dengan daging anjing. Selain harganya yang semakin mahal, daging anjing yang dimasak semur, bikin perut cepat panas. Bikin mabuk cepat naik dan nggak bisa lagi menikmati prosesi menenteramkan hati.
Namun, tentu saja, nggak semua orang bisa makan daging babi. Salah satunya adalah karena dilarang agama. Islam mengharamkan daging babi. Makanya, makan daging babi itu hitungannya dosa.
“Aku nek tambul e babi ora wae.”
“Lho, gak melu ngombe, Mas?”
“O tetep lah.”
“Lha, ra mangan babi kok melu ngombe. Dilarang kabeh kui.”
“Jijik aku delok babi. Uripe ning pawuan ogg.”
Inti dari obrolan di atas adalah Mas P tetap lanjut minum, tapi nggak mau makan daging babi yang dijadikan “tambul” atau teman minum. Menurutnya, babi itu menjijikkan karena hidup di “pawuan” atau tempat orang buang sampah. Mas P, sebagai muslim, nggak terlalu ambil pusing soal mabuk. Kenapa bisa begitu?
Khaled Diab, kolumnis The Guardian pun bilang begitu. Khaleb memandang mereka, pemeluk Islam yang nggak terlalu taat, masih punya kontrol diri ketika memilih antara ngebir, misalnya, dengan marijuana. Katanya sih karena nggak dilarang secara eksplisit. Yang sebetulnya dilarang adalah “yang bikin mabuk”.
Makanya, masih ada lho yang memandang ngebir aja nggak papa. Alasannya karena kadar alkohol bir itu di bawah 5 persen jadi nggak bikin mabuk. Ada yang mikir begitu? Ada, banyak lagi.
Kadar alkohol itu juga yang bikin bir boleh diperjualbelikan secara bebas. Ya nggak bebas-bebas banget, sih. Kalau di-sweeping ormas mana gitu, krat-kratan bir bisa dibanting-banting di jalan raya. Minimarket di beberapa daerah pun sudah nggak ngejual bir. Harus sembunyi-sembunyi ketika mau beli. Udah kayak orang pipis sembarangan, yang sangat waspada celingak-celinguk takut diintip.
Ada lagi teman saya, muslim, agak taat, sih, yang tetap mau menenggak soju sampai mabuk, tapi nggak mau betul sama yang namanya babi. Alasannya, karena babi itu lucu. Lucu, ndes! Alasan yang sama bikin dia nggak berani makan daging kelinci. Daging kesukaannya itu berasal dari hewan-hewan yang serem, macam biawak.
Padahal, biawak itu mainnya satu circle sama babi. Sama-sama circle dua alam. Minumnya es kopi susu, kalau ngumpul pakai kaos Deus, naiknya Vespa matic. Wokwokwok…Haram juga!
Well, mabuk memang budaya, sejak zaman Nabi, sampai sekarang. Tapi mbok ya konsisten, kalau patuh sama anjuran babi haram, minum alkohol juga sebaiknya dikurang-kurangi. Dikurang-kurangi kalau mimik sendiri. Ha mabuk ciu ki abot e.
“Aku ngombe dewa yo wegah, aku yo klenger, ha ciu mBekonang keras ogg.”