Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Tinggal Bersama Sebelum Menikah, Mau Kumpul Kebo apa Adu Banteng?

Kohabitasi bukanlah ide bagus dan bukan satu-satunya cara buat lebih mengenal pasangan.

Ajeng Rizka oleh Ajeng Rizka
16 November 2021
A A
Tinggal Bersama Sebelum Menikah, Mau Kumpul Kebo apa Adu Banteng? mojok.co
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Bukan soal ena-enanya aja, mau kumpul kebo atau kohabitasi kek, mau menikah dulu kek. Keduanya sama-sama tak menghindarkan kita dari masalah.

Andai kumpul kebo tak punya stigma negatif di masyarakat, tak melanggar norma dan nilai agama, saya pikir, saya tetap memilih untuk nggak tinggal bersama pacar. Bukan, bukan karena saya punya argumen sok suci untuk nggak seks bebas dan ena-ena. Lho, tinggal bareng orang terkasih kan sebuah konsep yang menyenangkan. Lebih dari itu, keputusan untuk kohabitasi alias tinggal bersama sebelum menikah membutuhkan begitu banyak persiapan buat saling benci dan siap-siap saling cinta lagi meski tanpa ikatan. Hal tersulit untuk dilakukan di muka Bumi.

Mungkin argumen saya terasa kurang otoritatif karena saya belum menikah, saya juga nggak pernah kumpul kebo. Tapi, boleh kali saya urun pandangan. Lha wong pada akhirnya saya berada di titik ini juga hasil dari rangkaian keputusan-keputusan sebelumnya kok.

Jadi, mendadak pembahasan tinggal bersama sebelum menikah alias kumpul kebo ini ramai karena twit dari seorang netizen @bukanherbalife. Ndilalah, cuitan itu ramai dan banyak diamini abege Twitter progresif. Ya, monggo saja kalau merasa kohabitasi adalah sebuah “jembatan” menuju pernikahan damai langgeng sejahtera, tapi saya rasa definisi pernikahan tidak pernah sesederhana “tinggal satu atap”.

Living together before marriage is necessary. It’s not just about sex, but there are A LOT of things that could be uncovered only when u live together. https://t.co/XVKUcXRMVX

— boo boo the fool (@bukanherbalife) November 13, 2021

Beberapa orang yang saya kenal menerapkan hal ini. Mereka ngaku terang-terangan ingin tinggal bersama pacar atau kumpul kebo ya karena seks. Awalnya begitu. Mempermudah ena-ena biar nggak tekor karena harus nge-room terus-menerus. Tinggal berdua di kos bebas juga ternyata nggak enak. Masih ada tetangga kos yang julid. Saat melakukan seks mereka juga nggak bisa gedebag-gedebug karena jarak kamar ke kamar hanya terpisahkan tembok. Yah, maklum lah, Buos.

Akhirnya jadilah kawan-kawan saya ini sewa kontrakan berdua. Kumpul kebo. Kohabitasi.

Jujur aja, konsep macam itu memang terasa menyenangkan kalau dibayangkan. Nggak usah ribet-ribet ngurus pernikahan yang di Indonesia ina-inu dan ruwet minta ampun. Bisa langsung tancap gas yang-yangan tanpa ngerem. Pagi-pagi terbangun melihat si dia ngences aja lucu banget. Bikinin sarapan, makan bareng sebelum berangkat kerja, dan pulang kerja langsung disambut pelukan. Bisa Netflix and chill kapan pun. Beli perabotan bareng, grocery dating di Mirota Kampus, pulangnya kembali berpelukan. Udah kayak Teletubbies aja kelen.

Meski begitu, orang yang pro kohabitasi tentu menilai tindakan kumpul kebo itu sebuah upaya berkenalan lebih jauh dengan kekasih. Ada proses pertengkaran di dalamnya. Ada juga proses untuk meributkan anduk basah yang setiap hari ditaruh kasur lagi, kasur lagi. Sesekali berdebat kenapa pulsa listrik udah bunyi padahal baru ngisi seminggu yang lalu. Kita akan mengenal pasangan lebih jauh. Mengenali wajah aslinya dan tahu betul kebiasaan buruknya.

Konon, inilah yang dibutuhkan biar di kehidupan pernikahan nanti dua sejoli nggak akan kaget. Pikirnya, usai sah di mata agama dan negara, bisa langsung klop menjalani hidup bersama. Harapannya proses persiapan yang dilakukan dengan kumpul kebo bisa menuntaskan sekian perkara rumah tangga. Syukur-syukur mencegah dua sejoli mudah memutuskan bercerai.

Hash. Dengan segala hormat, saya agree to disagree. 

