Betapapun melelahkan, ternyata magang bisa menjadi bekal saat perburuan lowongan kerja: punya potensi diterima kerja lebih besar ketimbang fresh graduate. Sialnya, pentingnya magang baru narasumber Mojok sadar usai lulus kuliah (selama mahasiswa tak sekali pun ikut magang). Dengan modal portofolio seadanya, dia kelabakan karena sudah puluhan kali ditolak perusahaan.
2 tahun jadi pengangguran dengan status “fresh graduate”
Sudah dua tahun ini Fardi (24) menjadi pengangguran. Sebenarnya, kalau menelan mentah-mentah apa kata orangtuanya, usianya masih terbilang muda. Jadi tak perlu kelabakan karena belum juga mendapat lowongan kerja yang meneri kualifikasinya.
Masalahnya, banyak teman-teman Fardi yang sejak fresh graduate (baru lulus) sudah langsung mendapat pekerjaan. Ada juga yang menjadi PNS.
Fardi bisa saja tutup mata dari capaian-capaian teman-teman seangkatannya di kampus. Namun, dia tak bisa sepenuhnya tutup telinga dari bisik-bisik tetangga. Pertanyaan, “Kok masih belum kerja?” teramat sering menyasar Fardi.
Puluhan lamaran kerja sudah Fardi masukkan ke setiap perusahaan yang membuka lowongan kerja. Rata-rata menyertakan keterangan bahwa fresh graduate bisa mendaftar. Tapi nyatanya tak satu pun yang memberinya kabar baik.
“Kayaknya dari sekian itu hanya tiga atau empat kali aku sampai tahap interview. Tapi ya sudah, habis itu nggak ada kabar lagi. Pemberitahuan ditolak pun nggak ada,” keluhnya, Kamis (18/9/2025).
Perusahaan begitu melirik fresh graduate “kosongan”
Setelah merenung, Fardi menyadari kalau fresh graduate yang hanya fresh graduate rasa-rasanya memang sangat kecil kemungkinan dilirik oleh perusahaan. Harus ada daya tawar lebih.
Ada banyak daya tawar yang harus dimiliki seorang fresh graduate. Salah satunya adalah portofilio apakah pernah magang atau tidak. Sebab, magang menjadi tanda bahwa seseorang pernah paling tidak mencicipi ritme dunia kerja.
Sehingga, ketika benar-benar terjun di dunia kerja, dia tak butuh waktu lama untuk adaptasi. Lebih taktis dan tak “bingungan” seperti fresh graduate.
“Karena teman-temanku yang akhirnya lulus kuliah bisa langsung kerja, itu karena dulu sempat magang. Bahkan ada yang kerja di tempat magangnya dulu,” tutur Fardi.
Kata Fardi, ada memang teman-temannya yang fresh graduate “kosongan” tapi langsung tembus sebuah lowongan kerja. Kalau tidak guru honorer, ya pekerja di perusahaan swasta. Tapi itupun dengan gaji yang kecil atau dengan risiko kontraknya tak dilanjut karena mengacu pada hasil probation.
“Aku ngobrol dengan teman-temanku, kalau dulu udah pernah magang, bisa gampang lolos dari probation, karena sudah terbiasa,” sambung Fardi.
Saat mahasiswa lain sibuk magang, malah masih kuliah-pulang
Kesialan dan penyesalan Fardi berlapis. Pertama, jurusan kuliahnya memang tidak memiliki program yang mengharuskan mahasiswa untuk magang. Kedua, Fardi mengakui kalau dia dulu kurang inisiatif untuk mengambil magang secara mandiri.
“Ada kan kantor yang membuka magang. Nah, beberapa temanku ada yang ambil magang mandiri, walaupun nggak masuk konversi mata kuliah dan bahkan nggak digaji,” kata pemuda asal Jawa Timur itu. “Itung-itung buat cari pengalaman.”
Sayangnya, waktu itu Fardi berpikir dangkal. Kalau tidak masuk konversi mata kuliah dan tak digaji, malah cenderung buang-buang waktu dan energi. Alhasil, Fardi lebih memilih kuliah-pulang-nongkrong-keigiatan organisasi.
Fardi juga sudah kadung percaya bahwa dengan modal ijazah S1-nya, dia tetap akan punya kesempatan luas untuk gampang tembus dalam rebutan lowongan kerja. Nyatanya tidak demikian.
“Hasil baca-baca di internet juga, daya tawar fresh graduate di mata HRD itu kan yang paling penting portofolio terkait skill dan pengalaman kerja. Bagi fresh graduate ya magang,” ucap Fardi.
“Pengalaman organisasiku ternyata nggak laku-laku amat. Relasi organisasi mahasiswa yang kuikuti dulu juga nggak membantu,” lanjutnya.
Fardi kini masih berburu lowongan kerja. Karena belum memiliki pemasukan sendiri, maka terpaksa harus tetap minta uang saku—untuk sekadar beli bensi dan paket internet—ke orangtua. Tentu ada perasaan malu. Tapi tak banyak yang bisa Fardi perbuat.
Magang: capek-capek tak digaji, tapi…
Cerita berbeda dituturkan oleh Zuqna (25), pekerja swasta di Jogja.
Jurusan kuliahnya sebenarnya tidak memiliki program magang. Namun, menjelang semester akhir, saat itu Zuqna memilih magang. Niat awalnya untuk sekadar mengisi waktu daripada gabut.
“Tinggal skripsi. Waktu itu juga nggak kuliah sambil kerja. Organisasi juga nggak aktif. Jadi buat ngisi waktu ya sudah garap skripsi sambil magang,” kata Zuqna.
Zuqna mengaku pernah mengeluh di masa magangnya tersebut. Karena dia diperlakukan seperti karyawan penuh waktu. Jelas capek. Sebab, dia juga masih harus membagi waktu dengan mengerjakan skripsi.
Lebih-lebih tak digaji pula. Namun, setelah selesai magang dan lulus kuliah, dia mengaku mensyukuri telah melalui proses tersebut.
Sebelum lulus sudah diminta kerja
Zuqna masih saling menyimpan kontak supervisor di divisinya saat magang dulu.
Suatu ketika, saat mengunggah foto momen menjelang sidang skripsi, tiba-tiba supervisornya itu mengontaknya. “Sudah beres belum kuliahnya? Kalau belum, ini kayaknya aka nada lowongan kerja. Kamu daftar aja.” Begitu bunyi pesan tersebut.
“Makdeg” lah Zuqna. Zuqna sempat maju mundur untuk mendaftar kendati telah lulus sidang. Akan tetapi, dengan pertimbangan betapa sulitnya fresh graduate mencari kerja, akhirnya Zuqna memutuskan memasukkan lamaran kerja saat perusahaan tempat magangnya itu membuka lowongan. Hasilnya, Zuqna diterima.
“Sekarang kerja di sana. Aku kan udah kenal budaya kerjanya, jadi gampang mengikuti. Karena dulu kan aku sudah seperti karyawan tetap. Udah kenal juga dengan beberapa karyawan, jadi gampang ngblend,” sambung Zuqna.
Fardi dan Zuqna sama-sama sepakat, rasa-rasanya, mahasiswa harus melengkapi kompetensi dirinya dengan mengikuti magang. Jika tidak masuk program kampus, maka maganglah secara mandiri. Sehingga tidak lulus sebagai fresh graduate “kosongan”.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ironi Sarjana Hukum saat Magang Advokat: Perjuangkan Hak Orang Lain tapi Tak Berdaya Atas Hak Sendiri, Dipekerjakan Penuh Waktu Gratisan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












