Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Catcalling dan Street Harassment Tak Ada Urusannya dengan Pujian

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
1 Februari 2019
A A
catcalling cat calling suit-suit pelecehan seksual siulan teori feminisme patriarki ruang publik aman tidak aman laki-laki dominan superior ngajak kenalan mojok.co

catcalling cat calling suit-suit pelecehan seksual siulan teori feminisme patriarki ruang publik aman tidak aman laki-laki dominan superior ngajak kenalan mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Toh, apa yang membentuk tubuh dan wajah kami, nyatanya, bukan urusan para pelaku catcalling yang mengganggu itu.

Seseorang pernah bertanya kenapa saya tidak pergi membeli makan sahur di warung burjo dekat kos setiap kali saya berpuasa. Alih-alih membeli nasi yang hangat dengan lauk telur dadar yang baru matang, saya lebih suka membeli makanan di malam sebelumnya atau masak mi instan sendiri menggunakan rice cooker di kamar.

Saya tidak punya jawaban dengan argumentasi yang kuat karena sesungguhnya alasan saya cuma satu: burjo di malam  hari—atau pagi-pagi buta—biasanya dipenuhi laki-laki yang bergerombol.

Kumpulan laki-laki ini tidak saya kenal dan tak punya urusan dengan saya, memang. Tapi, bagaimanapun, ada beberapa ketakutan yang saya punya untuk masuk ke ruangan yang penuh dengan laki-laki, di mana pun.

Salah satunya adalah karena catcalling.

Waktu SMP, saya selalu pulang sekolah naik angkot. Tempat berhentinya angkot dan rumah saya punya jarak cukup jauh—saya harus melewati kampung sebelah sebelum sampai ke perumahan tempat saya tinggal. Perjalanan ini seharusnya menyenangkan karena saya bakal melewati sawah, penjual jajan di pinggir jalan, sampai gedung akademi yang membuat saya berandai-andai soal kehidupan sebagai orang dewasa yang menuntut ilmu di tingkat pendidikan tinggi. Tapi, semuanya berubah saat saya harus belok lebih ke kanan, melewati jalan setapak yang biasanya menjadi tempat nongkrong pemuda-pemuda berusia 20 tahunan.

“Hai, Cewek…. Sendirian aja, nih?”

“Mau ke mana, Dek? Sini, Mas temenin.”

“Duh, kok cemberut aja, sih.”

Saya masih 14 tahun saat itu dan harus merelakan kuping saya mendengar catcall dari laki-laki kampung sebelah yang tidak saya kenal. O, dan jangan lupakan siulan-siulan menjijikkan yang keluar bergantian dari bibir mereka.

Tak ada pilihan lain selain apa yang selalu saya lakukan berminggu-minggu: berjalan lebih cepat, menunduk, dan merasa takut, sementara para lelaki itu tertawa-tawa dan, tak jarang, mengikuti hingga beberapa meter (ini serius). Tak lupa, mereka juga berseru, “Loh, loh, kok nggak dijawab? Kok pergi duluan? Nggak mau dianter?”

Sialan!

Di usia yang lebih dewasa, catcalling masih saja terjadi. Kadang-kadang saya berpikir, apakah ini gara-gara rok saya terlalu pendek dan kemeja saya terlalu ketat? Ah, tapi saya tidak pernah pergi tanpa mengenakan jaket, kok. Saya bahkan akhirnya mulai sesekali mengenakan hijab dan rok panjang sejak SMA, tapi outcome-nya sama saja.

“Assalamualaikum, Cantik. Mau ke mana?”

Iklan

“Assalamualaikum, Cewek. Loh, loh, kok nggak dijawab? Hahaha….”

Duh, picik benar jalannya otak pelaku catcalling. Berlindung di balik salam, mereka seolah ingin perempuan yang disapanya membalas sikap capernya, bagaimanapun caranya!

Sapaan-sapaan dan siulan catcalling ini, menurut gerakan nonprofit Stop Street Harassment (SSH), merupakan interaksi yang tidak diinginkan—sekali lagi, tidak diinginkan—dengan orang asing di tempat umum, khususnya karena keadaan gender seseorang atau orientasi seksual. Kegiatan catcalling adalah pelecehan seksual berupa verbal, yang bisa saja diikuti dengan tindakan mengintai, meraba, bahkan memerkosa.

