Ada banyak hal yang membedakan antara tukang parkir resmi dan tukang parkir ilegal di Jogja. Salah satunya adalah penghasilannya. Karena mematok tarif sesuai regulasi, ada kalanya penghasilan tukang parkir legal sangat pas-pasan. Sementara yang ilegal justru bisa panen cuan. Dalam sebulan, duit yang masuk ke kantong pribadi mereka bisa mencapai dua kali UMR Jogja.
Sarwo Sukendro Putro (53), salah satu tukang parkir resmi di Jogja, mengaku cukup geram dengan praktik tukang parkir ilegal di Jogja. Khususnya di tempat-tempat wisata, seperti Malioboro dan sekitarnya.
Pasalnya, selain kadang tak memberikan “servis” dengan semestinya, tukang parkir abal-abal tadi juga kerap nuthuk harga. Ada yang Rp5.000 per motor, bahkan kalau malam hari tak jarang mematok tarif Rp10.000. Belakangan, yang lebih tak masuk akal lagi adalah tarif tambahan buat titip helm.
“Tak masuk akal itu. Markir itu ya sekaligus jagain motor sama helmnya,” kata Sarwo, yang Mojok temui di sela-sela shift kerjanya di depan Pasar Kranggan, Minggu (21/4/2024) pagi.
“Setahu saya yang kayak begitu sudah dilaporkan, cuma memang belum ditindak,” sambungnya.
HAHAHAHA mah pie iki
saiki parkir nambah titip helm ki jane masuk akal ora e 🤣🤌 |@tidaksukaduren pic.twitter.com/oxU7TpwRcs— Merapi Uncover (@merapi_uncover) April 1, 2024
Sebagai tukang parkir resmi, nama Sarwo sendiri terdaftar dalam data Dishub Kota Jogja. Jam kerja, lahan parkir, bagi hasil, hingga izin kerjanya pun diatur secara tetap dalam aturan. Untuk izin kerja sendiri, tiap 6 bulan sekali ia wajib memperbaruinya. Inilah yang membedakan tukang parkir resmi dengan yang ilegal.
Tukang parkir resmi dapat uang tak pasti, tapi tetap disyukuri
Sebagai tukang parkir resmi, Sarwo terikat dengan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 22 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Perparkiran (Perda DIY Nomor 2 Tahun 2019). Dalam hal penghasilan, misalnya, ada kewajiban bagi hasil antara tukang parkir dengan Dishub Kota Jogja.
Di tempat Sarwo bekerja, mengingat Jalan Diponegoro masuk kategori II (tepi jalan ramai), bagi hasilnya adalah 25 persen bagi Dishub dan 75 persen bagi tukang parkir. Sarwo mengaku, rata-rata tiap bulan ia menyetor Rp1 juta. Itu pun jika kondisi Pasar Kranggan sedang ramai.
“Kalau lagi ramai, setoran 1 juta. Tapi ya bisa kurang, tergantung kita dapatnya berapa,” jelasnya.
Dengan demikian, jika nominal 1 juta merupakan 25 persen dari total pemasukan selama sebulan, lahan tempat Sarwo bekerja menghasilkan uang Rp4 juta. Setelah terpotong bagi hasil, sisa uang Rp3 juta kemudian masih ia bagi dengan tukang parkir lain yang menjaga lahan yang sama.
“Ya karena kami nggak boleh nuthuk harga. Beda sama tukang parkir ilegal di Jogja lainnya. Pol mentok kami cuma boleh narik tarif maksimal 2.000 buat motor dan 2.500 buat mobil. Itu hitungannya per jam,” jelasnya.
Sehari dapat membawa pulang Rp100 ribu pun sudah jadi pencapaian yang luar biasa bagi Sarwo. Kendati demikian, ia mengaku bersyukur dengan penghasilannya yang tak seberapa ini. Terkadang, ia dapat tambahan penghasilan dari tips pengendara yang mungkin merasa senang dengan kinerjanya.
“Kalau dibilang cukup, ya dicukup-cukupin saja, Mas. Yang penting kerjanya nggak ngerugiin orang lain. Halal.”
Yang ilegal sering nuthuk, sebulan bisa dapat 2 kali UMR
Mojok sendiri pernah menemui Suryo*, salah satu tukang parkir ilegal di Jogja yang menjaga lahan parkir sebuah apotek di Condongcatur. Kepada Mojok, Suryo mengaku mendapat uang bersih Rp150 ribu sehari. Ini sudah termasuk terpotong uang makan dan uang rokok.
“Rp150 itu bersih, Mas. Nggak termasuk makan sama rokok,” tegasnya.
Dalam sehari, Suryo bekerja selama hampir 12 jam. Datang pagi, pulang sore. Mengingat lahan apotek tempatnya “bekerja” tak buka 24 jam, di sisa beberapa jam pada malam hari, dia menyerahkan kerjaannya ke orang lain yang mau berjaga.
Mojok sempat mencoba memverifikasi pernyataan Suryo mengenai penghasilan hariannya. Caranya dengan mendatangi rumah makan tempatnya biasa mengisi perut sekaligus menukar uang receh. Kata Ening*, salah satu penjaga warung, Suryo bisa menukar uang 2-3 kali sehari. Nominalnya adalah Rp100 ribu untuk sekali tukar.
Anggaplah dalam sehari Suryo mendapat penghasilan rata-rata Rp200 ribu, maka dalam sebulan duit yang masuk ke kantongnya adalah Rp6 juta. Dengan demikian, tukang parkir ilegal ini berpenghasilan lebih dari 2 kali UMR Jogja yang per 2024 ditetapkan sebesar Rp2,49 juta.
Mojok juga pernah mengangkat kisah Julian (24), alumnus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) yang pernah menjadi tukang parkir dadakan di sebuah tempat futsal. Julian, yang kisahnya saya tulis dalam liputan “Pengalaman Mahasiswa UST Jogja Jadi Tukang Parkir, Seminggu Hasilnya Bisa Beli HP Baru” mengaku bisa mengantongi Rp300 ribu sehari atau nyaris Rp2 juta dalam seminggu.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News