Warga Dusun Ngareng di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah sedang dilanda kegelisahan. Ritual manganan yang selama ini diadakan tidak lengkap. Ketoprak yang selama ini rutin diadakan, batal digelar. Menengok tahun-tahun sebelumnya, penyelenggaraan amburadul saja menimbulkan pagebluk, bagaimana jika ritual ini tidak diadakan sama sekali?
****
“Itu terjadi pada tahun 80-an. Angin ribut, hujan lebat, lalu satu demi satu warga meninggal,” tutur Ibu Naning (63 tahun) dengan mantap, seolah peristiwa horor tersebut terjadi baru kemarin sore.
“Semua gara-gara ulah panitia manganan yang seenaknya mengganti lakon ketoprak,” katanya. Manganan, atau yang di daerah lain biasa disebut sedekah bumi, adalah ritual tahunan di Dusun Ngareng yang terdiri atas dua acara: makan-makan yang dihadiri oleh warga sekampung dan pagelaran ketoprak. Ritual ini selalu diadakan pada hari Jumat Kliwon di bulan Besar (nama bulan terakhir dalam siklus kalender Jawa).
Menurut Bu Naning, kejadian yang dipercaya sebagai pagebluk itu disebabkan ketua panitia manganan saat itu. Bosan dengan lakon Lutung Kasarung yang dipentaskan saban tahun, maka ketua panitia mengubah lakon ketoprak menjadi Keong Mas, tanpa berdiskusi dengan “mereka” yang punya hajat.
Hasilnya sesuai prediksi para tetua kampung, pagebluk menimpa Dusun Ngareng. Seorang warga kesurupan dan memecahi kaca-kaca rumah penduduk, dan beberapa warga yang lain meninggal secara beruntun..
Kisah serupa yang agak kurang dramatis juga terjadi sekitar tujuh tahun silam, dua pekan setelah saya menjadi warga Dusun Ngareng. Ketua panitia manganan periode itu, seorang pemuda yang meyakini musik dangdut sebagai falsafah hidup, menyisipkan acara organ tunggal sebelum pagelaran ketoprak dimulai.
Itu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya, dan peristiwa kesurupan akut yang dideritanya selama dua bulan pasca-acara benar-benar menutup peluang bagi hal tersebut terjadi lagi setelahnya.
“Sesulit apa pun kondisinya dan serunyam apa pun pelaksanaannya, ritual manganan dan pagelaran ketoprak selalu dilaksanakan. Tapi, tahun ini berbeda,” kata Ibu Naning sambil menghela napas panjang.
Kegelisahan Ibu Naning juga dirasakan oleh warga lain. Pagelaran ketoprak terancam batal digelar. Pandemi Covid-19 yang menghajar Cepu membuat aparat yang berwenang enggan menurunkan izin penyelenggaraan.
Semua warga berpikir begini: jika penyelenggaraan yang amburadul saja sudah cukup untuk mendatangkan bala, maka kemalangan macam apa yang akan mereka terima bila ketoprak benar-benar batal digelar?
Hingga ulasan ini rampung ditulis, izin dari aparat masih belum didapat. Warga Dusun Ngareng tampaknya perlu bersiap untuk menghadapi pandeminya sendiri.
Pendakwah dan monyet peliharaannya
Dusun Ngareng terletak di Desa Ngelo, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Dusun berpenduduk 440 jiwa ini berbatasan langsung dengan sungai Batokan dan Bengawan Solo yang membatasi Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Dan di sisi paling selatan dusun, hanya berjarak belasan meter dari Bengawan Solo, terdapat makam sang pendiri dusun. Orang-orang sini menyebutnya Mbah Ridho.
Menurut penuturan juru kunci makam, Pak Bandi (74 tahun), Mbah Ridho adalah pendakwah Islam dari wilayah Kesultanan Mataram. Demi menyebarkan syiar Islam ke wilayah pedalaman, Mbah Ridho menyusuri sungai Bengawan Solo dan mendakwahi warga dusun-dusun yang berdiam di bantaran sungai.
Baru di usia senjanya Mbah Ridho memutuskan untuk menetap. Dibantu beberapa muridnya, Mbah Ridho membabat hutan dan mendirikan permukiman di wilayah yang kini disebut Dusun Ngareng.
