Mahasiswa baru di Jogja kaget saat pertama ngopi di coffee shop. Harganya nggak ngotak; segelas kopi setara biaya dua kali makan. Niatnya cuma nugas, malah berakhir boncos dan malu.
***
Sebagai mahasiswa baru di Jogja, ekspektasi Ridho (18) soal biaya hidup dan skena per-kopi-an setinggi langit. Maklum, dari cerita seniornya yang sudah lebih dulu merantau, Jogja itu murah.
Dari yang dia dengar, biaya kos nggak semahal di Jakarta atau Surabaya. Harga makanan masih ramah di kantong. Modal Rp10 ribu, kata Ridho mengulangi kata-kata seniornya, sudah bisa kenyang.
“Makanya aku mutusin buat kuliah di Jogja, ketimbang Surabaya,” kata mahasiswa salah satu PTS ini saat dihubungi Mojok, Kamis (12/5/2025).
Tak cuma uang makan dan kos. Konon juga, biaya ngopi di Jogja masih sangat terjangkau. Bagi Ridho, ini menjadi pertimbangan serius mengingat di kota asalnya, Tulungagung, budaya ngopi sangat kental.
“Istilah kata, di kotaku itu tiada hari tanpa ngopi,” ujarnya.

Tulungagung memang dijuluki “kota seribu warung kopi”. Kata Ridho, di sana terkenal dengan budaya “nyethe”, yakni membalurkan ampas kopi ke batang rokok. Konon itu bakal menambah citarasa rokok yang diisap menjadi lebih nikmat.
Awal kuliah, merasa Jogja memang semurah itu
Ridho menjadi mahasiswa baru di Jogja pada pertengahan 2024. Ia bercerita, apa yang dibilang seniornya soal “biaya hidup di Jogja murah” itu benar adanya.
Ia mendapatkan kos murah di kawasan Sleman bagian tengah, dekat Ringroad Utara. Harganya cuma Rp450 ribu per bulan.
Di sekitaran kosnya pun juga menjamur warmindo dan rumah makan yang harga menunya masih terjangkau. Bahkan dengan uang Rp10-15 ribu saja, ia mengaku sudah bisa kenyang.
“Awal kuliah di sini ngerasa banget kalau Jogja memang semurah itu. Sebelas dua belas dengan Tulungagung lah.”
Selain itu, banyak juga dijumpai coffee shop dengan berbagai tipe. Ada yang besar, ada juga yang kecil tapi estetik. Jujur saja, Ridho malah belum pernah mengunjunginya.
Kaget, biaya ngopi di coffee shop setara biaya dua kali makan
Kendati apa-apa serba murah, ada satu hal yang sampai saat ini masih mengganjal di hati Ridho. Ya, biaya ngopi di Jogja sangat mahal. Bahkan bagi Ridho, untuk segelas kopinya saja setara dua kali jatah makannya.
Sebagai mahasiswa baru di Jogja, ada satu tradisi yang tak mungkin ia lewatkan: nugas di coffee shop. Sebagaimana mahasiswa lainnya, coffee shop yang dipilih pun biasanya yang estetik dan Instagramable.
Bermodal keyakinan biaya ngopi di Jogja murah, Ridho pun berangkat ke coffee shop dengan kepala tegak. Ia juga penasaran dengan budaya ngopi di Jogja, apakah sama dengan yang ada di kotanya.
Sebagai “anak desa”, jujur Ridho merasa kaget. Kekagetan pertama, ternyata di Jogja, ngopi itu adalah bahasa lain dengan adu outfit.
“Pada nugas ke coffee shop pada macak cakep-cakep, dandan niat, pakai sepatu. Sementara aku cuma sandalan. Jujur karena itu pengalaman pertama, sih, ada rasa malu,” ungkapnya.
Kekagetan kedua, mahasiswa baru ini merasa harga kopi di coffee shop itu nggak ngotak. Mahal-mahal. Rata-rata di atas Rp25 ribu. Belum termasuk menu tambahan seperti cemilan dan makan berat yang lebih mahal.
Ngide pesan yang paling murah, berujung malu karena nggak tahu espresso
Tak cuma kultur dan harga ngopi yang bikin kaget, mahasiswa baru di Jogja ini lebih kaget lagi karena menu di coffee shop amat asing. Di kota asalnya, Tulungagung, kalau ingin pesan kopi, nama-namanya masih umum. Kopi tubruk, kopi encer manis, atau paling mentok kopi susu.
“Sementara di sini namanya aneh-aneh. Pakai bahasa Inggris. Kalau boleh jujur, aku bingung tapi kalau mau nanya kok malu,” ujarnya.
Karena asing dengan nama-namanya, Ridho pun pesan dengan cara ngasal. Ia memilih menu yang paling murah: espresso–yang seingatnya Rp15 ribu.
“Aku pesan karena paling murah dan namanya keren aja,” kata Ridho.
Sialnya, saat pesanan datang, ia malah lebih malu lagi. Ternyata yang dia pesan cuma segelas mungil kopi kental yang rasanya amat pahit. Kata Ridho, malahan itu lebih pantas disebut sloki alih-alih gelas saking kecilnya.
Memang tak ada yang menertawakannya. Namun, tetap saja ada rasa malu karena dianggap tak tahu apa-apa soal kopi, padahal dirinya berasal dari “kota seribu warung kopi”, Tulungagung.
“Akhirnya aku pesan lagi, menu es kopi yang lebih normal. Harganya 30-an ribu. Itu kalau ditotal, rasanya boncos banget cuma buat segelas kopi aja.”
Sejak saat itu, Ridho mengaku lebih selektif lagi dalam memilih coffee shop. Sebelum mengiyakan ajakan ngopi, biasanya dia akan tanya-tanya dulu soal harga kopi di sana.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Apes Awal ke Jogja: Makan Nasi Goreng Nggak Enak di Malioboro Rp35 Ribu hingga Mie Ayam Rp120 Ribu, Pengin Seneng-seneng Berujung Linglung atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.