[MOJOK.CO] “Stigma negatif sempat dan masih menempel di badan e-sports. Namun, yang diremehkan ini, justru akan dilombakan di Asian Games 2018!”
Jangan meremehkan e-sports. Misalnya DotA 2 dan Mobile Legend (ML), kedunya bisa mengasah cara berpikir, kerjasama tim, ketangkasan tangan, hingga kontrol emosi yang namaste. Paket komplet, bukan?
Hal ini membuktikan kalau main game, dalam realita kekinian, nggak melulu nyari fun aja. Di sana kita bakal diajarkan rasa sakit yang mendalam. Misalnya, ketika kita sedang main DotA 2 dan dalam posisi memimpin. Kemudian, tiba-tiba, pacar menelepon untuk sekadar nanyain “kamu lagi apa?”
Langsung buyar semuanya. Kamu kehilangan konsentrasi dan tim kamu terkepung musuh dalam sekejap. Sudah mengacau di DotA, kena omel pacar lagi karena enggak langsung ngerespons karena kamu sibuk marah-marah karena kalah. Pedih!
Salah satu atlet DotA 2 dari tim Freedom Gaming, Dwiki Oviarta, juga pernah mengalami hal serupa. Tak hanya sekadar kena omel pacar, Dwiki bahkan meresa atlet e-sports masih dipandang sebelah mata oleh banyak orang, terutama keluarganya sendiri karena tiap hari kerjaannya cuma main game. Tidak berfaedah katanya. Buang-buang waktu katanya.
Apakah pembaca tahu bahwa tahun lalu, total hadiah kompetisi e-sports DotA 2 mencapai 277 miliar rupiah! Memang, kamu harus sangat jago untuk bisa berbicara banyak di kompetisi ini. Jadi, dibutuhkan latihan dengan durasi tinggi dan modal yang besar. Tapi, bukankah sama saja dengan olahraga lain, yang butuh latihan secara intensif dan modal untuk membeli peralatan.
Stigma buruk yang dihadapi oleh pemuda-pemudi generasi milenial yang ingin merintis karier sebagai atlet e-sports adalah stigma buruk yang didapat kebanyakan dari lingkungan terdekatnya. Stereotip main game yang sedari dulu hanyalah sekadar buang-buang waktu dan tiada gunanya telah merasuki sanubari para orang tua maupun pelaku generasi milenial itu sendiri.
Padahal jika dilihat progresnya, game sudah berkembang sangat pesat. Game-game zaman baru, terutama dengan mode online, sudah meninggalkan kesan “fun” di dalamnya. Sebut saja DotA2, FIFA, Mobile Legend, Arena of Valor, dst, dst, dst.
Kalau dulu kita mainan Super Mario Bros yang tujuan akhirnya adalah menyelamatkan tuan putri, jaman sekarang game dibuat tak hanya sekadar itu saja. Game yang dihadirkan tak memiliki tujuan akhir yang pasti, para pemain yang menentukan tujuan akhirnya sendiri.
Dan menariknya, tujuan akhir dari sebuah game, bukan melulu soal game itu sendiri. Misalnya, mengalahkan rival online atau mengalahkan gamers dengan nama-nama besar. Tentunya, gamers pro ini jago banget. Sebut saja Suma1l atau Abed di DotA.
Kalau untuk Mobile Legend, salah satu target menantang adalah menjadi top global, apalagi kalau bisa tiga kali berturut-turut. Setelah mencapai tujuan-tujuan itu, para gamers baru bisa tenang untuk beristirahat, alias pensiun.
Percayalah, mencapai tujuan-tujuan tersebut sungguh tiada mudah. Kalian harus rela kehilangan waktu-waktu berharga bersama orang-orang terdekat. Butuh usaha ekstra keras, tim yang mumpuni, dan sponsor yang banyak. Lho jangan salah, untuk menjadi pemain pro bukan cuma waktu saja yang harus terbuang, duit juga (kalau kalian belum punya sponsor).
Perkembangan e-sport
Perkembangan e-sports dalam realita kekinian juga sangat bagus. Di beberapa negara, seperti Korea Selatan dan Jepang, pendidikan e-sports sudah ditanamkan sejak dini. Hal tersebut membuat Presiden Indonesia, Joko Widodo, pada tahun lalu berseloroh ingin memasukan elemen e-sports dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Hal ini kemungkinan akan benar-benar dilakukan oleh pemerintah, mengingat cabang e-sports bakal menyemarakkan Asian Games 2018 yang digelar di Jakarta dan Palembang. Pemenang cabang e-sports tahun ini memang belum berhak mendapatkan medali.
Nah, dalam gelaran selanjutnya pada tahun 2022 di Cina, pemenangnya tak hanya mendapatkan hadiah, namun juga medali seperti cabang-cabang olahraga lainnya.
Kabarnya, dua game yang bakal dikompetisikan di Asian Games tahun ini adalah DotA 2 dan FIFA. Yah, dua game yang membutuhkan kepiawaian pemainnya dalam mengatur serangan dan pertahanan secara bersamaan.
Banyak yang sudah mendapati manfaat nyata dari bermain game itu sendiri, kalian pasti tahu Andhika British yang ngomongnya keminggris itu juga menyatakan bahwa salah satu gurunya adalah game online.
Para pahmud dan mahmud nggak perlu cemas jika anak-anaknya gemar mantengin gawainya. Kali aja mereka lagi main Mobile Legends yang siapa tahu bakalan diikutkan di Asian Games.
Yah, jika kalian nggak jago-jago banget main Mobile Legends atau DotA dan pengen dapat untung di sana, tenang saja.
Kalian bisa jadi Youtuber seperti kebanyakan gamers lainnya. Kalau saya sih berharap Mobile Legend juga bisa ikutan di kompetisi besar macam Asian Games atau PON. Biar pacar saya nga ngomel-ngomel tiap kali lagi ngegame. Udahlah dibacotin temen setim eh ditambah omelan pacar.