Tak ada yang bisa memvalidasi cerita Pak Bandi tersebut, sebagaimana tak ada yang bisa memastikan mana yang benar di antara beragam kisah mengenai Mbah Ridho. Namun, semua orang meyakini bahwa makam tua di bawah naungan trembesi raksasa itu, yang berada di dalam area Pusdiklat Migas Cepu, adalah makam Mbah Ridho sang pendiri dusun. Di sanalah pusat ritual manganan diadakan.
Pada Jumat pagi sekitar pukul sepuluh, seluruh warga dusun Ngareng mengerumuni makam Mbah Ridho sambil membawa aneka makanan. Ada yang membawa tumpeng lengkap, ada yang membawa nasi kotak, ada pula yang sekadar membawa jajan pasar. Tak ada aturan tertentu mengenai jenis makanan yang mesti dibawa ke sana.
Pak Bandi sang juru kunci kemudian memimpin acara doa bersama, dan ritual itu akan diakhiri dengan saling bertukar makanan antar-warga. Tua-muda, dewasa-bocah, lokal-pendatang, semua orang harus kebagian makanan, sebab keluar dari area makam dengan tangan kosong adalah pantangan.
“Inti ritual manganan, kan, bagi-bagi rejeki dan kebahagiaan. Masa iya kamu senang ngeliat ada orang yang pulang tanpa bawa apa-apa, ya kan?” terang Pak Bandi ketika saya tanya mengenai alasan pantangan tersebut. Di situ saya agak kecewa karena telanjur mengharap alasan yang berbau klenik.
Baru pada hari Sabtu malam pagelaran ketoprak diadakan. Sama seperti pagelaran wayang kulit yang masih bersetia pada pakem pewaktuan, pagelaran ketoprak di dusun Ngareng selalu dimulai pada pukul sembilan malam hingga menjelang subuh. Lakon yang dibawakan tak pernah berubah sejak dulu, selalu Lutung Kasarung.
Menurut Pak Bandi, penetapan lakon tersebut berasal langsung dari Mbah Ridho. Ini disinyalir karena semasa hidupnya dulu Mbah Ridho memelihara monyet yang moksa ketika tuannya wafat.
Orang-orang yang mampu melihat dunia tak kasat mata berani bersumpah kalau mereka mendapati monyet tersebut kini menghuni area makam Mbah Ridho, bergelantungan bebas di pohon trembesi raksasa yang ada di sana bersama peliharaan Mbah Ridho yang lain: ular dan macan.
“Monyet itulah yang mengamuk ketika panitia sinting itu dulu nekat mengganti lakon ketoprak,” jawab Pak Bandi, ketika saya mengangkat kembali kisah pilu saat dusun Ngareng ditimpa pagebluk.
“Yang memecahkan kaca-kaca rumah penduduk, si Budi itu, soalnya bertingkah kayak monyet pas kesurupan. Sekarang dia sudah jadi pegawai Migas, ya?”
Saya mengangguk dan berhasil memetik pelajaran moral dari situ: agar bisa menjadi pegawai Migas, seseorang mungkin perlu kesurupan monyet lebih dulu.
Ketika saya bertanya mengenai manakah yang membuat beliau lebih khawatir antara generasi muda yang mulai melupakan tradisi atau pandemi Covid-19, dengan cepat Pak Bandi memilih pandemi.
“Generasi muda mungkin belum mengerti esensi manganan yang sebenarnya, tapi seiring waktu mereka pasti bakal paham. Lagi pula, banyak anak muda yang terlibat dalam kepanitiaan manganan tahun ini, kan? Pak Harto, ketua panitia, masih empat puluhan. Yang narik iuran warga, malah baru lulus SMA. Suamimu juga panitia, toh? Berapa umurnya? Lak belum ubanan, toh?” ujar Pak Bandi, sebelum kami sedikit berdebat mengenai uban suami saya.
“Tapi pandemi, ya Allah, belum pernah saya mengalami masa-masa yang sesulit ini dalam menyelenggarakan manganan. Tahun lalu—kamu pasti ingat, toh—izin dari polsek sulit didapat. Masih untung kita bisa mengadakan ketoprak. Tapi tahun ini, saya nggak tahu,” jelas Pak Bandi sambil menggeleng pelan.
