Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Terima Kasih Kampanye BKKBN, Kini Kami Punya Alasan Enggan Menikah

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
29 Mei 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Tidak semua orang memimpikan hidup sebagai suami istri—sebagian justru enggan menikah, dan siapa sangka kampanye BKKBN mendukung ini tanpa sengaja!

Adik saya menelepon malam-malam. Katanya, ayah kami baru saja terlibat kecelakaan mobil. Beruntung, Ayah baik-baik saja—hanya mobil bagian depan yang penyok.

Beberapa hari kemudian, saya baru tahu cerita sebenarnya: Ayah mengantuk dan kurang sigap menginjak tuas rem saat mobil di depannya mulai melambat karena akan berbelok. Hanya ada dua orang di rumah yang tahu soal ini: saya dan adik saya—begitu juga dengan fakta bahwa Ayah sudah berjanji untuk bertanggung jawab pada mobil yang ditabraknya.

“Jangan bilang Ibu dulu,” pesan Ayah. Saya bertanya—setengah kesal—apakah Ayah takut dimarahi Ibu atau apa, tapi beliau cuma memandang dengan mata memohon.

Ayah dan Ibu sudah menikah 30 tahun. Tapi, sejak beberapa hari lalu, kampanye Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) soal pernikahan menghantam otak saya keras-keras dan—mau nggak mau—membuat saya jadi teringat peristiwa kecelakaan tadi.

Kampanye BKKBN Dimulai dengan Poster Calon Suami

View this post on Instagram

A post shared by BKKBN (@bkkbnofficial)

Di foto kedua pada poster soal karakter calon suami yang siap menikah di atas, ada poin berbunyi: “Ketika aku mampu berkata jujur untuk segala urusan”.

Saya membacanya 10 kali, sebelum akhirnya menggelengkan kepala dan membatin, “Wah, bukan Ayah banget ini.”

Pertanyaannya, apakah keputusan Ayah yang tidak mampu bercerita jujur pada Ibu menunjukkan bahwa mereka berdua seharusnya tidak menikah (dan saya tidak lahir ke dunia ini)??? Apakah ini menunjukkan bahwa, seperti apa yang dipublikasikan BKKBN, Ayah tak bisa digolongkan sebagai suami yang pantas untuk istrinya, begitu???

Hmmm, gimana nih, BKKBN???

Saya membaca lagi semua syarat calon suami di kampanye pernikahan BKKBN: berusia lebih dari 25 tahun, mampu menghabiskan seluruh waktu bersamamu, menyadari perubahanmu, menghiburmu di kala sedih, menjadi teman diskusimu, memberikan apresiasi, menerima perbedaan pendapat, bertanggung jawab pada kebahagiaanmu.

Wow. Daftar di atas terasa sangat… gombal.

Jangan salah—orang-orang yang enggan menikah sekalipun mungkin bakal klepek-klepek kalau ada laki-laki yang rela menghabiskan waktu bersamanya, mendengar pendapatnya, menjadi teman diskusi, bicara jujur, bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Tapi, memangnya hal-hal ini saja yang membuat seorang pria pantas menjadi suami?

Iklan

Maksud saya—ayolah, kenapa tidak ada bahasan yang lebih nyata soal perannya sebagai suami dalam rumah tangga, misalnya—yang paling umum—turut mendidik anak, alih-alih hanya menjadi sosok dominan dalam keluarga?

Memangnya harus, ya, bahasan tersebut cuma mentok di calon istri?

Terima Kasih, BKKBN, tapi Kami Masih Enggan Menikah

View this post on Instagram

A post shared by BKKBN (@bkkbnofficial)

Menurut BKKBN, sebagai calon istri, perempuan-perempuan Indonesia diminta untuk berusia minimal 21 tahun, mampu mendidik anak, menjadi wanita pengertian, telaten, dan sabar, memasak makanan favorit suami, meningkatkan produktivitas harian suami, berkata jujur tentang apa pun, menerima suami apa adanya, dan menjadi wanita mandiri.