Namun, ada banyak pendapat yang muncul perkara catcalling ini. Sebagian orang merasa ia adalah ekspresi kekaguman. Pujian. Sapaan. Ingin berkenalan. Bahkan, jika ada unsur salam dalam ucapan catcalling, ia dianggap jauh lebih baik daripada ekspresi lainnya.

“Salam kan harus dijawab. Masih mending kamu nggak diapa-apain.”

Pertanyaannya: memangnya benar, ya, salam itu selalu jauh lebih baik??? Memangnya dengan mengucap salam, kita tak bisa lagi mendeteksi niatan catcall dari si pelaku??? Lantas, kenapa rasa tidak nyamannya masih ada di sana???

Nyatanya, catcalling dan bentuk pelecehan seksual lainnya tak ada urusannya dengan keperluan “membuat korban merasa cantik”. Komentar-komentar yang tampak memuji dan meminta kita untuk tersenyum itu toh memang bukan pujian. Singkatnya, para pelaku tidak melakukan catcall demi keuntungan korban.

Sebuah survei di Amerika Serikat merangkum respons dari para perempuan korban catcalling. Sebanyak 85% perempuan mengaku merasa marah, sementara sisanya merasa terganggu dan jijik. Pun jika perempuan-perempuan ini—termasuk saya—memutuskan untuk tidak menjawab dan lebih memilih berjalan pergi, itu bukan karena kami fine-fine saja dengan keadaan tadi. Memangnya situ nggak pernah mencoba mencari tahu kenapa korban pelecehan seksual merasa kesulitan untuk bersuara?

Rasa tidak nyaman menerima catcall dan siulan, bahkan sampai diikuti, itulah yang membuat saya kurang nyaman kalau harus masuk ke warung burjo atau tempat apa pun yang berisi gerombolan laki-laki. Selain kenangan SMP tadi, ingatan saya bisa saja tiba-tiba pergi ke masa SMA, di mana seorang anak kecil—sekali lagi, anak kecil—mendekati saya saat motor melaju pelan-pelan melalui gang, melakukan catcall, lalu…

…menyentuh bagian pribadi saya.

Dia berteriak kegirangan dan langsung pergi, meninggalkan saya yang shock dan ingin menangis di motor, tapi sempat melihat gerombolan laki-laki bertepuk tangan ke arah si anak kecil kurang ajar tadi.

Pelecehan di jalan, baik “sekadar” catcalling atau berupa sentuhan fisik, adalah hal rendahan yang tak bisa ditoleransi. Sekarang, coba pikir: kenapa harus kami yang diganggu? Kenapa beberapa orang melakukannya seolah-olah hal ini hanya lelucon yang tidak meninggalkan ketakutan apa pun?

Sungguh, kami hanya ingin punya hak yang sama—laki-laki maupun perempuan—di tempat umum: berjalan dengan perasaan terlindungi dan nyaman. Toh, apa yang membentuk tubuh dan wajah kami, nyatanya, bukan urusan para pelaku catcalling yang mengganggu itu.

Terakhir diperbarui pada 12 Agustus 2021 oleh

Tags: catcallcatcallingdigoda di jalanlaki-lakipelecehan seksualperempuanstreet harassment
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

Sisi Gelap Sebuah Pesantren di Tasikmalaya: Kelam & Bikin Malu MOJOK.CO
Esai

Sisi Gelap Sebuah Pesantren di Tasikmalaya: Mulai dari Pelecehan Seksual Sesama Jenis, Senioritas, Kekerasan, Hingga Senior Memaksa Junior Jadi Kriminal

9 September 2025
Ironi Gedangan Sidoarjo yang bikin orang Surabaya resah. MOJOK.CO
Ragam

Ironi Gedangan Sidoarjo: Jalan yang Tak Ramah bagi Perempuan karena Perilaku “Bejat” Warganya

21 Juli 2025
Melihat lebih utuh kasus pelecehan seksual difabel terhadap mahasiswi Mataram MOJOK.CO
Aktual

Melihat Lebih Utuh Kasus Pelecehan Seksual Difabel terhadap Mahasiwi di Mataram

4 Desember 2024
kekerasan seksual di ruang publik. Salah satunya pekerja hotel di Surabaya.
Ragam

Sulitnya Jadi Pekerja Hotel, Menghadapi Baby Boomers yang Mesum

25 Oktober 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.