Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Yang Susah Itu Meyakinkan Orang Tua bahwa Kita Nggak Butuh Beasiswa Bidikmisi

Ajeng Rizka oleh Ajeng Rizka
23 Juni 2021
A A
Yang Susah Itu Meyakinkan Orang Tua bahwa Kita Nggak Butuh Beasiswa Bidikmisi mojok.co

ilustrasi Yang Susah Itu Meyakinkan Orang Tua bahwa Kita Nggak Butuh Beasiswa Bidikmisi mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kuliah gratis dan dibayar itu menggiurkan. Tapi, cobalah kuat iman, diskusikan peruntukkan beasiswa bidikmisi ini pada orang tua.

Saya ingat betul bagaimana beberapa kawan saya dulu mengurus beasiswa bidikmisi dan betapa bahagianya mereka ketika jatah mereka cair. Pikir saya ketika itu, enak banget ya kuliah dibiayai negara, dikasih uang saku pula. Kadang, kalau beasiswa bidikmisi kawan saya itu cair, ia tak ragu ngajak makan ke restoran yang agak fancy bagi sebagian mahasiswa: Pizza Hut. Dan, dia nggak ragu buat ngebayarin. Kan saya jadi girang.

Tepat sebelum masa-masa kuliah dimulai sebenarnya saya pernah membicarakan beasiswa bidikmisi dengan beberapa saudara, tetangga, dan tentu saja orang tua. Mungkin, bantuan ini kelewat populer dan bikin orang-orang tertarik. Perlu diketahui kalau orang tua saya adalah golongan mampu. Meski nggak kaya raya, tapi saya percaya dengan kemampuan ayah saya yang ketika itu masih aktif bekerja. Dalam hati saya merasa beasiswa Bidikmisi bukan buat saya, kalaupun mau cari beasiswa, tentu cari yang jalur prestasi saja. Sebab, salah satu syarat penerima beasiswa Bidikmisi adalah golongan tidak mampu. Banyak berkas yang harus dikumpulkan untuk memvalidasi hal itu.

Meski begitu, kadang saya juga merasa bersalah pada orang tua. Saya nggak telaten buat nyari beasiswa jalur prestasi meski nilai saya agak lumayan. Saya juga tipe yang nggak mau terikat beasiswa dengan embel-embel “balas budi”. Seringnya, beasiswa yang begitu mengharuskan mahasiswa bekerja kontrak sekian tahun setelah lulus. Lha ya nggak apa-apa kalau kerjaannya oke, kalau disuruh kerja rodi kan mampus juga.

Bodohnya saya juga bukan tipe mahasiswa mandiri yang bisa kerja paruh waktu sejak awal kuliah. Kesadaran itu justru baru muncul di saat saya seharusnya fokus ngerjain skripsi. Intinya saya cukup ngawur untuk nggak membantu meringankan beban orang tua selama kuliah. Uang saku dikirim rutin tiap bulan, uang semesteran juga nggak pernah telat. Memang agak pekok dan sedikit kurang ajar.

Namun, yang perlu dibanggakan dari itu semua adalah ketika saya berhasil meyakinkan orang tua bahwa beasiswa Bidikmisi bukan untuk saya, bukan untuk orang tua saya. Suatu hari sebelum saya benar-benar masuk bangu perkuliahan ibu saya menanyakan mengapa saya nggak berusaha mendaftar beasiswa Bidikmisi. Saya jawab santai, “…itu buat orang yang tidak mampu, harus minta surat ke RT dan RW, foto rumah, dan banyak lagi persyaratannya.”

Jawaban ibu saya sejenak bikin kaget, “Lho itu tetangga si A, saudara si B, mereka bikin surat keterangan tidak mampu juga kok, gampang ngurusnya. Foto rumah, ya foto rumah tetangga aja nggak apa-apa. Memangnya kamu nggak pengin meringankan beban orang tua?”

Mak tratap. Ya saya pengin lah meringankan beban orang tua, tapi caranya nggak begitu. “Ma, banyak orang di luar sana yang beneran nggak mampu, yang beneran rumahnya kecil dan ditinggali banyak orang, yang mungkin nggak jadi kuliah kalau nggak dapet beasiswa. Kalau ada yang begitu nggak dapet bantuan demi orang-orang kayak aku ini, apa aku nggak dianggap ngambil hak orang?”

Ibu saya tentu saja masih denial. Bahkan awalnya ayah saya juga punya pemikiran serupa. Mereka sebenarnya nggak tahu bahwa bantuan macam beasiswa juga punya mekanisme kuota dan banyak orang yang jauh lebih membutuhkan. Mungkin kebanyakan orang mikir, pokoknya beasiswa lah. Nggak peduli itu makan hak orang lain, nggak peduli kompleksnya ekonomi orang tua mahasiswa, pokoknya kalau dapat gratisan ya gas. Mental beginian memang susah.

