MOJOK.CO – Sebagai satpam Samsat, saya tidak bisa mengubah sistem. Tapi saya bisa mengingat, mencatat, dan menyuarakan kesusahan yang terjadi.
Ada sunyi di balik pagar besi kantor Samsat. Pagar itu menjadi saksi lalu-lalang kendaraan dan kesibukan manusia dengan urusannya masing-masing.Â
Sunyi itu bukan milik tempat, melainkan milik jiwa-jiwa yang berdiri tegak tapi seringnya tak terlihat. Seperti saya, seorang penjaga keamanan yang juga mahasiswa hukum.
Sebagai satpam, setiap pagi, saya menyapa mentari lebih dulu daripada kebanyakan orang. Saat embun masih terasa dingin dan jalanan belum ramai, saya sudah bersiap di pos.Â
Tugas saya di Samsat itu sederhana. Saya menjaga gerbang, mengarahkan kendaraan, memastikan ketertiban. Namun, di balik rutinitas itu, ternyata ruang permenungan terbuka lebar.
Pemandangan yang saya rekam di kantor Samsat
Pernah suatu kali saya berdiri cukup lama. Saya mengamati seorang bapak tua yang datang dengan motor butut.Â
Wajahnya lelah, bajunya lusuh. Bapak itu antre dengan tertib, patuh pada sistem yang kadang tak ramah. Pemandangan seperti itu selalu mengingatkan saya bahwa kantor Samsat bukan sekadar tempat layanan publik. Kantor ini bisa menjadi tempat bertemunya berbagai nasib, harapan, dan kadang juga keputusasaan.
Sebagai mahasiswa hukum, saya belajar tentang teori keadilan, aturan, dan hak. Tapi di lapangan, saya belajar bahwa hukum yang tertulis belum tentu menjamah hati manusia yang hidupnya terdesak. Di sinilah saya mulai melihat jurang antara teori dan kenyataan. Saya sering bertanya dalam diam. Siapa yang mendengar suara-suara yang tidak lantang itu?Â
Mereka yang tidak tahu harus bertanya ke mana, bingung dengan istilah administrasi, atau yang hanya ingin segalanya cepat selesai agar bisa kembali mencari nafkah. Sunyi mereka berisik dalam batin saya.
Baca halaman selanjutnya: Sunyi di balik pagar besi.