Saya justru mikir sebaliknya. Kumpul kebo bisa menciptakan arena adu banteng baru, masalah baru, pertengkaran baru yang solusinya berpisah pula. Ada hal yang lebih “seru” dari seks, pelukan, dan ngeributin anduk basah dalam ranah kohabitasi, yaitu kita bisa berpisah dan tinggal bersama orang baru tanpa ribet ngurus perceraian. Lha dari awal kan memang hidup bersama tanpa adanya ikatan. Nggak perlu memutuskan ikatan kalau emang dari awal nggak ada ikatan.

“Keseruan” macam itulah yang bikin hubungan kumpul kebo paling rentan gagal. Sudah gagal, kenangan yang tersisa agak brengsek pula. Orang yang merasa “ditinggalkan” menganggap dirinya paling rugi karena sudah menghabiskan begitu banyak waktu dan tenaga demi kesia-siaan. Jadi, bikini sarapan dan kecup manja bangun tidur for nothing, berdebat pulsa listrik for nothing, pelukan sambil Netflix and chill juga for nothing.

Di dalam dan di luar pernikahan, saya yakin pertengkaran itu bakal selalu ada. Memutuskan tinggal bersama duluan atau belakangan, juga menempatkan kita pada titik saat kita benci setengah mati dengan orang yang kita cintai. Di saat yang bersamaan, ego harus diredam demi bisa jatuh cinta lagi dengan orang yang sama. Sayangnya, komitmen dan ikatan pernikahan-lah yang akan membantu kita melalui ini. Bukan pengalaman kohabitasi bertahun-tahun, bukan perasaan us against the world karena gunjingan tetangga.

Iklan

Manusia itu makhluk yang setengah goblok dan setengah egois. Kita perlu disadarkan dengan komitmen dan ikatan yang akan memaksa kita jadi makhluk setengah cerdas, setengah penyayang. Perasaan manusia bisa berubah-ubah, tapi komitmen dan ikatan pernikahan perlu dipertahankan.

Kawan saya yang memutuskan tinggal bersama sebelum menikah, kini hubungannya sudah kandas. Tentu saja berakhirnya hubungan mereka juga penuh dengan drama. Kadang, menyisakan problem finansial pula. Ah, dulu mereka tampak sebagai pasangan paling bahagia, sayang sekali harus berakhir.

Namun, bukan berarti semua yang memutuskan kohabitasi itu nggak langgeng, ya ada juga yang berhasil. Kalau diurut kasusnya satu-satu, perdebatannya nggak mungkin selesai sih.

Intinya, saya pribadi sih nggak pengin tinggal bareng sebelum menikah karena beberapa alasan di atas. Kumpul kebo sepertinya lebih menguras tenaga dan menciptakan arena adu banteng baru. Kayak main rumah-rumahan, tapi lebih modal dan lebih banyak bertengkar aja. Harusnya kalau mau punya hubungan yang serius, ha mbok ayo berusaha bareng bikin komitmen. Kalau nggak serius ya sudah FWB-an aja.

BACA JUGA Menikah untuk Saling Melengkapi: Terdengar Indah dan Romantis Padahal Bullshit dan artikel lainnya di POJOKAN.

Terakhir diperbarui pada 16 November 2021 oleh

Tags: hubungan asmarakohabitasikomitmenkumpul kebopernikahanseks bebastinggal bersama
Ajeng Rizka

Ajeng Rizka

Penulis, penonton, dan buruh media.

Artikel Terkait

Tepuk Sakinah saat bimbingan kawin bikin Gen Z takut menikah. Tapi punya pesan penting bagi calon pengantin (catin) sebelum ke jenjang pernikahan MOJOK.CO
Ragam

Terngiang-ngiang Tepuk Sakinah: Gen Z Malah Jadi Males Menikah, Tapi Manjur Juga Pas Diterapkan di Rumah Tangga

26 September 2025
Derita Mahasiswa Kota Malang Nekat Kumpul Kebo demi Perhatian MOJOK.CO
Esai

Mahasiswa Kota Malang Nekat Kumpul Kebo karena Haus Kasih Sayang tapi Berakhir Jadi Korban Kekerasan Pacarnya, Ada yang Hamil di Luar Pernikahan

24 September 2025
Kota Malang tak cocok untuk slow living. MOJOK.CO
Ragam

Sisi Suram Kota Malang yang Membuatnya Red Flag Disinggahi untuk Healing, apalagi Tinggal

31 Juli 2025
Kos bebas berpotensi kumpul kebo. MOJOK.CO
Ragam

Susahnya Jadi Ibu Kos: Tak Ingin Ada Kumpul Kebo, Tapi Ada Saja Anak Kos Ngaku-ngaku Nikah Siri demi Inapkan Pacar

30 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.