Belakangan, meme berbentuk video kucing dengan tulisan “pov orang Bekasi kerja di Jakarta” kerap melintas di linimasa saya. Awalnya, saya dibikin ngakak dengan parodi tersebut.
Bagaimana tidak, selama ini mengolok-olok warga Bekasi sudah menjadi rutinitas warganet. Sehingga, menertawakan kemalangan mereka pun seolah adalah hal yang lazim.
Termasuk, menertawakan beratnya rutinitas harian mereka: berangkat kerja jam 5 pagi, menghabiskan dua jam perjalanan ke tempat kerja, melakukan pekerjaan melelahkan, dan tepar di malam hari.
View this post on Instagram
Namun, kelucuan itu harus saya anulir setelah mengobrol dengan Feni (28). Ia adalah warga Bekasi yang sudah tujuh tahun kerja di Jakarta.
“Sudah kerja di Jakarta sejak lajang sampai punya anak. Dari belum punya rumah sendiri, sampai… masih belum punya rumah,” kelakar perempuan asal Tambun ini, kepada Mojok, Minggu (30/6/2024).
Saat saya memintanya mengomentari meme kucing tersebut, Feni memang tertawa. “Sangat relate!” katanya. Namun, saat mulai bercerita bagaimana meme tersebut bisa relate dengan kehidupannya, single parent ini perlahan memudarkan tawanya.
“Jangan kayak tetangga-tetangga aku ya, Mas. Tahunya kerja di Jakarta dapat gaji gede, tapi nggak pernah nengok gimana beratnya hari-hari aku. Persis yang kayak di meme itu.”
Bersiap kerja saat ayam belum berkokok
Jam 4 pagi, Feni sudah harus bangun. Tak ada waktu buat scroll TikTok, karena kegiatan selanjutnya adalah salat Subuh dan lekas mandi buat menghilangkan kantuk. Setelahnya, ia juga harus memastikan kebutuhan anaknya yang baru tiga tahun sudah ready saat seharian dia tinggal bekerja.
“Setiap hari si kecil aku titipin ke Bunda. Tapi sebelum itu semua kebutuhan kayak susu sudah harus aku siapin sendiri,” kata akamsi Bekasi yang kerja di Jakarta ini.
Bahkan, sekadar menyiapkan bekal buat sarapannya sendiri pun ia tidak akan sempat. Memang kalau lagi beruntung, ia masih punya cukup waktu buat menggoreng telur atau membuat mie instan. Tapi itu jadi momen yang langka.
“Ya bagaimana lagi, pokoknya jam 5 aku sudah harus siap berangkat stasiun [Tambun],” imbuhnya.
Dari rumah ke stasiun pertama, Feni berangkat menggunakan ojek online. Waktu 10 menit dan ongkos Rp8-10 ribu biasanya ia habiskan buat sampai ke Stasiun Tambun.
“Yang jadi masalah sebenarnya kalau musim hujan. Mau nggak mau harus nerobos, dan kadang ke kantor harus nyiapin baju ganti.”
Setelah sampai di Stasiun Tambun, tak ada waktu bagi pekerja Bekasi ini buat bersantai main HP. Ia kudu selalu ready, memastikan bisa naik kereta pertama yang datang dari arah Cikarang. Sebab, kalau telat naik kereta 10 menit atau bahkan setengah jam, bisa-bisa ia terlambat masuk kantor.
Selama kerja di Jakarta, kantornya yang berlokasi di Kawasan Sudirman menerapkan jam kerja mulai pukul 8 pagi. Datang lebih awal, bikin Feni bisa melakukan banyak hal, termasuk prepare dan sarapan. Sementara kalau telat, denda siap-siap harus ia keluarkan.
“Bulan ini sekali telat, sih, karena emang waktu habis di jalan,” ujarnya.
Nyawa pekerja Bekasi tertinggal di KRL
Seringnya, Feni start dari Stasiun Tambun sekitar pukul 5.30 pagi. KRL itu bakal membawanya menuju ke Stasiun Bekasi. Pada 10 menit perjalanan ini, Feni mengaku “masih bisa bernafas” karena penumpang cenderung lenggang. Buat meneruskan tidur, makan sesuap-dua suap nasi, atau lihat video-video lucu di Reels IG, masih bisa ia lakukan.
