Manusia-manusia lelah
Di balik pagar kantor Samsat, dunia tak seramai yang mungkin kamu bayangkan. Sebagai petugas keamanan, saya sebetulnya bukan sekadar penjaga gerbang. Saya adalah saksi diam dari ribuan fragmen kehidupan yang melintas, berdesakan, dan kadang tersesat di tengah keruwetan birokrasi.
Setiap hari, wajah-wajah itu datang dengan harapan dan beban. Misalnya seperti seorang ibu muda yang datang terburu-buru ke kantor Samsat. Satu tangan menggandeng anak balita, tangan satunya membawa map berisi berkas perpanjangan STNK.
Dia terlihat bingung. Nomor antrian di tangannya tampak tak berarti dibandingkan keributan anaknya yang menangis kehausan. Saya hampiri si ibu dan menawarkan tempat duduk dekat kipas angin dan diam-diam berharap sistem ini bisa lebih memanusiakan mereka.
Lain hari, seorang sopir ojek online kehilangan dompetnya saat antre di loket pajak. Panik dan pasrah, dia menghampiri saya untuk meminta izin mencari di area parkir Samsat.
Wajahnya pucat, bukan karena takut, tapi karena di dompet itu ada satu-satunya uang untuk bayar pajak dan biaya hidup hari itu. Untungnya, dompet itu ditemukan di toilet, lengkap. Tapi tak semua punya akhir semujur itu.
Ada juga pemuda dengan motor tua yang tertahan pajaknya. Dia duduk lunglai di pojok, menunduk, menggenggam secarik kertas.
Ketika saya tanya, katanya dia tak bisa bayar karena denda menumpuk. Dia mengaku sudah melamar kerja ke banyak tempat, tapi ditolak. “Saya buntu, Bang,” katanya lirih.
Saya sempat bertemu juga dengan anak SMA yang sedang mengantre di Samsat. Dia datang ke Samsat untuk membantu ibunya yang tak bisa membaca.
Di ruang tunggu kantor Samsat, waktu melambat
Ada yang membaca, ada yang memejamkan mata. Tapi banyak juga yang menatap kosong. Mungkin mereka memikirkan caranya bayar pajak tanpa harus mengorbankan makan malam keluarga.
Samsat bukan hanya tempat bayar pajak. Ia seperti panggung sunyi di mana warga negara dan negara saling menyapa. Kadang dengan hormat, kadang frustasi.
Sebagai satpam, saya tidak bisa mengubah sistem. Tapi saya bisa mengingat, mencatat, dan menyuarakan. Karena saya yakin, jika fragmen-fragmen ini dikumpulkan, ia bukan hanya cerita tentang Samsat. Ia adalah potret kecil bangsa kita yang penuh harapan, tapi sering terjebak prosedur.
Dan di balik pagar itu, saya tetap berdiri. Menyapa, mendengar, dan mencatat diam-diam, untuk kalian yang mungkin tak pernah terlihat. Semua ini bukan sekadar “kejadian”, tapi fragmen kehidupan yang jika dikumpulkan, bisa menjadi kisah bangsa.
Ada ironi di pekerjaan ini
Di satu sisi, saya hanya bagian kecil dari sistem yang besar. Tapi di sisi lain, saya jadi saksi bisu berbagai cerita yang mungkin tak akan pernah sampai ke meja pembuat kebijakan. Saya melihat langsung bagaimana kebijakan yang tampak ideal di atas kertas bisa terasa rumit di lapangan.
Kadang saya ingin menulis di papan pengumuman: “Kami di sini bukan hanya untuk tertib administrasi, tapi juga untuk mendengarkan.”
Tapi saya tahu, sistem tidak didesain untuk itu. Maka saya simpan semua itu dalam tulisan, berharap ada yang membaca, merenung, dan mungkin bergerak.
Pelajaran penting yang saya petik
Bekerja sebagai satpam Samsat memberi saya banyak pelajaran yang tidak saya temukan di ruang kuliah. Tentang kesabaran, empati, bagaimana sebuah sistem bisa menjadi terlalu kaku hingga melupakan sisi manusiawinya. Di tengah hiruk-pikuk layanan, saya menemukan sunyi yang justru mengajarkan banyak hal.
Sunyi ini bukan kesepian, tapi ruang untuk mendengar lebih dalam. Dan saya percaya, jika semakin banyak orang mau mendengar suara-suara dari balik pagar Samsat ini, maka sistem akan lebih berwelas asih. Bukan sekadar efektif, tapi juga berkeadilan.
Sebagai satpam, saya menulis ini bukan karena saya ingin terlihat penting. Saya tahu posisi saya kecil, nyaris tak berarti di peta besar birokrasi.
Tapi saya percaya, setiap suara sekalipun lirih, tetap layak untuk dicatat. Dan jika suara itu bisa menggugah satu saja hati pembaca, maka sunyi yang saya rasakan tak sia-sia.
Penulis: Putra Al-Buhty
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Parkir Liar di Samsat Jogja, Ironi Daerah Istimewa ketika Aktivitas Ilegal Terjadi di Dekat Polisi Bekerja dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












