Menjadi Gen Z tak menjamin guru memahami muridnya yang juga Gen Z. Ada saja masalah murid yang membuat guru geleng-geleng kepala. Mulai dari sifat Gen Z yang pesimis, suka membanding-bandingkan, dan masih gagap di dunia kerja.
Guru Gen Z juga harus berhadapan dengan rekan kerja mereka yang baby boomers. Masalah style berpakaian saja dikomentari, Bos!
Tina* (25) adalah salah satunya. Dia merupakan guru Gen Z yang mengajar mata pelajaran Akuntansi di salah satu SMK swasta. Sebagai Gen Z, tak jarang dia punya nilai-nilai yang bertentangan dengan guru yang lebih senior alias baby boomers.
Guru Gen Z lebih banyak inovasi saat mengajar
Sebagai Gen Z, Tina mengaku memakai cara-cara inovatif untuk mengajar, sebab Gen Z cenderung bosan saat mendengarkan materi. Terlebih, mayoritas siswanya merasa salah jurusan, sehingga tidak semangat mengikuti pelajaran.
“Mau nggak mau akhirnya aku bilang, nggak ada ilmu yang nggak berguna. Aku lebih menekankan manfaat ilmu Akuntansi dalam keseharian mereka. Sedikit-sedikit aku tanamkan nilai bahwa Akuntansi itu menyenangkan,” ucap Tina saat diwawancarai Mojok pada Kamis (17/10/2024).
Selain itu, Tina berusaha menggunakan cara mengajar yang menyenangkan. Misalnya, satu kali dalam lima pertemuan, Tina akan membuka praktik untuk para siswa. Jadi tidak melulu mengajar soal materi. Pembelajarannya pun diusahakan yang bikin siswa tak bosan, misal mengambil contoh dari film, belajar lewat animasi atau video, dan sebagainya.
“Anak-anakku cerita, mereka kurang suka dengan guru-guru lain karena nggak mau mengulang atau ngajarin dari awal. Guru-guru di atasku menganggap murid-murid ini sudah bisa dasar ilmunya. Sementara, murid-murid di-drill doang, dikasih soal praktik, suruh jalan sendiri,” ucap Tina.
Gen Z dan mental ciutnya
Tina merasa Gen Z punya karakter yang suka membandingkan. Dalam hal jurusan saja, sebagai murid Akuntansi, mereka sering membandingkan pembelajarannya dengan jurusan lain, seperti jurusan Perhotelan atau Tata Boga.
Setiap jurusan akan belajar materi dan praktik di laboratorium. Akuntansi sendiri belajar menggunakan software atau menghitung uang seperti di bank-bank. Mereka suka iri dengan anak Tata Boga yang dianggap “hanya” memasak atau anak Perhotelan yang sering study tour ke kamar-kamar hotel.
Padahal menurut Tina setiap jurusan punya tantangan yang berbeda. Namun, para murid sering kali jadi pesimis untuk belajar. Mereka menganggap belajar tak lagi mengasyikkan.
Kalau sudah begitu, Tina lebih menggunakan pendekatan secara personal. Dia mencoba memposisikan diri layaknya teman. Namun, tetap menjaga jarak agar tak hanya menjadi pendengar tapi memberikan solusi. Bagaimanapun, dia tetap guru meski sama-sama Gen Z.
Gagap memasuki dunia kerja
Tina punya banyak keluhan soal kebijakan pemerintah mengenai sistem pendidikan di Indonesia. Salah satunya program Merdeka Belajar oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Program yang digagas oleh Nadiem Anwar Makarim itu terasa “di luar nurul” baginya.
Salah satu dampak yang dia rasakan bersama muridnya adalah kebijakan masa waktu magang. Pada kurikulum lama, murid kelas 12 SMK diwajibkan magang selama tiga bulan. Mereka juga masih belajar materi secara tatap muka. Namun, kebijakan itu berubah menjadi magang selama enam bulan penuh.
Sekolah memang menyiapkan sosialisasi selama satu hingga dua hari agar para murid siap bekerja nantinya. Namun, Tina merasa waktu itu tidak cukup untuk memahamkan siswa tentang dunia kerja, apalagi dengan usia mereka yang terbilang muda.
“Nyatanya anak-anakku magang itu banyak sekali yang kaget dan bikin masalah akhirnya,” ucap Nita.
Contoh sederhana ketika muridnya belum paham tentang budaya perusahaan di jam istirahat. Murid-murid Tina menganggap ketika tugas mereka selesai, mereka bisa nongkrong di kantin dan tidak kembali ke meja kerja sampai jam pulang kantor.
Gen Z merasa tidak punya beban karena sudah menyelesaikan tugasnya. Murid Tina pernah bercerita jika dia merasa jadi bahan gunjingan di tempat magangnya.
“Anak-anakku ini kan sering bergerombol, terus kalau mereka pulang, pamit bareng. Nah mereka pernah tanya ke aku, ‘Bu ternyata kalau karyawan lain belum pulang, terus kita pulang duluan, itu jadi omongan ya?’” ucap Tina yang sedikit kaget dengan pertanyaan muridnya.
Beda prinsip guru Gen Z dan senior
Hubungan Tina dengan guru-guru senior tidak dekat. Topik pembicaraan mereka di ruang guru sering berbeda. Misalnya, guru-guru yang sudah berkeluarga seringkali membahas prestasi anak mereka atau cerita liburan keluarganya.
“Aku sih dengerin aja, nggak ikut nimbrung. Cuek bebek, kalau diajak ngomong langsung, baru iya, iya doang,” kata Tina.
Bahkan dari segi selera makan, Gen Z dan baby boomers punya perbedaan. Namun, apalah nasib menjadi Gen Z. Mau tidak mau, Tina harus mengikuti referensi mereka.
Suatu hari, salah satu murid kelas 12 yang pernah magang di suatu perusahaan. Perusahaan itu diketahui bermasalah karena mengajarkan para muridnya memanipulasi data dalam Akuntansi. Perusahaan itu juga sering didatangi pemeriksa pajak yang membuat karyawannya ketakutan.
Sebagai guru pembimbing, Tina merasa punya tanggung jawab untuk membantu muridnya agar tidak berada di lingkungan toxic. Sementara, para guru senior tidak mau menggubris.
Jika diurus, nama baik sekolah justru bisa tercoreng. Belum lagi, permasalahan dengan perusahaan yang sudah bekerja sama sejak lama. Urusannya ribet! Walaupun ditentang oleh guru-guru lain, Tina berinisiatif melakukan kajian ulang ke perusahaan.
“Aku sampaikan langsung ke perusahaan tersebut, ‘semisal murid saya, saya tarik dari perusahaan, mohon maaf apakah boleh?’” ucap Tina saat itu.
“Ya, waktu itu dengan sedikit perdebatan antara aku dan HRD yang ada di sana, tapi aku juga mau menyelamatkan anak-anakku ini,” lanjutnya.
Mau tidak mau. Sebagai guru yang juga Gen Z, Tina dianggap punya sifat memberontak. Namun, Tina tidak peduli. Dia berpegang teguh pada prinsipnya. Ketika salah, dia akan mengakuinya. Sebaliknya, yang menurut dia benar, dia akan perjuangkan.
Mulai dari situ, hal-hal sepele seperti cara berpakaian saja, guru-guru akan megomentarinya. Jahitan bajunya yang kurang sesuai karena membentuk lekuk tubuh atau model jilbabnya yang dianggap terlalu modis.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Mendengarkan Alasan Para Gen Z Gemar Mengoleksi Banyak Tumbler
Ikuti artikel dan berita Mojok di Google News