Namun saat sampai Stasiun Bekasi, jangan harap ia bisa bersantai. Ribuan penumpang bakal langsung menyerbu gerbong. Selanjutnya bisa ditebak, 45 menit perjalanan melewati 7 stasiun, ia lalui dengan berdiri.
“Mau nyari kursi kosong udah nggak mungkin. Kalau pun ada yang kosong, itu ya buat orang tua,” ujar perempuan yang kerja di Jakarta ini.
Sekitar pukul 7 kurang, Feni bakal sampai di Stasiun Manggarai buat transit. Di sinilah nasibnya dipertaruhkan. Sebab, bakal ada jutaan pekerja lain seperti dirinya yang akan berebut masuk KRL menuju Sudirman.
“Interval kedatangan itu 10 menitan, jadi kebayang kan kalau nggak kebagian kereta, harus nunggu lagi. Dan masih bakal ramai lagi kayak sebelumnya.”
Kalau beruntung, Feni bakal sampai Stasiun Sudirman pukul 7.30 dan dilanjut berjalan kaki 10 menit ke kantornya. Tapi kalau lagi apes, waktu kedatangannya ke kantor bisa sangat mepet. Bahkan, ada kalanya dia harus merelakan ongkos Rp20 ribu untuk memesan ojek online, karena kalau menunggu kereta berikutnya bakal telat.
“Sampai kantor make up udah luntur. Baju udah kucel. Badan dah basah penuh keringet. Perut kosong pun kadang udah nggak enak buat sarapan, soalnya nyawa masih ketinggalan di dalem KRL,” ujar buruh asal Bekasi ini.
Sulit menjelaskan ke tetangga kolot kalau kerja di Jakarta tak seenak yang dipikirkan
Feni terus mengulangi rutinitas melelahkan itu. Bangun subuh, habiskan dua perjalanan ke tempat kerja, melewati delapan jam di kantor, dan dua jam perjalanan lagi buat pulang.
“Jam 7, 8, ya itu jam sampai rumah. Langsung mandi, ketemu anak yang sudah tidur, dan istirahat buat mengulang rutinitas besok,” ucapnya getir.
Perempuan ini sedih bukan hanya karena melakukan rutinitas melelahkan. Namun, kerja di Jakarta bikin waktunya bersama sang anak jadi berkurang. Ia benar-benar bisa menghabiskan waktu seharian bersama anaknya hanya saat akhir pekan saja.
Kendati demikian, masih ada saja tetangganya yang nyinyir kepadanya. Menurut Feni, mulut mereka asal nyablak karena tak pernah memahami betapa sulitnya menjadi dia, orang Bekasi yang kerja di Jakarta.
“Biasanya pada nyinyir, ‘kok jarang kelihatan sih, Fen’, ‘kasian Bundamu ngurus anakmu sendiri tiap hari’, tanpa mereka pahami tiap harinya aku udah stres banting tulang sama kerjaan,” kata Feni.
“Belum lagi kalau ada yang bilang, ‘kudu rajin bersyukur, dapat kerja enak kantoran di Jakarta, gaji gede’. Itu rasanya pengen nangis sambil bilang, ‘udah gantiin aja posisiku.”
Dengan kerja di Jakarta, Feni mendapat upah Rp5,2 juta per bulan. Namun, angka itu harus ia potong Rp1,5 juta untuk disisihkan buat akomodasi hariannya. Baik transport maupun uang makan.
Alhasil, modal Rp4 juta harus ia gunakan selama sebulan buat menghidupi anaknya dan dua orang tuanya yang sudah berumur. Bagi Feni pula, “kerja di Jakarta bukanlah pilihan, tapi adalah keharusan”, karena Bekasi tak memberikan apa-apa kepadanya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Kos Kutek Depok, Saksi Rusaknya Mahasiswa UI di Perantauan, Bikin Susah Warga dan Orang Tua
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News