Bagi Sujiwo Tedjo, rasa iba bisa menjebak seseorang pada kesombongan. Namun, di momen tertentu, rasa iba pada orang lain justru berbalik menjadi rasa sesal dan lebih iba pada diri sendiri. Begitulah yang Asror (26) rasakan saat berhadapan dengan tukang parkir di Surabaya.
Mungkin karena Asror dari keluarga pas-pasan, hatinya gampang iba pada orang lain yang dalam kasat matanya tampak rekasa. Maka, tidak jarang Asror mengeluarkan banyak recehan tiap bertemu—misalnya—pengamen, peminta-minta, hingga tukang parkir.
Sampai akhirnya dia menyadari, di Surabaya sulit membedakan mana yang benar-benar kesusahan maupun yang tengah bersandiwara.
Tukang parkir Surabaya tampak nelangsa, tapi…
Asror merantau ke Surabaya pada 2022 untuk bekerja, setelah sebelumnya menghabiskan waktu di Malang untuk kuliah.
Di Surabaya, dia mengaku termakan ibanya sendiri beberapa kali. Termasuk pada tukang parkir.
Suatu hari pada 2022, Asror menemui teman lamanya (teman kuliah di Malang) yang sedang main ke Surabaya. Mereka bertemu di sebuah kafe di Surabaya pusat.
Saat hendak pulang, gerimis turun agak rapat. Dia mendapati tukang parkir kafe yang duduk ngiyup di pojokan luar kafe. Tentu saja bajunya agak basah. Karena tidak ada pos tukang parkir di sana. Hanya bagian depan atap kafe yang tak cukup untuk meneduhkan tubuh.
Melihat Asror hendak mengambil motornya, tukang parkir itupun langsung berlari menerjang gerimis mendekati Asror. Isyarat Asror harus membayar parkir.
“Sialnya waktu itu aku nggak ada uang receh. Adanya Rp50 ribu paling kecil. Sementara parkirnya Rp3 ribu,” tutur Asror, Senin (21/4/2025).
“Karena kasihan kan tukang parkirnya hujan-hujanan, aku bilang, anggap aja bayarnya Rp10 ribu. Jadi kembaliannya Rp40 ribu,” sambung pemuda asal Kediri, Jawa Timur tersebut.
Si tukang parkir hanya diam. Lalu merogoh saku celananya.
Betapa kaget Asror. Dari saku celana itu, si tukang parkir mengeluarkan sebundel uang. Ada beberapa lembar uang Rp50 ribuan hingga Rp100 ribuan. Sisanya uang pecahan kecil-kecil.
Si tukang parkir di sebuah kafe di Surabaya pusat itu lalu menyerahkan kembalian seperti yang Asror minta tanpa banyak berkata-kata. Mengucap terima kasih pun tidak.
Jadi iba dengan diri sendiri
Sepanjang jalan menuju kosan, tak pelak Asror kesal bukan main. Uang Rp10 ribu tetap berharga baginya. Kan lumayan buat beli tahu tek.
Tapi bukannya belajar dari pengalaman, hal serupa (salah iba pada tukang parkir Surabaya) beberapa kali masih Asror alami.
Misalnya, suatu kali Asror beli rokok dan minuman kemasan di sebuah minimarket. Dia lalu duduk agak lama di kursinya sembari mengamati tukang parkir yang masih siaga. Padahal saat itu mendekati tengah malam.
Dalam batin Asror, sampai segitunya orang-orang kelas bawah mencari uang demi bertahan hidup di Kota Pahlawan.
“Waktu mau balik, aku sodorkan uang Rp2.500 ke si tukang parkir. Itu uang kembalian dari kasir,” ungkap Asror.
“Si tukang parkir awalnya bingung sambil menghitung uang recehan dariku. Lalu pas aku udah mau jalan, tiba-tiba si tukang parkir mendekat sambil bilang, ‘Kurang Rp500, Mas.’ Artinya parkirnya sebenarnya Rp3 ribu. Bajingan og,” gerutu Asror.
Baru Asror tahu kemudian, ternyata ada dua jenis tukang parkir di Surabaya: resmi dan liar. Di antara tukang parkir liar adalah yang beroperasi di depan minimarket.
Setelah baca-baca berita, penghasilan tukang parkir liar di Surabaya ternyata juga bisa di atas UMR Surabaya. Itu membuat Asror malah jadi iba terhadap diri sendiri. Mengingat, gajinya di Surabaya bahkan tidak sampai UMR.
Tukang parkir liar Surabaya cuma doyan duit, nggak mau kerja (1)
Jika Asror terjebak pada rasa iba, beda cerita dengan Arfi (25) dan Winar (27) yang juga merupakan perantau di Surabaya.
Arfi akhirnya merantau ke Jogja sejak 2022. Di Jogja, dia mendapati cara kerja tukang parkir—sekalipun liar—yang lebih niat ketimbang di Surabaya.
“Misalnya di ATM atau minimarket. Tukang parkir di Jogja bener-bener bantu natain dan ngeluarin motor,” ungkapnya. Servis-servis yang tidak pernah dia dapat dari tukang Surabaya yang hanya muncul untuk menarik uang.
“Itupun di Jogja bayarnya Rp2 ribu, sudah mau bener-bener kerja. Di Surabaya Rp3 ribu nggak ngapa-ngapain,” lanjutnya.
Cuma doyan duit, nggak mau kerja (2)
Winar juga mengungkapkan hal yang sama. Meski merantau di Surabaya, sesekali Winar masih main ke Jogja untuk menemui sang pacar. Dia merasa salut dengan cara kerja tukang parkir di Jogja.
“Misalnya tukang parkir di kafe. Jok motor ditutupi kardus biar nggak panas. Kalau hujan, bahkan helm pengunjung ditutup kresek biar nggak basah. Padahal bayar cuma Rp2 ribu,” ujarnya.
Sementara yang terjadi di Surabaya tidak seperti itu. Tukang parkir hanya datang untuk meminta uang. Setelah itu langsung pergi, tidak peduli pada motor-motor yang terpakir.
Baik Winar maupun Arfi sebenarnya tak menampik kalau di Surabaya pun ada tukang parkir-yang niat kerja. Ada uang, ada servis. Namun, bagi keduanya, jumlahnya terhitung jari. Karena sependek pengalaman mereka, lebih sering bertemu dengan tukang parkir modelan yang mereka deskripsikan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Tak Bisa Hidup Tenang di Surabaya karena Curanmor, Sudah Makin Waspada tapi Maling dari Daerah Tetangga Makin Gila, Harus Waspada Model Gimana Lagi? atau liputan Muchamad Aly Reza lainnya di rubrik Liputan