Selain poin terakhir dan poin mengenai umur, saya rasa syarat-syarat di atas sesungguhnya nggak relevan-relevan amat, kecuali hanya memindahkan pekerjaan domestik ke kolom calon istri, sedangkan calon suami digambarkan sebagai sosok pengayom.

Maksud saya, bagaimana bisa saya yakin 100% bahwa saya mampu mendidik anak, padahal saya belum pernah punya anak sama sekali, dan calon suami saya—menurut BKKBN—tidak diharuskan memiliki kemampuan serupa?

Lalu, memasak makanan favorit suami? Apakah ini wujud nyata dari pendapat orang-orang yang meyakini bahwa istri yang tidak bisa memasak hanya akan membuat suaminya berselingkuh?

Hadeh, itu suami atau tukang cicip makanan dah, sampai harus selingkuh segala, padahal restoran dan warung makan bertebaran di mana-mana???!!!

Yang tak kalah menarik perhatian saya, calon istri diminta untuk “menerima suami apa adanya”. Tapi, di poster untuk calon suami, tak ada poin serupa “menerima istri apa adanya”, tuh.

Ini pasti karena BKKBN-nya lupa, kan? Iya, kan?

Saya rasa, sudah banyak yang mengkritik poster kampanye BKKBN ini, dan bagi saya itu hal yang wajar-wajar saja. Kalau saya, sih, malah mau berterima kasih sama BKKBN.

Soalnya, meski banyak yang nggak saya setujui dari poster itu, setidaknya saya bisa pakai poin-poin di sana untuk menjawab pertanyaan “Kapan” dari orang lain.

“Kapan nikah?”

“Nanti, habis les masak. Eh, kapan-kapan masak bareng, yuk. Kamu suka makan apa?

Atau,

“Kapan nikah?”

“Nanti, habis selesai latihan jadi babysitter keponakan sendiri. Eh, keponakanku lucu banget, loh, kalau kentut suka bau. Kamu juga nggak?”

Yaaah, minimal, jawaban-jawaban ini—walaupun sama mengesalkannya—cukuplah untuk mengalihkan pembicaraan dari topik pernikahan.

Harapan saya, sih, cuma satu: semoga saya tidak perlu bertemu dengan orang yang bertanya “Kapan nikah?” dan, di saat bersamaan, menganggap saya “terlalu enggan menikah hanya karena patah hati”.

Duh, please, ya, patah hati itu bukan hanya. Kami—para penyintasnya—butuh waktu yang kadang tak cukup singkat, apalagi kalau terjadinya berturut-turut.

Toh, luka tidak sembuh dengan tiba-tiba menikah saat itu juga. FYI aja.

Terakhir diperbarui pada 29 Mei 2019 oleh

Tags: anti nikah mudaenggan menikahkampanye BKKBNpatriarkipernikahansuami istri
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

Istri Super Jadi Budak Suami Pengangguran Kelas Premium MOJOK.CO
Esai

Derita Istri Jadi “Budak” Kasta Tertinggi Suami Pengangguran yang Lebih Mementingkan Burung Peliharaan ketimbang Anak dan Istri

28 Oktober 2025
Tepuk Sakinah saat bimbingan kawin bikin Gen Z takut menikah. Tapi punya pesan penting bagi calon pengantin (catin) sebelum ke jenjang pernikahan MOJOK.CO
Ragam

Terngiang-ngiang Tepuk Sakinah: Gen Z Malah Jadi Males Menikah, Tapi Manjur Juga Pas Diterapkan di Rumah Tangga

26 September 2025
Aquarina Kharisma Sari: Feminisme Itu Bukan Cuma Soal Hak Pribadi
Video

Mengkritik Gerakan Feminisme dari Sudut Pandang Anti Feminisme Bersama Aquarina Kharisma Sari

5 Agustus 2025
Suka Duka Wedding Organizer Jogja yang Menyulap Pernikahan Jadi Cerita Tak Terlupakan
Video

Suka Duka Wedding Organizer Jogja yang Menyulap Pernikahan Jadi Cerita Tak Terlupakan

21 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.