Pekerjaan kurator seni masih awam bagi masyarakat Indonesia. Padahal, tugasnya cukup penting dalam pertunjukan pameran. Kata anggota dewan kurator Galeri Nasional Indonesia, Suwarno Wisetrotomo, tugasnya tak hanya mendebat sang seniman. Namun, hasil kerja kurasinya harus memiliki pertanggungjawaban intelektual.
***
Ketika SD sampai SMP saya hanya mengenal pekerjaan seperti dokter, tentara, arsitek, guru, atau bidang yang saya geluti saat ini: jurnalis. Jarang sekali saya mendengar pekerjaan bernama kurator. Boro-boro memahami tugasnya, mengejanya saja sedikit susah karena ada dua huruf “r” di sana. Padahal, saya juga nggak cadel.
Namun, profesi itu kembali eksis berkat ramainya kasus seniman Yos Suprapto yang batal mengadakan pameran di Galeri Nasional (Galnas) Indonesia pada Kamis (29/12/2024). Dari situ saya paham bahwa seniman yang akan menggelar pameran tidak bekerja sendirian, khususnya di Galnas.
Dalam kasus pameran bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” itu , masalahnya berkutat antara seniman bernama Yos, kurator Yos yang bernama Suwarno Wisetrotomo, serta art space yakni Galeri Nasional Indonesia sekaligus penyelenggara.
Singkatnya, Suwarno tidak sepakat dengan lukisan Yos yang dia anggap keluar dari tema, meskipun Yos keukeuh dengan argumennya. Mundurnya Suwarno sebagai kurator dari Yos diklaim menjadi pangkal pembatalan pameran tunggal tersebut.
Saya pun penasaran, memangnya siapa Suwarno ini sampai bisa membatalkan pameran tersebut? Apa hak dia sampai “membreidel” lukisan Yos? Rasa-rasanya saya memang tergolong awam karena belum mengerti tugas kurator.
Perbedaan pendapat antara kurator-seniman itu biasa
Suwarno Wisetrotomo rupanya bukan sekali ini berdebat dengan seniman, sebelum pameran karya seni rupa digelar. Itu memang sudah menjadi tugasnya sebagai seorang kurator seni sekaligus anggota dewan kurator Galeri Nasional Indonesia.
“Biasa saja. Tidak luar biasa. Nggak cocok, ya mundur,” kata Suwarno yang kenyang dengan kontroversi.
Kepada Kepala Suku Mojok, Puthut EA, Suwarno bercerita tentang pengalamannya selama 30 tahun lebih menjadi kurator seni. Sebelum tragedi pameran Yos terjadi, Suwarno pernah ditunjuk sebagai kurator seni dalam pameran open call atau kelompok di Galeri Nasional Indonesia yang diikuti oleh beberapa seniman di Indonesia.
Ada salah satu karya yang menyorot perhatiannya dalam pameran tersebut, yakni lukisan dari seniman asal Sulawesi yang tidak mau dia sebutkan namanya. Seniman itu menggambarkan Burung Garuda yang menjadi simbol Pancasila. Namun, sayapnya tampak patah.
Suwarno sebetulnya tak masalah dengan penggambaran karya tersebut. Dia mendukung kritik seniman soal kekuasaan. Hanya saja dia tidak sepakat saat pemajangan atau display, di mana sayap yang patah itu akan diletakkan di lantai.
Sementara, sebagai seorang kurator khususnya yang ditunjuk langsung oleh Galeri Nasional Indonesia, Suwarno selalu menimbang risiko dan dampak yang terjadi saat maupun sesudah pameran.
“Karena ini di Galnas ruang edukasi, yang datang semua orang macam-macam, pelajar, mahasiswa, dan lain-lain,” ucap Suwarno dalam program PutCast yang tayang di Youtube Mojokdotco, sebagaimana dikutip pada Kamis (26/12/2024).
“Karena menyangkut lambang negara, ini bisa menimbulkan salah persepsi dan sebetulnya percakapan yang tidak produktif,” lanjutnya.
