Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Budaya Korupsi di Indonesia Mengakar karena Warga “Belajar” dari Pemerintahnya

Mohamadeus Mikail oleh Mohamadeus Mikail
16 September 2025
A A
korupsi politik, budaya korupsi.MOJOK.CO

Ilustrasi - Budaya Korupsi di Indonesia Mengakar karena Warga "Belajar" dari Pemerintahnya (Mojok.co/Ega Fansuri).

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Budaya korupsi tak tiba-tiba mengakar dan langgeng di masyarakat. Ia tumbuh subur karena ulah pemerintahnya, terutama dalam hal korupsi politik.

***

Di sebuah jalanan kota yang padat, seorang pengendara motor melaju kencang menerobos lampu merah. Di kelas, mahasiswa menitip tanda tangan absensi pada temannya. Di kantor pelayanan publik, seseorang menyelipkan uang agar urusannya lebih cepat beres. 

Sepele? Bagi sebagian orang mungkin iya. Namun, pola-pola kecil ini adalah cerminan wajah besar korupsi di Indonesia.

Perdebatan pun mengemuka: benarkah korupsi adalah bagian dari budaya masyarakat, atau justru akibat dari hukum dan sistem politik yang sengaja memberi ruang bagi perilaku itu? 

Ketika negara justru mengajarkan korupsi

Guru besar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengajar mata kuliah Korupsi Politik sebagai Isu Global, Nur Rachmat Yuliantoro, menilai korupsi memang menyebar dalam keseharian warga. Ia sependapat dengan pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menyebut korupsi juga berakar di masyarakat. Tetapi, menurut Rachmat, persoalannya jauh lebih kompleks.

“Kalau kita lihat di Indonesia, korupsi ada di mana-mana. Orang Indonesia maunya menang sendiri,” ujarnyakepada Mojok, Senin (8/9/2025).

Contoh paling nyata, ya, pengendara yang melanggar aturan lalu lintas atau mahasiswa yang menitip absen. Fenomena semacam ini dikenal sebagai petty corruption—korupsi kecil yang lahir dari kebiasaan dan perilaku sehari-hari.

Namun, Rachmat menekankan, budaya masyarakat tidak bisa dipisahkan dari struktur hukum dan pemerintahan. Keduanya saling berkelindan. 

“Tidak ada faktor tunggal. Budaya dan sistem sama-sama berperan dalam mendorong perilaku korupsi,” katanya.

Contoh nyata hubungan itu bisa ditemukan pada praktik pembuatan SIM. Seorang warga yang ingin memperoleh SIM kerap menghadapi pilihan: ikut jalur resmi dengan risiko gagal berulang kali, atau menyogok agar urusannya cepat selesai.

“Kalau pun korupsi itu bagian dari budaya, kenapa masih ada masyarakat yang menolak? Ada orang yang gagal ujian SIM berkali-kali, tapi tetap memilih jalur resmi. Jadi kita tidak bisa semata-mata menyalahkan warga,” tegas Rachmat.

Situasi serupa juga terjadi dalam praktik tilang. Hukum yang abstrak memberi celah aparat untuk bertindak sewenang-wenang. Ketika pengendara merasa ditilang tanpa dasar jelas, ia cenderung memilih menyogok agar tidak dibawa ke sidang. Korupsi yang terjadi di jalanan itu bukan lahir dari niat murni warga, melainkan dari struktur yang sejak awal memberi peluang.

Akar sistemik korupsi politik

Pandangan serupa datang dari Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM. Menurutnya, korupsi jelas dilanggengkan oleh sistem politik dan hukum Indonesia.

Iklan

“Desain sistem kepemiluan dan kepartaian kita saja sudah bermasalah, termasuk cara menentukan siapa yang berhak menjadi penyelenggara pemilu,” ujarnya kepada Mojok, Rabu (3/9/2025).

Partai politik di Indonesia, lanjut Alfath, lebih menyerupai organisasi keluarga. Dinasti politik dan jejaring bisnis mendominasi parlemen. 

“Yang duduk di legislatif itu biasanya keluarga dinasti atau keluarga pengusaha. Motivasinya bukan membela kepentingan publik, tapi memperkaya diri, keluarga, atau bisnisnya,” jelasnya.

Struktur yang cacat ini menciptakan lingkaran setan. Kebijakan publik dirancang bukan untuk kepentingan warga, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan. Akibatnya, peluang korupsi terus terbuka.

Sejarawan Peter Carey dalam bukunya Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808–1811) sampai Era Reformasi menegaskan hal serupa. Menurutnya, korupsi di Indonesia sudah mengakar sejak masa kolonial. Struktur administratif yang hierarkis, budaya patronase, dan sistem pemerintahan yang sentralistis membentuk pola korupsi sistemik.

Carey menunjukkan, praktik rente dan patronase pada masa VOC atau Daendels tidak hilang setelah Indonesia merdeka. Pola yang sama terus berulang dalam sistem politik modern. Maka, wajar jika korupsi hari ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang yang membentuknya.

Rasuah bukan perkara individu

Mengapa orang melakukan korupsi? Alfath memberi dua kemungkinan. Pertama, ada yang terpaksa karena ingin menghindari ketidakpastian hidup—misalnya masyarakat kecil yang butuh jalan cepat dalam pelayanan publik. Kedua, ada yang memang sejak awal berniat jahat: sengaja menciptakan celah hukum untuk memperluas kekuasaan dan memperkaya diri.

Perbedaannya terletak pada dampak. Petty corruption merugikan dalam skala kecil, sementara korupsi politik berdampak jauh lebih besar karena melibatkan sumber daya negara. 

“Ketika pembuat kebijakan publik sudah bermasalah, kebijakan yang lahir pasti ikut bermasalah. Dari awal memang didesain untuk bermasalah,” kata Alfath.

Data Transparency International 2024 menempatkan Indonesia di skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi, turun dari tahun sebelumnya. Ini menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi masih menghadapi jalan terjal.

“Kita pernah punya standar moralitas tinggi saat negara ini baru didirikan. Bung Hatta, Syahrir, dan Natsir adalah contoh pejabat publik dengan integritas,” ujar Alfath. Namun, apakah generasi pemimpin kita saat ini sanggup meneladani mereka?

Korupsi di Indonesia jelas bukan sekadar masalah moral individu. Ia berakar pada desain sistem politik, hukum, dan birokrasi yang cacat. Budaya korupsi di tingkat elite justru menetes ke bawah, mendorong warga biasa ikut terbiasa dengan cara-cara curang.

Petty corruption memang tidak bisa dibenarkan, tapi menyalahkan masyarakat semata justru menutup akar masalah yang sebenarnya. Selama sistem kepartaian, birokrasi, dan pemilu masih membuka ruang bagi rente dan nepotisme, sebagaimana dikatakan Alfath, masyarakat akan terus dipaksa “belajar” korupsi dari negaranya sendiri.

Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.

Penulis: Mohamadeus Mikail

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Pengadaan Smart TV di Sekolah, Borok Lama Kulit Baru: Saat Kesejahteraan Guru yang Diinginkan, tapi Malah TV yang Datang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Terakhir diperbarui pada 1 Oktober 2025 oleh

Tags: budaya korupsikorupsikorupsi politikpetty corruptionpilihan redaksi
Mohamadeus Mikail

Mohamadeus Mikail

Artikel Terkait

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO
Ragam

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO
Ragam

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.