Sekali waktu setelah kuliah beberapa semester akhirnya topik beasiswa Bidikmisi ini kami bahas lagi. Kali ini ayah saya juga ikutan nimbrung. Saya menceritakan temuan saya soal betapa njomplang kehidupan penerima beasiswa yang harusnya tidak menerima, dan kawan saya yang lain yang tidak mampu dan seharusnya menerima.

Si penerima beasiswa, datang ke kampus selalu berpakaian necis dengan sepatu mahal. Saya paham betul sepatu itu bukan hasil hedon dari cairnya beasiswa yang dia terima. Memang karena duit dia banyak aja. Ponselnya apel kroak keluaran terbaru. Nongkrongnya kadang pakai mobil, minimal pergi ke McD dan nggak cuma pesan McFlurry. Lingkar pertemanannya juga orang-orang tajir dengan gaya hidup di atas rata-rata mahasiswa lain. Entah, ini anak memang beneran nggak mampu atau tipe pemalsu dokumen dengan mental gratisan.

Kawan saya yang lain, yang tidak menerima beasiswa tapi seharusnya menerima, adalah seorang perantau yang bahkan di awal semester pernah melamun di pinggiran kampus saking nggak tahu harus bayar kuliah pakai apa. Keluarganya tidak utuh, ia harus hemat dengan makan nasi dan garam setiap akhir bulan. Ketika ditanya mengapa ia tidak mencari beasiswa Bidikmisi, pikirnya dia memang tidak cukup pintar.

Saya menceritakan ini semua pada orang tua dan mereka mengerti. Di momen itu saya sekaligus minta maaf karena harus sekali lagi menjadi beban keluarga, meminta uang saku secara rutin, dan uang semesteran yang lumayan. Tapi, jawaban orang tua saya akhirnya bikin lega. Mereka tidak menganggap saya beban, pun soal beasiswa Bidikmisi yang sebenarnya hanya “iseng” mereka bahas sebelum saya kuliah. 

Soal Pizza Hut yang saya makan dari uang Bidikmisi kawan, tidak ingin saya pikirkan. Toh itu hanya sekali dua kali dalam setahun. Lain soal jika makan beginian diinternalisasi sebagai gaya hidup si penerima beasiswa. 

Iklan

Jika memang mereka yang menerima bantuan itu dari golongan tajir yang aslinya nggak pantas dapat beasiswa, saya kirimkan iba pada mereka semua. Kasihan sekali menjalani sisa hidup dengan perasaan bersalah yang walau tak begitu mengganggu itu tetap akan mengganjal. Kasihan sekali mereka tidak dapat mensyukuri apa yang mereka punya sehingga mengambil milik orang lain dengan cara paling tidak asyik.

BACA JUGA Sudah Tajir Kok Cari Beasiswa Bidikmisi, Kemaruk Amat Kayak Fir’aun dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.

Terakhir diperbarui pada 23 Juni 2021 oleh

Tags: beasiswa bidikmisikehidupan perkuliahankenaikan UKTmahasiswa berprestasiorang tuauang kuliah
Ajeng Rizka

Ajeng Rizka

Penulis, penonton, dan buruh media.

Artikel Terkait

Mohammad Turi, doktor termuda Unesa. MOJOK.CO
Kampus

Olahraga Jadi Alasan Hidup Pemuda Asal Madura Ini usai Ayah dan Ibu Tiada, hingga Raih Gelar Doktor Termuda di Unesa dengan IPK Sempurna

20 November 2025
game clash of champions ala ruangguru. MOJOK.CO
Mendalam

Rakyat Jelata Tak Bisa Gembira dengan Pertunjukkan Clash of Champions, Cuman bikin Kesal Anak Broken Home yang Suka Adu Nasib

10 Juli 2025
Upaya mahasiswa dapat beasiswa s2 dari dosen Unair. MOJOK.CO
Kampus

Gelar Sarjana Akuntansi Tak Guna, Akhirnya Pilih Kuliah S2 dan Nekat Cari Beasiswa dari “Ordal” dengan Harapan Kerja di Perusahaan Besar

11 Juni 2025
Mahasiswa UTY lestarikan aksara Jawa. MOJOK.CO
Ragam

Kala Aksara Jawa Tak Lagi Menarik di Kalangan Anak Muda Indonesia, tapi Eksis di Dunia

5 Maret 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lagu Sendu yang Mengiringi Banjir Bandang Sumatera Barat MOJOK.CO

Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat

6 Desember 2025
Sayonara, JogjaROCKarta.MOJOK.CO

Sayonara, JogjaROCKarta

8 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Bahayanya Cadangan Pangan Beras Jika Tak Dikelola Saat Bencana Sumatra. MOJOK.CO

Pentingnya Cadangan Pangan Beras di Daerah agar Para Pimpinannya Nggak Cengeng Saat Darurat Bencana

8 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.