Banyak yang bilang, kuliah itu investasi. Dengan berkuliah, seseorang paling tidak punya jaminan masa depan cerah, gaji besar, dan yang terpenting: mengangkat derajat keluarga.
Makanya tak heran, kalau banyak orang tua di desa rela melakukan apa saja agar anaknya bisa kuliah. Termasuk jika harus kerja banting tulang bagai kuda, hingga menjual ternak, sawah, dan tanah.
Sialnya, hidup memang tak selalu adil. Apa yang diharapkan tak semuanya bisa tercapai. Alhasil, kalau kata narasumber Mojok yang meminta namanya disamarkan menjadi Mike (23), “janji manis investasi untuk masa depan, malah berujung jadi investasi bodong.”
“Gimana nggak investasi bodong. Kuliah mahal-mahal, sampai ratusan juta, tapi yang diterima cuma hikmahnya aja,” ujarnya, Minggu (29/6/2025).
“Kegagalan yang bergelar”
Mike, tanpa ada rasa sungkan, menyebut dirinya adalah contoh nyata “kegagalan yang bergelar”. Ia punya gelar sarjana, cumlaude, dari jurusan elite pula. Tapi gelar ini rasanya hampa karena ia tak kunjung bisa bikin orang tuanya bahagia.
Empat tahun lalu, Mike masuk salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit di Jogja. Ia kuliah di Fakultas Teknik. Sudah jadi rahasia umum kalau biaya kuliah jurusan di fakultas tidaklah murah.
Ketika baru saja masuk, Mike sudah “dipalak” dengan uang pangkal Rp25 juta. Sementara UKT-nya mencapai Rp6,3 juta per bulan.
“Aku lulus empat setengah tahun. Dihitung saja orang tuaku keluar uang berapa? Itu baru biaya kuliah, belum uang saku sama kos dong,” jelasnya.
Sialnya, setelah kuliah mahal-mahal, Mike masih menganggur di rumah. Sebenarnya ada beberapa tawaran pekerjaan dari teman-temannya. Namun, beberapa ditolak karena ia takut ortu kecewa. Sebagai seorang sarjana—sarjana teknik pula—ia mengaku sangat pilih-pilih pekerjaan.
“Kalau sembarangan cari kerja, takut ortu kecewa. Sudah sekolah tinggi-tinggi di teknik, kerjanya gitu-gitu aja,” ungkapnya.
Jual ternak dan sawah agar anaknya tetap bisa kuliah
Kisah serupa dialami Hanum (24). Ia merupakan alumni salah satu kampus swasta di Solo.
Hanum sendiri kuliah di salah satu jurusan yang cukup mahal, Jurusan Farmasi. Per SKS, biaya yang harus ia keluarkan nyaris Rp500 ribu. Belum ditambah dana pengembangan yang nominalnya hampir Rp20 juta.
Menurut ceritanya, ia nyaris putus kuliah di semester tiga karena masalah biaya. Kala itu Covid-19 memporak porandakan perekonomian warga. Tak terkecuali orang tuanya yang punya usaha rumah makan kecil-kecilan.
“Nyaris dua tahun bapak sama ibu nggak jualan. Sesekali buka suruh tutup lagi. Itu benar-benar bikin susah keluarga,” ungkapnya, Minggu (29/6/2025).
Hanum sudah bilang ke orang tua agar dirinya berhenti kuliah saja dan fokus membantu memulihkan bisnis keluarga. Namun, bapaknya menolak keras. Katanya, apapun yang terjadi anak semata wayangnya itu kudu tetap kuliah.
“Mau nggak mau satu-satunya sawah yang dipunyai bapak itu dijual. Sama beberapa kambing juga,” kata dia. “Tiap kali mengingatnya, rasanya aku ini anak paling nggak berguna di dunia.”
Baca halaman selanjutnya…
Dimodali usaha oleh orang tua, tapi tetap saja gagal.