Bersama-sama makan simalakama
Manganan tahun ini diadakan pada tanggal 23 dan 24 Juli, setidaknya begitulah yang direncanakan. Izin penyelenggaraan manganan telah diajukan sejak awal tahun, dan tentu saja aparat yang berwenang memberi izin dengan syarat tertentu berupa pembatasan jumlah peserta dan penyediaan sarana mencuci tangan. Itu persyaratan yang mudah dipenuhi, yang sudah dijalani pula pada manganan tahun lalu.
Namun, urusan ritual manganan tiba-tiba menjadi pelik ketika pemerintah memberlakukan PPKM Darurat pada awal Juli lalu. Pemerintah daerah melarang semua jenis kegiatan yang berpotensi menciptakan kerumunan hingga PPKM Darurat selesai.
Izin yang dulu diberikan pun dicabut, tetapi panitia manganan tak begitu resah karena PPKM Darurat akan selesai pada tanggal 20 Juli, tiga hari sebelum jadwal manganan yang sudah ditentukan.
Malang betul, PPKM Darurat ternyata diperpanjang hingga tanggal 25 Juli. Paniklah panitia. Bersama Pak Bandi dan beberapa pengurus RW, Pak Harto menyambangi kantor camat dan polsek demi memohon izin.
Pada awalnya aparat menolak, tetapi setelah berdiskusi cukup alot yang melibatkan banyak cerita klenik, aparat pun melunak dengan mengizinkan acara manganan di makam Mbah Ridho. Pagelaran ketoprak, sementara itu, harus menunggu masa PPKM yang kini berlevel 4 selesai.
“Yang penting para warga mematuhi protokol kesehatan. Cuci tangan, pakai masker, dan masuk makam bergiliran,” kata Pak Harto, sambil menambahkan bahwa saat ini aparat keamanan jauh lebih menakutkan ketimbang ancaman virus apa pun.
PPKM level 4 memang selesai, untuk kemudian disambung kembali dengan PPKM level 3 yang berlangsung hingga tanggal 9 Agustus. Gegerlah panitia dan warga. Kali ini tak mungkin mereka menunggu PPKM selesai karena pada tanggal 9 Agustus bakda asar sudah memasuki bulan Suro.
Dalam periode genting tersebut, sudah dua kali Pak Harto dan para tetua kampung memohon izin ke Polsek Cepu. Jawabannya bisa diduga, tetapi pada kunjungan yang terakhir, yang didampingi pula oleh petugas Kelurahan Ngelo, bukan cuma penolakan yang diterima, melainkan juga ancaman.
“Seluruh warga Ngareng bakal di-swab. Semua panitia bakal dipenjara. Itu kata mereka, kalau kami nekat mengadakan ketoprak,” terang Pak Harto.
Polsek dan panitia ritual manganan seolah sedang duduk berseberangan di meja makan dengan buah simalakama sebagai satu-satunya sajian. Bagi pihak polsek, memberi izin sama dengan mencari perkara.
Kalau ketahuan, sanksi pemecatan dan pemidanaan sudah menunggu mereka. Namun, pihak polsek juga tak menutup mata dengan tulah yang mungkin akan menimpa warga Ngareng bila ketoprak batal dilaksanakan.
Panitia berada di pihak yang lebih sulit. Merekalah pihak pertama yang menanggung konsekuensi atas apa pun keputusan yang diambil. Tinggal pilih: mau dipenjara atau mati kena bala.
Kedua pihak sama-sama dihadapkan pada pilihan yang pelik, dan akhirnya pada Jumat siang (6/8) Pak Harto dan Pak Bandi memutuskan untuk meniadakan pagelaran ketoprak tahun ini. Meskipun tak sepadan serta tak yakin dengan kemujarabannya, mereka kemudian mengadakan tahlilan bersama beberapa warga lain di makam Mbah Ridho pada Jumat sore hari itu.
“Dipikir mburi, wis,” pungkas Pak Harto, enggan memikirkan konsekuensi macam apa yang mungkin tengah mengintainya. Beban berat menggelayuti pundak tetua kampung dan panitia. Mereka telah memasang taruhan, dan dadu telah pula dilemparkan.
“Tuah dan tulah semuanya bersumber dari Tuhan, bukan dari makam,” tutup Pak Harto pasrah.
BACA JUGA Guru Honorer yang Memilih Jualan di Tempat Horor Sambil Menunggu Kejelasan Status dan Liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.