Seorang penjual angkringan di Jogja merasa bangga karena sang adik bisa kerja di Bandung dan jadi orang sukses di ibu kota Jawa Barat tersebut, meski sering kali ia mendengar ada yang membanding-bandingkannya.
Iwan (50) terheran-heran ketika mendengar maksud saya ke Masjid Gedhe Kauman, Jogja untuk mengikuti salat Tarawih tengah malam, Sabtu (16/3/2024). Mengingat, kata Iwan, salat Tarawih di Masjid Gedhe Kauman hanya diikuti oleh orang-orang tua.
Iwan sendiri adalah penjual angkringan di sisi utara Masjid Gedhe Kauman, Jogja. Malam saat saya mampir ke angkringannya, sebenarnya ia sudah bersiap untuk tutup. Tapi ada satu obrolan yang membuat Iwan urung menutup angkringannya lebih dulu.
Membanggakan adik yang kerja di Bandung
“Oh wartawan, suka baca berarti?” tanya Iwan saat mengetahui profesi saya. Saya mengangguk sembari mengganyang sisa-sisa mendoan di atas meja angkringan.
“Pernah baca bukunya Tasaro GK?” tanyanya lagi
“Itu adik kandung saya,” sambungnya lagi tak lama setelah saya jabarkan buku-buku Tasaro GK yang pernah saya baca. Terutama yang paling favorit adalah tetralogi Muhammad (Lelaki Penggenggam Hujan, Para Pengeja Hujan, Sang Pewaris Hujan, dan Generasi Penggema Hujan).
Sontak saja saya berhenti mengunyah. Di hadapan saya memang bukan Tasaro GK. Tapi dekat dengan orang terdekat Tasaro GK bagi saya sudah menjadi sesuatu yang luar biasa.
“Taufik (nama asli Tasaro GK), dari dulu memang suka nulis. Mangkanya jadi penulis. Kalau saya nggak telaten,” imbuh Iwan.
Iwan tak bisa menyembunyikan rasa bangganya karena saat ini sang adik sudah menjadi orang sukses di Bandung. Bukan hanya sebagai penulis besar, tapi juga sebagai kepala SD Alam Bukti Akasia, Jatinangor.
Yang membuatnya merasa bangga adalah, sering kali ketika ia menyebut nama “Tasaro GK” kepada orang lain, pasti banyak yang mengaku kenal dengan raut wajah antusias. Meskipun sering kali pula banyak yang meragukan pengakuan Iwan sebagai kakak dari penulis yang kini tinggal di Bandung tersebut.
Sering dibanding-bandingkan
Iwan sempat mengira kalau saya kaget karena tak percaya, mana mungkin kakak seorang penulis terkenal di Bandung hanyalah seorang penjual angkringan di Jogja? Tapi alasan kekagetan saya sudah saya jawab di atas.
Iwan tak luput membanggakan profesi-profesi hebat yang pernah sang adik jalani sebelum akhirnya menjadi penulis terkenal di Bandung, Jawa Barat.
Di antaranya pernah menjadi wartawan Radar Bogor selama lima tahun, editor buku di PT Syaamil Cipta Media pada 2005 dan di penerbit Grafindo, Bandung pada 2010. Di tahun 2010 itu pula ia kemudian meluncurkan novel Muhammad: Lelaki Penggenggman Hujan yang lalu beranak pinak menjadi empat seri buku.
“Ya dulu cerita, dari novel Muhammad itu dapat uang puluhan (juta). Terus uangnya Taufik pakai buat bangun sekolah (lembaha Pendidikan Usia Dini (PAUD) Kampoeng Boekoe, di Sumedang),” beber Iwan yang merupakan pria kelahrian Gunungkidul, Jogja tersebut.
Oleh karena itu, tak ayal jika kemudian Iwan mengaku tak jarang mendengar selentingan-selentingan yang membanding-bandingkannya dengan Tasaro GK. Mengingat, jalan hidup Iwan sendiri dari dulu sampai sekarang menurutnya cenderung flat dan biasa-biasa saja. Tak seperti sang adik yang bisa dibilang sudah menjadi sosok populer, minimal di dunia perbukuan tanah air.
“Kalau saya kerja apa saja, Mas. Sekarang buka angkringan karena umur-umur se-saya ini sudah sulit dapat kerja,” tutur Iwan.
Baca halaman selanjutnya…
Omzet angkringan tak kalah lumayan