Jelang hari perayaan Waisak pada Sabtu (10/5/2025) kemarin, saya melihat umat Buddha dan warga non-Buddha lainnya ikut meramaikan acara di Candi Borobudur, Magelang. Mereka terlihat antusias menyambut kedatangan biksu Thudong yang dikabarkan tiba di candi dengan berjalan kaki dari Thailand.
Ritual biksu Thudong membawa misi perdamaian dunia
Menurut pantauan Mojok, para biksu Indonesia sudah berjejer rapi menyamping, menyambut puluhan biksu Thudong yang akan tiba sore itu. Suasana semakin syahdu diiringi dengan musik Buddham Saranam Gacchami yang artinya aku berlindung kepada Buddha.
Ketua Panitia Thudong 2025, Kevin Wu mengatakan sebanyak 36 bhikkhu Thudong telah menempuh perjalanan spiritual sepanjang 2.763 kilometer dari Thailand menuju Candi Borobudur, Magelang. Dalam perjalanan itu, mereka turut mengunjungi masjid, gereja, dan vihara.
Kevin berujar para biksu berasal dari Thailand, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Mereka berangkat dari bulan Februari 2025. Misinya adalah membawa semangat perdamaian dunia.

“Semoga semangat Thudong bisa terus membara, membakar semangat kita untuk menjaga perdamaian dan toleransi. Semoga ini menjadi langkah menuju masa depan Indonesia, menjadi bangsa yang lebih hebat, yang lebih kuat,” ujar Kevin.
Pukul 16.25 WIB, puluhan bhikkhu Thudong akhirnya tiba di pintu kalpataru sekitar Candi Borobudur. Ada yang memakai sandal, sepatu dan kaos kaki hitam, atau berdiri tanpa alas. Wajahnya terlihat peluh tapi juga lega.
Saat para biksu Thudong berhenti sejenak dihadapan para biksu Indonesia, keduanya tangannya saling terkatup. Salah seorang biksu Indonesia menyampaikan selamat dengan bahasa Thailand. Keduanya langsung tersenyum ramah.
Para biksu Thudong kemudian melanjutkan perjalanan hingga naik ke candi untuk beribadah. Mereka melewati jalan sepanjang Marga Utama Candi Borobudur yang beralaskan kain putih. Sejumlah pengunjung candi juga berjejer di tepian kain sambil menaburkan bunga melati dan bunga mawar.
Perayaan Waisak menjadi pemersatu antar umat beragama
Para pengunjung juga memberikan bunga sedap malam ke para biksu. Bunga itu mereka bawa sampai pelataran Candi Borobudur. Tati Kuswari (53) menjadi salah satu pengunjung yang mendapatkan bunga tersebut sebelum para biksu naik ke puncak untuk fokus beribadah.
Bunga sedap malam sendiri terkenal sebagai tanaman hias yang sering diburu saat perayaan agama, tak hanya Buddha tapi juga saat perayaan Hari Raya Idul Fitri. Selain karena baunya yang harum, bunga sedap malam juga menyimbolkan kesucian.
Tati sendiri mengaku baru pertama kali mengikuti perayaan Waisak untuk umat Buddha di Candi Borobudur meski beragama Islam. Perempuan asal Magelang itu berujar ritual Thudong yang dilaksanakan oleh biksu mengingatkannya pada ibadah Haji umat Islam.

“Mereka ibaratnya ini kan kyai ya, melihat perjuangan mereka seperti itu saya jadi nggak mau kalah ibadahnya. Kalau orang Islam kan ada ibadah haji, saya juga pingin. Ya, semoga semangatnya nular,” ujar Tati di pelataran Candi Borobudur, Sabtu (10/5/2025).
Tati membayangkan betapa bahagianya biksu melihat Candi Borobudur sebagai tempat monumen keagamaan terbesar umat Buddha di dunia. Sementara ia sendiri belum pernah berangkat haji atau melihat kabah secara langsung. Oleh karenanya, dia berharap semangat para biksu dalam beribadah ikut terpancar kepada seluruh umat.
Tak hanya Tati, Karin (20) yang juga merupakan pengunjung berujar, acara Waisak 2025 di Candi Borobudur tidak terkesan eksklusif dirayakan oleh umat Buddha saja. Ia merasa kegiatan tersebut dapat menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama.
“Aku sebagai umat muslim melihat adanya perbedaan sekaligus misi perdamaian itu kelihatan banget di sini. Aku jadi tahu bentuk ibadahnya umat Buddha saat mereka berdoa di puncak candi,” kata Karin.
Pesan biksu kepada seluruh umat beragama
Mojok juga berkesempatan mewawancarai bante Andri Budianto yang seharusnya ikut dalam rombongan ritual biksu Thudong. Namun karena cidera, ia hanya bisa menyambut biksu dari Thailand.
Meski begitu, semangat Andri dalam menyebarkan nilai-nilai Buddha tak padam. Pemuda asal Tangerang itu berujar perbedaan bahasa, warna kulit, negara, bahkan agama seharusnya tak membuat manusia terpecah belah. Sebab Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, punya kuasa.

Bahkan sekalipun umat memiliki sebutan yang berbeda-beda seperti Allah SWT, Allah (dalam umat Kristen), God (dalam bahasa Inggris), Thien Ti Kong (dalam Konghucu), Tuhan selalu punya hukum yang pasti.
“Nama lainnya, tabur tuai. Hukum sebab-akibat. Hukum karma. Siapapun dia, bahkan dari negara manapun. Ketika dia menanam bibit padi, tumbuh pohon padi. Kalau dia menanam bibit jagung, tumbuh pohon jagung. Tidak mungkin sebaliknya,” jelas Andri.
“Maka dari itu, jika kita ingin bahagia, berbuatlah baik. Minimal tidak berbuat jahat. Andaikan tidak bisa bicara yang baik, minimal diam. Lebih baik lagi, mempelajari dan melaksanakan ajaran agama, sesuai dengan keyakinan dan agama kita masing-masing,” lanjutnya.
Andri berharap perjalanan biksu Thudong dapat menginspirasi seluruh umat di dunia. Ia juga berdoa semoga semua umat dapat hidup berbahagia. Selalu mejaga keharmonisan, saling menghormati, menyayangi, menolong, bekerjasama dalam kebaikan, serta memancarkan cinta dan kasih.
“Terakhir, kepada para pemimpin dari berbagai elemen, semoga bisa membimbing generasi muda dengan cara-cara yang bijaksana demi kebahagiaan bersama,” kata bante asal Indonesia tersebut.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Waisak 2025: Puluhan Biksu akan “Pekikan” Perdamaian Dunia di Tanah Magelang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.