Hal itu pun menjadi perdebatan yang cukup alot antara dia dan seniman. Pada akhirnya, sang seniman sepakat untuk memasang karya tersebut di dinding, sehingga pameran tetap berjalan dan karya itu masih bisa dipajang.
Tanggung jawab seorang kurator seni
Tidak lebih dan tidak kurang dari seorang seniman, Suwarno Wisetrotomo juga ingin pameran yang dia kuratori sukses. Tugasnya pun tidak mudah. Dia bertanggung jawab pada keseluruhan proses dari hulu hingga hilir, yakni memaknai karya maupun mempresentasikannya kepada publik.
“Dimungkinkan bahwa tanggungjawab intelektual itu juga tentu ada di senimannya, karena ada hal-hal yang ingin dielaborasi. Tetapi itu bukan sesuatu yang dimainkan sendiri. Itu bagian dari kesepahaman dengan kurator,” ujar Suwarno.
Merujuk pada bukunya yang berjudul “Kuratorial Hulu Hilir Ekosistem Seni”, kurator merupakan perencana sekaligus pengarah pada peristiwa pertunjukkan atau pameran. Dia bertugas mengamati, memilah, memilih, memaknai, menulis, dan mempresentasikan karya seni di ruang publik. Dalam istilah seni, tugas itu disebut kurasi.
“Kurator sering saya padankan dengan dirigen, konduktor, atau komposer, agar orkestra (baca: pameran atau pertunjukkan seni) menjadi bagus tampilan dan isinya,” tulis Suwarno dalam bukunya yang terbit di tahun 2020 itu.
Maklum, di era pertama dia menggaungkan diri sebagai kurator seni dulu, istilah itu sesunggahnya menjadi kosa kota dan kosa-kerja baru di Indonesia. Baru, sekitar pertengahan 1980-an istilah itu terdengar. Itu pun masih sayup-sayup.
Suwarno sendiri melakukan kerja kuratorial sejak tahun 1996, saat kolektor-kolektor di dunia seni rupa mulai tumbuh di Indonesia. Seniman pertama yang dia kuratori adalah Nasirun yang kini namanya makin melejit.
Harus bersikap dingin tanpa kehilangan akal sehat
Selain perdebatan antara kurator seni dan seniman, penting diingat jika pameran memerlukan art space atau tempat di mana karyanya bisa dipajang. Pameran biasanya juga dirancang atas “selera” personal, bisa jadi mengikuti pemilik galeri.
Oleh karena itu, perbedaan pendapat adalah hal yang biasa di antara ketiganya. Suwarno Wisetrotomo meyakini bahwa setiap peristiwa seni tidak akan mungkin memuaskan semua pihak. Maka, muncullah kontroversi yang tak jarang meruncing menjadi konflik.
“Sangat mungkin pada suatu ketika terjadi, konsep kurator terdistraksi oleh pihak lain seperti pemilik galeri, pemodal (sponsor), pejabat institusi penyelenggara,” ujar Suwarno dalam bukunya.
“Atau pihak lain yang memiliki ‘saham cukup besar’, entah karena kekuasaannya, karena posisinya, karena modalnya, terhadap sebuah pameran,” lanjutnya.
Setiap pihak, kata Suwarno, harus jujur dengan kepentingan yang mereka punya. Jangan sampai menyembunyikan keinginan untuk memperoleh untung pribadi seperti ekonomi, posisi, atau jaringan.
Jika sudah dibicarakan secara terbuka, tapi belum mencapai kesepakatan, maka kurator seni berhak mengundurkan diri sebagai pilihan terakhir. Sebab menurut Suwarno, konsep kurator pantas dipertahankan jika memiliki argumentasi dan tujuan yang jelas serta bermanfaat bagi seniman, bagi institusi, bagi wacana, atau pengetahuan seni.
Yang terpenting, kata Suwarno, mundurnya kurator tidak berarti menghentikan pameran. Artinya, pengadaan pameran tetap bisa berlanjut.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News